Our Life

Sunday, March 30, 2014

KIAT MERAIH KEIKHLASAN & BUAHNYA
HALAQOH - 4

Oleh : Ustadz Nuruddin Abu faynan,Lc

Assalamu'alaikum wa rohmatullohi wa barokatuh.

Alhamdulillaah wa sholatu wa sallam 'ala Rosulillaah,wa ba'ad

Saudaraku yang dimuliakan Alloh Subhanahu waTa'ala, kiat yang keempat agar kita meraih keikhlasan dengan cara berteman dengan orang-orang yang ikhlas dan mengambil manfaat dari keikhlasan mereka.

Alloh Tabaaroka wa Ta'ala berfirman didalam surat Al Kahfi ayat 28:

" Bersabarlah dirimu bersama dengan orang- orang yang berdoa diwaktu pagi dan petang , mereka mengharapkan wajah-Nya" .

Al Imam As Sa'di rahimahulloh memberikan penjelasan bahwasanya Alloh Subhanahu wa Ta'ala mensifati mereka dengan ibadah dan ikhlas didalam beribadah,maka didalamnya ada perintah untuk menemani orang orang yang baik,bermujahadah diri untuk menemani mereka dan bercampur baur dengan mereka walaupun mereka itu adalah orang-orang fasik,karena sesungguhnya didalam menemani mereka itu ada beberapa manfaat,faedah yang tidak bisa dihitung.

Saudaraku yang dimuliakan Alloh Subhanahu wa Ta'ala,
Perkataan- perkataan mereka orang- orang yang ikhlas,amalan- amalan mereka orang- orang yang ikhlas,perilaku mereka orang- orang yang ikhlas,selamat dari tujuan yang buruk,meliputi keikhlasan dan niat yang shalih.

Oleh karena itu,tabiat itu tidak mencuri dari satu tabiat kepada tabiat yang lain yang tidak bisa kita ketahui,oleh karena itu,semoga Alloh merahmati orang yang mengatakan :
" Hendaklah engkau menemani orang yang bertakwa,anda akan mendapatkan dari ketakwaan- ketakwaan mereka.Dan janganlah anda menemani orang yang rusak,orang yang jelek,maka andapun akan jelek bersama orang yang jelek ".

Maka,kiat untuk ikhlas,hendaklah kita mencari orang orang yang ikhlas,orang - orang bertakwa,mengambil manfaat dari mereka,karena sesungguhnya akan kita dapatkan ada orang yang berdakwah,ada orang yang menyebarkan ilmu,ada juga orang yang menulis,memberikan nasehat,berkhutbah karena untuk mendapatkan kewibawaan,untuk mendapatkan ketenaran atau mendapatkan harta atau kemashlahatan.
Kita akan mendapatkan ada orang yang mengajar,akan tetapi tidak berkah dalam ilmunya,dan tidak pula dalam amalannya, dan tidak pula didalam dakwahnya.
Berapa banyak manuasia yang beramal agar tersebar namanya,berapa banyak diantara manusia yang beramal untuk tinggi kedudukannya,berapa banyak diantara manusia yang bekerja,berbuat untuk tersebar penyebutannya di majalah- majalah dan koran- koran,mereka adalah orang- orang yang tidak beramal karena Alloh,pengurus semesta alam ,jika mereka disebut mereka beramal,dan jika tidak disebut- sebut,mereka berhenti didalam beramal.
Bisa dilihat didalam kitab Tahdzib Al Madaarik ,jilid 2 ,halaman 949 (RALAT : dari Ustadz Nuruddin di halaqoh ke 5,bahwa yang benar ini adalah perkataan Syaikh Husain Al Uwaisah,hafidhahulloh )

Demikian yang dapat kami sampaikan, mudah- mudahan bisa bermanfaat.

Wassalamu'alaikum wa rohmatullohi wa barokatuh
KIAT MERAIH KEIKHLASAN & BUAHNYA
HALAQOH - 5

Oleh : Ustadz Nuruddin Abu faynan,Lc

Assalamu'alaikum wa rohmatullohi wa barokatuh.

Alhamdulillaah wa sholatu wa sallam 'ala Rosulillaah,wa ba'ad

Saudaraku yang dimuliakan Alloh Subhanahu wa Ta'ala,
Sebelum kita menjelaskan kiat yang ke- empat untuk meraih keikhlasan,ada ralat pada halaqoh yang ke-4,kemarin dijelaskan bahwasanya berapa banyak orang yang beramal karena untuk dikenal namanya,kemudian saya mengatakan bahwasanya diambil dari kitab Tahdzib al Madaarik,yang benar adalah bahwasanya hal itu perkataan Syaikh Husain Al Uwaisah hafizhahulloh.

Ikhwah fillah, kembali ke halaqoh yang berikutnya : Kiat meraih keikhlasanyang keempat adalah dengan cara selalu melihat kepada siroh orang- orang yang ikhlas,yang jujur.

jikalau kita membaca sejarah ulama salaf terdahulu yang shalih,akan membangkitkan dalam diri kita untuk meniru mereka,bisa menerangi,bisa mengambil cahaya dengan cahaya petunjuk mereka,bisa mengambil manfaat dari kalimat- kalimat ungkapan- ungkapan mereka.
Perkataan mereka itu sedikit,tapi banyak barokahnya,sedangkan yang selain mereka itu banyak bicara tapi sedikit barokahnya.

Hamad bin Zayid berkata : " Aku bertanya kepada Ayub : " Ilmu pada hari ini yang paling banyak atau apa yang telah lalu ? " maka Ayub menjawab : "Pada hari ini kalam atau berbicara itu lebih banyak,dan ilmu pada masa lalu adalah lebih banyak".

Maka oleh karena itu bilamana kita menginginkan untuk bisa merealisasikan keikhlasan ,maka selayaknya bagi kita sebagaimana dinasehatkan oleh Al Imam Ibnu Qoyyim rahimahulloh didalam kitab Ar Risalah At Tabukkiah,maka selayaknya menemani orang- orang yang sudah mati ,yang mana mereka itu seolah- olah masih hidup di alam ini,seperti : Ibnu Taimiyah,Ibnu Qoyyim,Imam Dzahabi,Ibnu Rajab,Ibnu Katsir,Ibnu Baz,Ibnu Utsaimin,Syaikh Bakar Abu Zaid , Syaikh Al Bani,semoga Alloh merahmati mereka.

Maka dengan menemani mereka akan sampai kepada maksudnya dan waspada menemani orang- orang yang hidup sedangkan mereka itu mati.
Maka mereka telah memutuskan jalannya,dan tidak ada manfaat untuk menemaninya dan yang lebih cocok adalah berpisah dengan orang yang hidup tapi dalam keadaan mati.

Oleh karena itu ikhwah fillah,jikalau kita mentafakuri keadaan para ulama Islam,para ulama hadits dan fiqih,bagaimana mereka itu berada dibawah tanah dan mereka di alam semesta ini seolah-olah mereka itu dalami keadaan hidup,tidak hilang dari mereka kecuali bentuknya saja, dan jika tidak maka pembicaraan mereka,ucapan mereka,sanjungan kepada mereka itu tidak terputus.
Inilah kehidupan yang sebenarnya,sehingga dianggap bahwasanya hal itu adalah kehidupan yang kedua.

Saudaraku yang dimuliakan Alloh Subhanahu wa Ta'ala,
Jadi dengan cara kita selalu membaca siroh ulama salaf yang sholih,yang ikhlas,yang jujur,itu salah satu kiat yang membuat kita bisa ikhlas.
Oleh karena dengan sebab kita memperhatikan mereka,akan bisa mendapatkan bimbingan dan bisa bisa istiqomah dan bisa menyempurnakan kekurangan.

Demikian yang dapat kami sampaikan,semoga bermanfaat.

Wassalamu'alaikum wa rohmatullohi wa barokatuh.
KIAT MERAIH KEIKHLASAN & BUAHNYA
HALAQOH - 6

Oleh : Ustadz Nuruddin Abu faynan,Lc

Assalamu'alaikum wa rohmatullohi wa barokatuh.

Alhamdulillaah wa sholatu wa sallam 'ala Rosulillaah,wa ba'ad

Saudaraku yang dimuliakan Alloh Subhanahu wa Ta'ala,
Kiat yang kelima untuk memperoleh keikhlasan dengan cara : Memperbanyak amalan- amalan yang tersembunyi.

Perlu sadaraku ketahui,semoga Alloh merahmati anda,bahwasanya segala sesuatu dari amalan kebaikan -dikhawatirkan yang melakukannya itu dari riya,maka yang tersembunyi dari manusia itu lebih baik dan lebih utama.

Dari Zubair bin Awwam ,semoga Alloh meridhoi kepadanya,dari Nabi shallallaahu'alaihi wa sallam ,beliau mengatakan : " Barangsiapa yang mampu diantara kalian untuk menyembunyikan dari amalan sholih,maka hendaklah perbuat."

Kalau kita perhatikan,bahwasanya orang- orang sholih terdahulu tidak henti- hentinya mereka bersungguh- sungguh untuk menyembunyikan ketaatan mereka,lebih besar daripada kesemangatan manusia dari menyembunyikan kesalahan- kesalahan mereka.
Hal demikian dilakukan dalam rangka mengharapkan amalan- amalan sholih mereka itu murni karena Alloh Tabaaroka wa Ta'ala,sehingga Alloh Subhanahu wa Ta'ala menerima amalan mereka,Alloh membalas mereka terhadap amalan yang disembunyikan itu dengan pembalasan yang lebih baik.

Demikianlah mereka orang- orang yang berakal.
Orang- orang yang berakal sangat menginginkan untuk tidak diketahui selain Alloh atas suatu perkara yang dipuji perkara mereka.
Oleh karena itu salah seorang dikalangan ulama salaf mengatakan :
" Sembunyikan dari kebaikan- kebaikan anda sebagaimana anda menyembunyikan dari kesalahan- kesalahan anda."

Ikhwah fillah,dengan sebab ikhlas,dengan sebab kejujuran,seorang ulama mengatakan dengan sebab inilah sebuah kelompok terangkat.
Oleh karena itu ikhwah fillah,Imam Ibnu Rajab Al Hambali memberikan penjelasan bahwasanya sholat sunnah yang disembunyikan itu lebih utama.Kenapa demikian ? Seperti contohnya sholat malam diutamakan daripada sholat - sholat sunnah yang lainnya,begitu pula shodaqoh yang disembunyikan lebih utama daripada shodaqoh yang terang- terangan.

Dalam sebuah hadits dari Ukbah bin Amir ,semoga Alloh meridhoi kepadanya,dia berkata,aku mendengar Rosululloh shallallaahu'alaihi wa sallam bersabda :
"Yang mengeraskan suara dengan membaca al Qur'an seperti orang yang terang- terangan dengan shodaqoh,yang pelan- pelan dalam membaca Al Qur'an seperti yang menyembunyikan shodaqoh."

Jika kita perhatikan,tatkala kita banyak berbuat maksiat kepada Alloh diwaktu sendirian,maka marilah kita memperbanyak amalan- amalan sholih antara kami dan antara Alloh Subhanahu wa Ta'ala.

In syaa Alloh pada halaqoh berikutnya akan kita jelaskan contoh- contoh amalan sholih yang tersembunyi yang mesti kita sama- sama perbanyak.

Demikian yang dapat kami sampaikan,mudah- mudahan betmanfaat.

Wassalamu'alaikum wa rohmatullohi wa barokatuh.
Oleh : Ustadz Nuruddin Abu faynan,Lc

Assalamu'alaikum wa rohmatullohi wa barokatuh.

Alhamdulillaah wa sholatu wa sallam 'ala Rosulillaah,wa ba'ad

Saudaraku yang dimuliakan Alloh Subhanahu wa Ta'ala,
Pada halaqoh sebelumnya,kiat yang kelima dalam rangka meraih keikhlasan itu : memperbanyak amalan yang tersembunyi.
Pada halaqoh ini akan kita jelaskan sebagai contoh dari amalan amalan yang tersembunyi.

Yang Pertama : Menangis karena Alloh Subhanahu wa Ta'ala.

Dalam sebuah hadits,dari Abu Hurairah,semoga Alloh meridhoi kepadanya,ia berkata, telah bersabda Rasululloh shallallaahu'alaihi wa sallam :
" Tujuh orang ,Alloh akan menaungi mereka dalam naunganNya,pada hari tidak ada yang mendapatkan naungan kecuali naungan Alloh Subhanahu wa Ta'ala."
Diantara mereka,Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam menyebutkan : "Seorang laki- laki tatkala sendirian mengingat Alloh Subhanahu wa Ta'ala ,mencucurkan air mata."

Ibnu Hubairoh,semoga Alloh merahmatinya,berkata : " Adapun yang mengingat Alloh tatkala sendirian mencucurkan airmatanya ,maka sesungguhnya dia telah merealisasikan keikhlasannya dalam menangis,karena kadang ada seseorang yang menangis diwaktu berjama'ah dan tidak menangis diwaktu sendirian.

Maka Nabi shallallaahu 'alaihi sallam memberitahukan bahwasanya yang dianggap adalah orang yang mengingat Alloh tatkala sendirian lalu mencucurkan airmatanya.,dikenal- diketahui termasuk orang yang ahli menangis karena yang dianggap adalah yang menangis diwaktu sendirian dimana tidak ada yang mengetahui hal itu kecuali Alloh Subhanahu wa Ta'ala.

Saudaraku yang dimuliakan Alloh Subhanahu wa Ta'ala,
Mudah-mudahan Alloh Subhanahu wa Ta'ala menjadikan kita termasuk orang yang ikhlas amalannya karena Alloh dan menutup amalannya karena Alloh Subhanahu wa ta'ala.

Demikian yang dapat kami sampaikan,mudah-mudahan bermanfaat,

Wassalamu'alaikum wa rohmatullohi wa barokatuh.
KIAT MERAIH KEIKHLASAN & BUAHNYA
HALAQOH - 8

Oleh : Ustadz Nuruddin Abu faynan,Lc

Assalamu'alaikum wa rohmatullohi wa barokatuh.

Alhamdulillaah wa sholatu wa sallam 'ala Rosulillaah,wa ba'ad

Amalan-amalan yang harus kita perbanyak untuk disembunyikan adalah : Berdo'a untuk saudaranya tanpa diketahuinya.

Sebagimana dalam sebuah hadits dari Abu Darda,semoga Alloh meridhoi kepadanya ,Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : " Doa seorang muslim pada saudaranya yang tidak hadir,akan dikabulkan ,disisinya ada malaikat yang diwakilkan,tatkala mendoakan kepada saudaranya kebaikan,malaikat yang diwakilkan kepadanya mengatakan ; aamiin ,semoga untukmu sepertinya ."

Yang dimaksud muslim disini ikhwah fillaah,adalah orang- orang muslim yang selamat dari lisannya dan tangannya,yaitu yang mencintai kepada manusia apa yang dicintai untuk dirinya.

Karena orang muslim yang seperti inilah yang akan membawa keadaannya untuk sayang kepada saudaranya yang muslim untuk mendo'akan kepadanya diwaktu tidak ada .
Kemudian dikhususkan diwaktu tidak ada dalam penyebutan karena akan membuat jauh dari riya dan tujuan- tujuan yang rusak atau yang mengurangi .

Maka dengan mendo'akan diwaktu tidak ada saudaranya,akan mengikhlaskan semata karena Alloh,benar tujuannya karena Alloh Tabaaroka wa Ta'ala dengan mendoakan saudaranya sehingga malaikat yang diwakilkan itu mengataan aamiin,dan untuk kita juga kebaikan sesuai dengan yang kita minta untuk kebaikan saudara kita.

Maka seseorang apabila mendo'akan kepada saudaranya kaum muslimin dimana saja berada,dan jujur dalam do'anya,,mengikhlaskan didalam berdo'a untuk mereka diwaktu mereka tidak ada,malaikat akan mengatakan dengan perkataanya : aamiin,
Bahkan pahalanya lebih besar karena mendo'akan kepada kebaikan,meminta petunjuk bagi setiap kaum muslimin akan mendapatkan pahala yang amat besar.

Oleh karena itu Syaikhul Islam rahimahulloh mengatakan : " Mendoakan kepada yang tidak hadir lebih besar untuk di-ijabah doanya daripada doa yang hadir,karena sesungguhnya mendo'akan kepada yang tidak hadir lebih sempurna keikhlasannya dan lebih jauh dari kesyirikan.

Demikian,diantara amalan tersembunyi yang perlu diperbanyak ,yaitu mendo'akan saudaranya pada saat tidak ada.
Mudah-mudahan bermanfaat.

Wassalamu'alaikum wa rohmatullohi wa barokatuh.

Tuesday, March 18, 2014

Posted: 17 Mar 2014 08:12 AM PDT
Kita yang sudah menjadi orang tua tentu senantiasa berharap, berdo’a dan berusaha semaksimal mungkin agar anak-anak kita kelak menjadi anak-anak yang shalih, anak-anak yang bermanfaat. Namun siapa yang bertanggung jawab menjadikan mereka anak shalih, apakah orang tua? Ataukah sekolah dan para gurunya?

Beruntungnya Orang Tua Yang Memiliki Anak Shalih

Sungguh beruntung dan berbahagialah orang tua yang telah mendidik anak-anak mereka sehingga menjadi anak yang shalih, yang selalu membantu orang tuanya, mendo’akan orang tuanya, membahagiakan mereka dan menjaga nama baik kedua orang tua. Karena anak yang shalih akan senantiasa menjadi investasi pahala, sehingga orang tua akan mendapat aliran pahala dari anak shalih yang dimilikinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila seorang telah meninggal dunia, maka seluruh amalnya terputus kecuali tiga, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendo’akannya.” (HR. Muslim: 1631).
Demikian pula, kelak di hari kiamat, seorang hamba akan terheran-heran, mengapa bisa dia meraih derajat yang tinggi padahal dirinya merasa amalan yang dia lakukan dahulu di dunia tidaklah seberapa, namun hal itu pun akhirnya diketahui bahwa derajat tinggi yang diperolehnya tidak lain dikarenakan do’a ampunan yang dipanjatkan oleh sang anak untuk dirinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِي الْجَنَّةِ فَيَقُولُ يَا رَبِّ أَنَّى لِي هَذِهِ فَيَقُولُ بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ
“Sesunguhnya Allah ta’ala akan mengangkat derajat seorang hamba yang shalih di surge. Kemudian dia akan berkata, “Wahai Rabb-ku, bagaimana hal ini bisa terjadi padaku? Maka Allah menjawab, “Hal itu dikarenakan do’a yang dipanjatkan anakmu agar kesalahanmu diampuni.” (HR. Ahmad: 10618. Hasan).
Oleh karenanya, saking urgennya pembinaan dan pendidikan sang anak sehingga bisa menjadi anak yang shalih, Allah ta’ala langsung membebankan tanggung jawab ini kepada kedua orang tua. Allah ta’ala berfirman dalam sebuah ayat yang telah kita ketahui bersama,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ (٦)
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (At Tahrim: 6).
Seorang tabi’in, Qatadah, ketika menafsirkan ayat ini mengatakan,
تأمرهم بطاعة الله وتنهاهم عن معصية الله وأن تقوم عليهم بأمر الله وتأمرهم به وتساعدهم عليه فإذا رأيت لله معصية ردعتهم عنها وزجرتهم عنها
“Yakni, hendaklah engkau memerintahkan mereka untuk berbuat taat kepada Allah dan melarang mereka dari berbuat durhaka kepada-Nya. Dan hendaklah engkau menerapkan perintah Allah kepada mereka dan perintahkan dan bantulah mereka untuk menjalankannya. Apabila engkau melihat mereka berbuat maksiat kepada Allah, maka peringatkan dan cegahlah mereka.” (Tafsir al-Quran al-’Azhim 4/502).
Demikian pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memikulkan tanggung jawab pendidikan anak ini secara utuh kepada kedua orang tua. Dari Ibnu radhiallahu ‘anhu, bahwa dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggunjawabannya dan demikian juga seorang pria adalah seorang pemimpin bagi keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari: 2278).
Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma berkata,
أدب ابنك فإنك مسؤول عنه ما ذا أدبته وما ذا علمته وهو مسؤول عن برك وطواعيته لك
“Didiklah anakmu, karena sesungguhnya engkau akan dimintai pertanggungjawaban mengenai pendidikan dan pengajaran yang telah engkau berikan kepadanya. Dan dia juga akan ditanya mengenai kebaikan dirimu kepadanya serta ketaatannya kepada dirimu.”(Tuhfah al Maudud hal. 123).

Tanggung Jawab Orang Tua

Tanggung jawab pendidikan anak ini harus ditangani langsung oleh kedua orang tua. Para pendidik yang mendidik anak di sekolah–sekolah, hanyalah partner bagi orang tua dalam proses pendidikan anak.
Orang tua yang berusaha keras mendidik anaknya dalam lingkungan ketaatan kepada Allah, maka pendidikan yang diberikannya tersebut merupakan pemberian yang berharga bagi sang anak, meski terkadang hal itu jarang disadari. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Al-Hakim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ما نحل والد ولده أفضل من أدب حسن
“Tiada suatu pemberian yang lebih utama dari orang tua kepada anaknya selain pendidikan yang baik.” (HR. Al Hakim: 7679).
Mengenai tanggung jawab pendidikan anak terdapat perkataan yang berharga dari imam Abu al-Hamid al-Ghazali rahimahullah. Beliau berkata, “perlu diketahui bahwa metode untuk melatih/mendidik anak-anak termasuk urusan yang paling penting dan harus mendapat prioritas yang lebih dari urusan yang lainnya. Anak merupakan amanat di tangan kedua orang tuanya dan qalbunya yang masih bersih merupakan permata yang sangat berharga dan murni yang belum dibentuk dan diukir. Dia menerima apa pun yang diukirkan padanya dan menyerap apa pun yang ditanamkan padanya. Jika dia dibiasakan dan dididik untuk melakukan kebaikan, niscaya dia akan tumbuh menjadi baik dan menjadi orang yang bahagia di dunia dan akhirat. Dan setiap orang yang mendidiknya, baik itu orang tua maupun para pendidiknya yang lain akan turut memperoleh pahala sebagaimana sang anak memperoleh pahala atas amalan kebaikan yang dilakukannya. Sebaliknya, jika dibiasakan dengan keburukan serta ditelantarkan seperti hewan ternak, niscaya dia akan menjadi orang yang celaka dan binasa serta dosa yang diperbuatnya turut ditanggung oleh orang-orang yang berkewajiban mendidiknya” (Ihya Ulum al-Din 3/72).
Senada dengan ucapan al-Ghazali di atas adalah perkataan al-Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah, “Siapa saja yang mengabaikan pendidikan anaknya dalam hal-hal yang berguna baginya, lalu dia membiarkan begitu saja, berarti dia telah berbuat kesalahan yang fatal. Mayoritas penyebab kerusakan anak adalah akibat orang tua mengabaikan mereka, serta tidak mengajarkan berbagai kewajiban dan ajaran agama. Orang tua yang menelantarkan anak-anaknya ketika mereka kecil telah membuat mereka tidak berfaedah bagi diri sendiri dan bagi orang tua ketika mereka telah dewasa. Ada orang tua yang mencela anaknya yang durjana, lalu anaknya berkata, “Ayah, engkau durjana kepadaku ketika kecil, maka aku pun durjana kepadamu setelah aku besar. Engkau menelantarkanku ketika kecil, maka aku pun menelantarkanmu ketika engkau tua renta.” (Tuhfah al-Maudud hal. 125).

Orang Tua Shalih, Anak pun Shalih!

“Hazm mengatakan, “Saya mendengar al-Hasan al-Bashri ditanya oleh Katsir bin Ziyad mengenai firman Allah ta’ala, “
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا (٧٤)
“Ya Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al Furqan: 74).
Katsir bin Ziyad bertanya kepada al-Hasan, “Wahai Abu Sa’id, apakah yang dimaksud qurrata a’yun (penyenang hati) dalam ayat ini terjadi di dunia ataukah di akhirat? Maka al-Hasan pun menjawab, “Tidak, bahkan hal itu terjadi di dunia.” Katsir pun bertanya kembali, “Bagaimana bisa?” al-Hasan menjawab, “Demi Allah, Allah akan memperlihatkan kepada seorang hamba, istri, saudara dan kolega yang taat kepada Allah dan demi Allah tidak ada yang menyenangkan hati seorang muslim selain dirinya melihat anak, orang tua, kolega dan saudara yang tumbuh dalam ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla.” (Tuhfah al Maudud hal. 123).
Betapa indahnya, jika kita memandang anak-anak kita menjadi anak yang shalih, karena hal itu salah satu penyejuk pandangan kita. Namun yang patut kita perhatikan adalah faktor yang juga mengambil peran penting dalam pembentukan keshalehan anak adalah keshalihan orang tua itu sendiri.
Jika kita menginginkan anak-anak shalih, maka kita juga harus menjadi orang yang shalih. Ada pepatah Arab yang bagus mengenai hal ini,
كيف استقم الظل و عوده أعوج
“Bagaimana bisa bayangan itu lurus sementara bendanya bengkok?”
Kita selaku orang tua adalah bendanya sedangkan anak-anak kita adalah bayangannya. Jika diri kita bengkok, maka anak pun akan bengkok dan rusak. Dan sebaliknya, jika diri kita lurus, maka insya Allah anak-anak akan lurus.
Allah ta’ala berfirman,
ذُرِّيَّةً بَعْضُهَا مِنْ بَعْضٍ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Keturunan itu sebagiannya merupakan (turunan) dari yang lain.” (Ali Imran: 34).
Maksud dari ayat di atas adalah orang tua yang baik, sumber yang baik, insya Allah akan menghasilkan keturunan yang baik pula.
Keshalihan orang tua juga akan memberikan manfaat positif, karena Allah akan menjaga sang anak. Allah berfirman dalam surat al-Kahfi ayat 82,
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا (٨٢)
“Adapun dinding rumah itu  adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh.” (Al Kahfi: 82).
Dalam ayat ini diberitakan bahwa dikarenakan keshalihan orang tua, Allah menjaga dan memelihara sang anak, serta tidak mengecewakan orang tua. Oleh karenanya, keshalihan orang tua itu akan berpengaruh pada sang anak, bahkan manfaat itu tidak terbatas pada sang anak semata, tapi juga berdampak kepada cucu-cucunya sebagaimana diriwayatkan oleh al-Hafizh Ibnu Katsirrahimahullah bahwa yang dimaksud ” وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا ” dalam ayat tersebut adalah kakek ketujuh dari dua anak tadi.
Kelak di surga, Allah ta’ala pun akan mengumpulkan sang anak bersama orang tua mereka yang shalih, meskipun amalan sang anak tidak dibanding amalan orang tua.
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ (٢١)
“Dan orang-orang yang beriman, dan anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (Ath Thuur: 21).
Maka disini, Allah ta’ala memasukkan anak-anak orang mukmin ke dalam surga dengan syarat mereka juga beriman. Maka, betapa menyenangkannya, jika kita berkumpul bersama keluarga kita di surga sebagaimana kita berkumpul di dunia ini. Meskipun amal ibadah sang anak tidak sepadan dengan kedua orang tuanya, amalnya kurang daripada orang tuanya, namun Allah tetap memasukkan keturunannya ke dalam surga. Karena apa? Karena keshalehan kedua orang tuanya.
Betapa pentingnya hal ini, yaitu menjadikan pribadi kita, yaitu orang tua, menjadi pribadi yang shalih, sampai-sampai salah seorang yang shalih pernah mengatakan,
يا بني إني لأستكثر من الصلاة لأجلك
“Wahai anakku, sesungguhnya aku memperbanyak shalat karenamu (dengan harapan Allah akan menjagamu).”
Ada seorang tabi’in yang bernama Sa’id ibn al-Musayyib rahimahullah juga pernah berkata,
إني لأصلي فأذكر ولدي فأزيد في صلاتي
“Ada kalanya ketika aku shalat, aku teringat akan anakku, maka aku pun menambah shalatku (agar anak-anakku dijaga oleh Allah ta’ala).”
Maka, mari kita menjadikan diri kita sebagai pribadi yang baik, taat kepada Allah dan shalih, kita jalankan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya dengan harapan nantinya Allah ta’ala menjaga dan memelihara anak-anak kita.
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Nasehat Islam: Kesalahan Dalam Mendidik Anak - Ustadz Zainal Abidin

Monday, March 10, 2014

Qonitah Khairunnisa

Ketika aku menasehati temanku untuk bersabar...
Cobaan untukku pun datang...Alhamdulillah...
Allah menguji kesabaranku...
Semoga aku pun bisa bersabar...aamiin

Ya Allah jadikanlah hambaMu ini qonitah khairunnisa ...
Sebaik-baik wanita berbakti...
Mentaati Allah dan menahan hawa nafsu...
Berbaik sangka pada suami dan tetap berbakti, menjaga diri dan kehormatan suami karena takut pada Allah dan berharap ridho Allah Azza wa Jalla saja...

Bukankah ummahatul mukminin wanita-wanita yang bersabar....

Thursday, March 06, 2014

Doa untukmu ayyuhal walad....

Akan kupegang bahumu ade...in syaa Allah...lalu kudoakan dengan doa yang pernah Rasulullah saw panjatkan untuk Ibnu Abbas ini:

اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِى الدِّينِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ

Ya Allah, berilah dia pemahaman dalam masalah agama dan ajarkanlah kepadanya tafsir.” [H.R. Al-Bukhari, Muslim, dan lainnya, ini lafazh Imam Ahmad].

Ibnu Abbas : Bapak Dari Ulama Tafsir

Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma : Sang Penerjemah Al-Quran

ibnu abbas
إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ
“Sesungguhnya Allah mengangkat derajat suatu kaum karena kitab ini (yakni Al-Quran) dan merendahkan kaum lainnya dengannya.” [H.R. Muslim dari shahabat Umar bin Al-Khaththab raḍyAllāhu 'anhu (may Allāh be pleased with him).

Inilah sepenggal hadits yang menunjukkan dahsyatnya ilmu Al-Quran. Ilmu ini akan mengangkat derajat suatu kaum atau merendahkannya tergantung dengan kualitas keilmuan dan pengamalan Al-Quran.
Dalam sejarah Islam yang gemilang, tercatatlah nama Abul Abbas Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma. Beliau adalah seorang shahabat mulia yang telah mengecap manisnya ilmu syariat semenjak kecil. Kemuliaan demi kemuliaan dia raih setimpal dengan ilmu yang dia peroleh. Tentu kisahnya menarik untuk kita cermati dan kita ambil pelajaran darinya.
Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma
Abdullah bin Abbas adalah anak dari Al-Abbas bin Abdul Muththalib bin Qushay Al-Qurasyi raḍyAllāhu 'anhu (may Allāh be pleased with him), paman Nabi `ṣallallāhu 'alayhi wa sallam (peace and blessings of Allāh be upon him). Ibu beliau bernama Ummul Fadhl Lubabah binti Al-Harits Al-Hilaliyah. Beliau lahir tiga tahun sebelum hijrah Nabi ṣallallāhu 'alayhi wa sallam (peace and blessings of Allāh be upon him) ke Madinah dan berumur tiga belas tahun ketika Nabi ṣallallāhu 'alayhi wa sallam (peace and blessings of Allāh be upon him) meninggal. Dalam sebagian riwayat disebutkan, beliau berbadan gemuk, putih, dan tinggi. Beliau adalah seorang yang pandai serta fasih berbicara. Banyak dari lawan bicara Ibnu Abbas mengikuti pendapatnya setelah berdialog dengannya. Seorang ulama tabi’in, Masruq bin Al-Ajda’ raḥimahullāh (may Allāh have mercy upon him) mengatakan, “Ketika aku melihat Abdullah bin Abbas, aku katakan, ‘Dia adalah orang yang paling tampan.’ Lalu ketika dia berbicara aku katakan, ‘Dia orang yang paling pandai bicara.’ Dan ketika dia berbicara aku katakan, ‘Dia orang yang paling berilmu.’”
Ulama tabi’in lainnya, Abu Wa`il Syaqiq bin Salamah raḥimahullāh (may Allāh have mercy upon him) mengatakan, “Ibnu Abbas berkhutbah kepada kami pada musim haji. Beliau membuka dengan Surat Nur. Beliau membacanya dan menafsirkannya. Aku pun mengatakan, ‘Aku tidak pernah melihat atau mendengar ucapan seseorang yang semisal ini. Anda Persia, Romawi, dan Turki mendengarnya, niscaya mereka akan masuk Islam.”
Soal tafsir pun Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma ahlinya. Abdullah bin Mas’ud raḍyAllāhu 'anhu (may Allāh be pleased with him), seorang ulama shahabat, mengakui kepiawaian Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dengan mengatakan, “Penafsir Al-Quran yang paling baik adalah Ibnu Abbas. Jika dia berumur seperti kita, niscaya tidak ada seorang pun dari kita yang ilmunya mencapai sepersepuluh ilmunya.”
Al-Qasim bin Muhammad mengatakan tentangnya, “Aku tidak melihat di majelis Ibnu Abbas satu kebatilan pun. Aku tidak pernah mendengar fatwa yang lebih cocok dengan sunnah daripada fatwanya. Para muridnya menjuluki beliau Al-Bahr (lautan ilmu) dan Al-Habr (tinta).” Demikianlah, Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dijuluki Habrul Ummah.
Siapa tak kenal Umar bin Al-Khaththab raḍyAllāhu 'anhu (may Allāh be pleased with him), Sang Khalifah kedua setelah Abu Bakr? Ternyata, shahabat sekelas Umar pun mengakui keilmuan Ibnu Abbas yang waktu itu masih muda. Tercatat oleh Al-Bukhari di dalam kitab Shahih beliau bahwasanya suatu saat Umar memasukkan Ibnu Abbas muda ke dalam majelisnya bersama para tokoh Islam. Pada waktu itu, para tokoh Badr yang telah matang dalam usia sangsi akan kemampuan Ibnu Abbas. Mereka pun bertanya kepada Umar, “Kenapa Anda memasukkan pemuda ini ke tengah majelis kita padahal kami juga punya anak seperti dia?”
Umar pun menjawab, “Kalian telah mengetahui tentangnya (yakni kepandaiannya, red.)”
Suatu saat, Umar memanggil Ibnu Abbas ke tengah majelis mereka untuk memperlihatkan kepandaian Ibnu Abbas. Umar menanyakan kepada mereka, “Apa yang kalian ketahui tentang firman Allah ta’ala (yang artinya), ‘Jika telah datang pertolongan Allah dan penaklukan.’ [Q.S. Al-Nashr:1-3]?”
Sebagian tokoh Badr tersebut pun menjawab, “Allah memerintahkan kita untuk beristighfar setelah Allah menolong dan memudahkan kita untuk menaklukkan kota Mekah.” Sedang sebagian lainnya memilih diam.
Sekarang giliran Ibnu Abbas, “Demikiankah?” kata Umar kepada Ibnu Abbas.
Ibnu Abbas mengatakan, “Tidak.”
“Lantas, apa menurutmu?” tanya Umar.
Ibnu Abbas mengatakan, “Itu adalah wafatnya Rasulullah `, Allah memberitahukannya kepada beliau. ‘Jika datang kepadamu pertolongan dan penaklukan.’ [Q.S. Al-Nashr:1] itu adalah tanda dari dekatnya wafat Nabi ` ‘Maka bertasbihlah dengan pujian kepada Rabbmu dan mintalah ampun. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun.’ [Q.S. An-Nashr:3].
Umar pun mengatakan, “Aku tidak mengetahuinya kecuali seperti apa yang engkau katakan.”
Demikianlah ketajaman dan ketelitian Ibnu Abbas dalam memahami wahyu. Dia mengetahui bahwa perintah istighfar tidak biasa digunakan ketika terjadi kemenangan dan penaklukan. Dia mengetahui bahwa perintah istighfar dan taubat biasanya digunakan untuk mengakhiri sesuatu, maka dia pun menafsirkan pertolongan dan penaklukan dalam ayat tersebut sebagai tanda akan diwafatkannya beliau. [I’lamul Muwaqqi’in karya Ibnul Qayyim raḥimahullāh (may Allāh have mercy upon him) ].
Tidak hanya tafsir, Ibnu Abbas juga pandai dalam banyak perkara. Murid Ibnu Abbas, Atha` bin Abi Rabah raḥimahullāh (may Allāh have mercy upon him) mengatakan, “Banyak orang mendatangi Ibnu Abbas untuk mempelajari syair dan nasab-nasab. Orang yang lain mendatangi Ibnu Abbas untuk mempelajari sejarah hari-hari peperangan. Dan kelompok lainnya mendatangi Ibnu Abbas untuk mempelajari ilmu agama dan fikih. Tidak ada satu golongan pun dari mereka kecuali mendapatkan apa yang mereka mau.”

Berawal Dari Doa Yang Mustajab
Berbagai keutamaan yang Ibnu Abbas raih ini sejatinya tidak lepas dari doa mustajab yang dipanjatkan oleh Rasulullah ṣallallāhu 'alayhi wa sallam (peace and blessings of Allāh be upon him). Saat itu, Rasulullah ṣallallāhu 'alayhi wa sallam (peace and blessings of Allāh be upon him) hendak buang hajat. Ibnu Abbas kecil memahami kebiasaan Rasulullah ṣallallāhu 'alayhi wa sallam (peace and blessings of Allāh be upon him) yang berwudhu setiap kali habis dari buang hajat. Dia pun meletakkan air wudhu di tempat keluarnya Nabi ṣallallāhu 'alayhi wa sallam (peace and blessings of Allāh be upon him). Lantas, ketika Nabi ṣallallāhu 'alayhi wa sallam (peace and blessings of Allāh be upon him) melihat air wudhu yang sudah dipersiapkan, Rasulullah ṣallallāhu 'alayhi wa sallam (peace and blessings of Allāh be upon him) pun bertanya, “Siapa yang meletakkan ini?” Ibnu Abbas menjawab, “Ibnu Abbas.” Maka Rasulullah ṣallallāhu 'alayhi wa sallam (peace and blessings of Allāh be upon him) pun meletakkan telapak tangannya yang mulia di bahu Ibnu Abbas kecil seraya berdoa:
اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِى الدِّينِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ
“Ya Allah, berilah dia pemahaman dalam masalah agama dan ajarkanlah kepadanya tafsir.” [H.R. Al-Bukhari, Muslim, dan lainnya, ini lafazh Imam Ahmad].
Nah, dari doa inilah kemuliaan demi kemuliaan kemudian dia peroleh. Namun, tentu saja kemuliaan ini bukan turun dari langit begitu saja. Allah memberi taufik kepada Ibnu Abbas untuk menuntut dan mencari kemuliaan tersebut dengan sepenuh tenaga yang Allah karuniakan kepadanya, bukan hanya dengan berpangku tangan.
Ibnu Abbas menuturkan pengalamannya dalam menuntut ilmu, “Tatkala Rasulullah ṣallallāhu 'alayhi wa sallam (peace and blessings of Allāh be upon him) telah berpulang ke hadirat Allah, aku mengatakan kepada seorang Anshar, ‘Mari kita bertanya kepada para shahabat Rasulullah ṣallallāhu 'alayhi wa sallam (peace and blessings of Allāh be upon him), mumpung sekarang mereka masih banyak.’
Orang Anshar itu pun menukas, ‘Aku heran, apakah engkau menyangka bahwa manusia membutuhkan dirimu?’”
Ibnu Abbas tidak menggubris ucapannya. Dia pergi menemui para shahabat dan menanyai mereka. Ibnu Abbas melanjutkan penuturannya, “Suatu hari, aku mengetahui ada hadits dari seseorang. Aku pun mendatangi pintunya. Ternyata orang tersebut sedang tidur siang. Aku pun beralas baju atasku (pada waktu itu, baju atas berupa selendang) menunggunya di depan pintu. Angin meniupkan debu ke wajahku. Lalu, setelah orang tersebut pun keluar dan melihatku, dia berkata, ‘Wahai sepupu Rasulullah, kebutuhan apa gerangan yang membuat Anda datang kepadaku? Kenapa Anda tidak mengutus seseorang untuk kemudian aku yang akan mendatangi Anda?’
Aku pun mengatakan, ‘Tidak. Aku lebih berhak untuk mendatangimu lalu menanyaimu tentang hadits.’
Orang Anshar tadi pun hidup hingga melihat orang-orang mengelilingiku untuk menanyaiku. Dia pun berkata, ‘Sejak dahulu, pemuda ini lebih pandai dariku.’”
Demikianlah Ibnu Abbas yang sangat menghargai ilmu. Dia datang merendahkan diri untuk mendapatkan ilmu, bukan dengan menunggu datangnya ilmu.
Selain itu, Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma sangat menghargai dan menghormati para ulama disebabkan ilmu mereka. Seorang ulama tabi’in Asy-Sya’bi mengisahkan, “Zaid bin Tsabit raḍyAllāhu 'anhu (may Allāh be pleased with him) (seorang ulama shahabat) mengendarai unta. Ibnu Abbas pun menuntun untanya. Zaid mengatakan, ‘Jangan lakukan, wahai sepupu Rasulullah ṣallallāhu 'alayhi wa sallam (peace and blessings of Allāh be upon him).’ Ibnu Abbas pun menyahut, ‘Seperti inilah kami diperintahkan untuk memperlakukan ulama kami.’ Kemudian, Zaid bin Tsabit mencium tangannya dan mengatakan, ‘Seperti inilah kami diperintahkan untuk memperlakukan keluarga Nabi kami.”

Akhir Hayat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma
Ibnu Abbas meninggal di Tha`if pada tahun 68 H pada pemerintahan Ibnu Zubair. Waktu itu, umur beliau sekitar 70 tahun. Di antara yang menshalati beliau adalah seorang ulama tabi’in, Muhammad bin Ali bin Abu Thalib yang dikenal dengan Ibnul Hanafiyah (w. 80 H). Beliau mengatakan, “Telah meninggal seorang ulama rabbani bagi umat ini.”
Demikianlah uraian singkat mengenai biografi Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma, seorang shahabat yang Allah karuniakan keutamaan ilmu kepadanya. Andai kita menyebutkan seluruh keutamaan beliau, niscaya tidak akan tertampung beberapa lembaran saja. Namun, cukuplah kiranya kisi-kisi dari biografi ulama shahabat yang satu ini untuk melecut kita mempelajari ilmu syar’i, ilmu yang kini mulai ditinggalkan oleh kaum muslimin. Sehingga, kita mendapatkan bagian yang banyak dari warisan kenabian. Allahu a’lam bish shawab.

Referensi:        Al-Isti’ab fi Ma’rifatil Ashhab, Imam Abu Umar Ibnu Abdil Barr
Al-Ishabah fi Tamyizish Shahabah, Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani raḥimahullāh (may Allāh have mercy upon him)


Ulama Tafsir: Muhammad Bin Jarir Ath-Thabari

Artikel : Tokoh Islam - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits

Muhammad Bin Jarir Ath-Thabari (Ulama Tafsir Dan Sejarah)

Jumat, 10 Mei 13
Nama dan Nasabnya

Beliau adalah Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir Al-Ghalib. Nama panggilan beliau adalah Abu Ja'far.

Kelahiran beliau

Menurut pendapat yang kuat, beliau dilahirkan pada tahun 225 H, di daerah Amal, yaitu suatu daerah yang subur di salah satu daerah di Thabaristan.

Sanjungan para Ulama terhadapnya

Al-Khatib Al-Baghdadi berkata: "Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir Al-Ghalib adalah salah satu dari para imam yang perkataannya dijadikan sandaran hukum, pendapat dan pengetahuannya sering dijadikan sebagai rujukan. Imam Ath-Thabari menguasai banyak ilmu, yang tidak satu pun ulama di masanya seperti dia. Dia mampu menghafal Al-Qur an sekaligus qira'atnya (cara membacanya) dan mengetahui makna beserta hukum-hukum yang dikandungnya. Dia juga menguasai hadits-hadits dan jalur-jalur periwayatannya, sehingga dia dapat memilah-milah mana yang termasuk hadits-hadits yang shahih dan mana yang tidak shahih, mana yang Nasikh dan mana yang mansukh. Imam Ath-Thabari juga mengetahui tentang atsar para shahabat dan peradaban manusia". (Tarikh Baghdad: 2/163)

Ibnu Suraij berkata: "Muhammad bin Jarir Ath-Thabari adalah ulama ahli fikih dunia".

Yaqut Al-Hawawi berkata: "Abu Ja'far Ath-Thabari adalah seorang ulama ahli hadits dan ahli fiqih. Dia adalah ulama yang sudah ma'ruf dan masyhur mengetahui qira'ah dan sejarah".

Imam Ibnu Katsir berkata: "Abu Ja'far Ath-Thabari satu dari sekian banyak ulama yang mempraktikkan kitab Allah ta'ala Al-Qur an dan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam".

Kehidupan Ilmiahnya

Ia memulai perjalanan menutut ilmu pasca tahun 240 H. Banyak menjelajah bumi, bertemu dengan para tokoh mulia, menyodorkan bacaan al-Qur annya kepada al-‘Abbas bin al-Walid, kemudian pindah darinya menuju Madinah Munawwarah, kemudian ke Mesir, Ray dan Khurasan. Lalu akhirnya menetap di Baghdad.

Ath-Thabari mendengar dari sejumlah Syaikh, sejumlah perjalanan dilakukannya ke sekian banyak ibukota-ibukota dunia Islam yang berjaya dengan para ulama dan ilmunya, salah satunya, Mesir.

Guru-guru beliau

Guru-guru beliau sebagai mana yang disebutkan Oleh imam Adz-Dzahabi adalah:
1. Muhammad bin Abdul Malik bin Abi Asy-Syawarib
2. Ismail Bin Musa As-Sanadi
3. Ishaq bin Abi Israel
4. Muhammad bin Abi Ma'syar
5. Muhammad bin Hamid Ar-Razi
6. Ahmad bin Mani'
7. Abu Kuraib Muhammad Ibnul A'la
8. Ash-Shan'ani
9. Bundar
10. Muhammad bin Al-Mutsanna, dan selain mereka.

Murid-murid beliau

Adapun diantara murid-murid beliau adalah:
1. Abu Syuaib bin Abdillah bin Al-Hasan bin Al-Harani.
2. Abul Qasim Ath-Thabrani
3. Ahmad bin Kamil Al-Qadhi
4. Abu Bakar Asy-Syafi'i
5. Abu Ahmad Ibnu Adi
6. Mukhallad bin Ja'far Al-Baqrahi
7. Abu Mammad Ibnu Zaid Al-Qadhi
8. Ahmad bin Al-Qasim Al-Khasysyab
9. Abu Amr Muhammad bin Ahmad bin Hamdan
10. Abu Ja'far bin Ahmad bin Ali Al-Katib, dan selain mereka.

Karya-Karyanya

Ath-Thabari termasuk ulama pada masanya yang paling produktif dalam menelurkan karya tulis. Di antara karya tulisnya yang paling populer adalah tafsirnya yang bernama Tafsir ath-Thabari dan kitab Tarikh al-Umam Wa al-Muluk. Diriwayatkan darinya, bahwa ia pernah berkata, “Tiga tahun lamanya, aku memohon pilihan terbaik kepada Allah dan meminta pertolonganNya atas penulisan karya tafsir yang aku niatkan, sebelum aku mengerjakannya, lantas Dia memberikan pertolonganNya kepadaku.”

Al-Hakim berkata, “Dan aku mendengar Abu Bakar bin Balwaih berkata, ‘Abu Bakar bin Khuzaimah berkata kepadaku, ‘Telah sampai ke telingaku bahwa engkau telah menulis tafsir dari Muhammad bin Jarir.’ Aku berkata, ‘Benar, aku menulis darinya secara dikte.’ Ia berkata, ‘Seluruhnya.?’ Aku berkata, ‘Ya.’ Ia berkata, ‘Tahun berapa.?’ Aku menjawab, ‘Dari tahun 283 H hingga 290 H.’ Ia berkata, ‘Lalu Abu Bakar meminjamnya dariku, kemudian mengembalikannya setelah sekian tahun, kemudian ia berkata, ‘Aku telah melihat isinya, dari awal hingga akhirnya. Aku tidak mengetahui di muka bumi ini ada orang yang paling berilmu dari Muhammad bin Jarir.’”

Sebagian ulama berkata, “Andaikata seorang laki-laki bepergian ke China hingga mendapatkan tafsir Muhammad bin Jarir, maka pastilah tidak akan banyak.”

Karyanya yang lain adalah:
1. Dzail Al-Mudzil
2. Ikhtilaf Ulama Al-Amshar Fil Ahkam Syarai Al-Islam, yang lebih dikenal dengan nama Ikhtilaf Al-Fuqaha.
3. Lathif Al-Qaul Fi Ahkam Syar'i Al-Islam, fiqih Ibnu Jarir
4. Basith Al-Qaul Fi Ahkam Al-Islam
5. Adab Al-Qudhah, dan selainya masih sangat banyak.

Metodenya Dalam Penulisan

Diriwayatkan dari Abu Sa’id ad-Dinuri, orang yang mendiktekan kepada Ibn Jarir, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari memberitahukan kepada kami tentang aqidahnya, di antaranya, “Cukuplah bagi seseorang untuk mengetahui bahwa Rabbnya adalah Dzat yang meninggi di atas ‘Arsy; siapa yang melebihi dari itu, maka ia telah berbuat sia-sia dan merugi.”

Ini adalah tafsir imam ini tentang ayat-ayat sifat yang penuh dengan perkataan-perkataan ulama Salaf dalam menetapkannya, bukan menafikan atau menakwilkannya. Bahwa sifat itu tidaklah menyerupai sifat-sifat para makhluk sama sekali.

Beberapa Momentum Dalam Hidupnya

Diceritakan, pernah al-Muktafi (khalifah) ingin menahan wakaf yang sudah disepakati oleh para ulama, lalu ia menghadirkan Ibnu Jarir untuk itu, lalu ia mendiktekan sebuah kitab berkenaan dengan itu. Setelah itu, ia diberi hadiah namun ditolaknya. Lantas ada yang mengatakan kepadanya, “Harus diambil untuk memenuhi kebutuhanmu.” Lalu ia berkata, “Mintalah kepada Amirul Mukminin agar melarang meminta-minta pada hari Jum’at.” Lalu Amirul Mukminin pun melakukannya. Demikian pula, pernah seorang menteri memintanya agar mengarang sebuah buku tentang fiqih, lalu ia pun mengarang untuknya sebuah buku ringan, lalu ia diberi uang sejumlah 1000 dinar namun ditolaknya.

Ath-Thabari tidak mau menerima jabatan karena takut mengalihkannya dari menuntut ilmu. Di samping alasan lainnya, yaitu bahwa ketika itu sudah menjadi kebiasaan ulama menjauhi kekuasaan.

Al-Maraghi meriwayatkan, “Tatkala al-Khaqani memangku jabatan menteri, ia memerintahkan agar memberikan kepada Abu Ja’far ath-Thabari uang yang banyak, namun ia tidak mau menerimanya. Lalu sang menteri menawarkan jabatan Qadhi kepadanya tetapi ia menolaknya, lalu menawarkan kepadanya jabatan ketua al-Mazhalim (semacam lembaga pengaduan atas tindakan zhalim), akan tetapi ia tetap menolaknya. Karena penolakannya itu, sahabat-sahahabatnya mencercanya seraya berkata, “Kamu dapat pahala menjalani jabatan ini, dapat menghidupkan sunnah.” Mereka pun mendesaknya agar menerima jabatan ‘prestisius’ itu. Mereka membawanya bersama mereka untuk menghadap guna menerima jabatan itu, namun mereka malah dihardiknya, seraya berkata, “Sungguh, aku sebelumnya mengira andai menerima jabatan itu, kalian justeru akan melarangku.” Perawi mengatakan, “Lalu kami pun berpaling darinya karena merasa malu.”

Wafatnya

Abu Muhammad al-Firghani berkata, “Abu Bakar ad-Dinuri menceritakan kepadaku, ia berkata, ‘Tatkala waktu shalat Zhuhur tiba pada hari Senin di mana Ibnu Jarir wafat di akhir waktunya, ia meminta air untuk memperbarui wudhunya, ada yang mengatakan kepadanya, ‘Sebaiknya kamu shalat jamak ta`khir saja (shalat Zhuhur dilakukan pada waktu Ashar dengan menggabungkannya dengan shalat Ashar).’ Namun ia menolak dan tetap shalat Zhuhur secara tersendiri dan Ashar juga pada waktunya secara sempurna dan demikian indahnya. Saat kematian akan menjemputnya, hadir sejumlah orang, di antara mereka ada Abu Bakar bin Kamil. Lantas ada yang berkata kepadanya sebelum ruhnya keluar, ‘Wahai Abu Ja’far, engkau adalah hujjah antara kami dan Allah Subhanahu WaTa'ala dalam keberagamaan kami, tidakkah ada sesuatu yang engkau akan wasiatkan kepada kami dari perkara agama ini, dan sebagai bukti yang karenanya kelak kami berharap dapat selamat saat kami kembali kepadaNya.?’ Ia berkata, ‘Hal yang aku jadikan agamaku kepada Allah dan aku wasiatkan adalah apa yang sudah valid (dalil yang shahih) di dalam buku-buku karyaku; amalkanlah ia…’ Dan perkataan-perkataan seperti itu. Ia lalu memperbanyak bersyahadat, berzikir kepada Allah Subhanahu WaTa'ala, mengusap tangannya ke wajahnya, menutup matanya dengan tangannya sendiri dan membentangkannya, lalu ruhnya pun meninggalkan dunia yang fana ini.”

Ahmad bin Kamil berkata, “Ibnu Jarir wafat, malam Ahad, dua hari sebelum habis bulan Syawwal tahun 110 H, dan dikuburkan di kediamannya di ‘Rahbah Ya`qub’ (alias Baghdad).” Ia berkata, “Beliau tidak merubah ubannya di mana bulu-bulu hitam masih banyak. Matanya kecoklatan lebih cenderung kehitaman, tubuhnya kurus panjang dan lebar. Para pelayat dan pengantar jenazahnya tidak terhitung jumlahnya, hanya Allah Yang Maha Tahu.” (Abu Hafshoh)

(Sumber: Diringkas dari kitab “Min A’lamis Salaf” karya, Syaikh Ahmad Farid, edisi indonesia : “60 Bigrafi Ulama Salaf dan dari artikel berjudul, ”al-Imam ath-Thabari, Imam al-Mu`arrikhin Wa al-Mufassirin)

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihattokoh&id=270

Biografi Ibnu Katsir

Nama lengkapnya adalah Abul Fida’, Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyi al-Bushrawi ad-Dimasyqi, lebih dikenal dengan nama Ibnu Katsir. Beliau lahir pada tahun 701 H di sebuah desa yang menjadi bagian dari kota Bashra di negeri Syam. Pada usia 4 tahun, ayah beliau meninggal sehingga kemudian Ibnu Katsir diasuh oleh pamannya. Pada tahun 706 H, beliau pindah dan menetap di kota Damaskus.

Riwayat Pendidikan

Ibn Katsir tumbuh besar di kota Damaskus. Di sana, beliau banyak menimba ilmu dari para ulama di kota tersebut, salah satunya adalah Syaikh Burhanuddin Ibrahim al-Fazari.

Beliau juga menimba ilmu dari Isa bin Muth’im, Ibn Asyakir, Ibn Syairazi, Ishaq bin Yahya bin al-Amidi, Ibn Zarrad, al-Hafizh adz-Dzahabi serta Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Selain itu, beliau juga belajar kepada Syaikh Jamaluddin Yusuf bin Zaki al-Mizzi, salah seorang ahli hadits di Syam. Syaikh al-Mizzi ini kemudian menikahkan Ibn Katsir dengan putrinya.

Selain Damaskus, beliau juga belajar di Mesir dan mendapat ijazah dari para ulama di sana.

Prestasi Keilmuan

Berkat kegigihan belajarnya, akhirnya beliau menjadi ahli tafsir ternama, ahli hadits, sejarawan serta ahli fiqih besar abad ke-8 H. Kitab beliau dalam bidang tafsir yaitu Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim menjadi kitab tafsir terbesar dan tershahih hingga saat ini, di samping kitab tafsir Muhammad bin Jarir ath-Thabari.

Para ulama mengatakan bahwa tafsir Ibnu Katsir adalah sebaik-baik tafsir yang ada di zaman ini, karena ia memiliki berbagai keistimewaan. Keistimewaan yang terpenting adalah menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an (ayat dengan ayat yang lain), menafsirkan al-Qur’an dengan as-Sunnah (Hadits), kemudian dengan perkataan para salafush shalih (pendahulu kita yang sholih, yakni para shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in), kemudian dengan kaidah-kaidah bahasa Arab.

Karya Ibnu Katsir

Selain Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, beliau juga menulis kitab-kitab lain yang sangat berkualitas dan menjadi rujukan bagi generasi sesudahnya, di antaranya adalah al-Bidayah Wa an-Nihayah yang berisi kisah para nabi dan umat-umat terdahulu, Jami’ Al Masanid yang berisi kumpulan hadits, Ikhtishar ‘Ulum al-Hadits tentang ilmu hadits, Risalah Fi al-Jihad tentang jihad dan masih banyak lagi.

Kesaksian Para Ulama

Kealiman dan keshalihan sosok Ibnu Katsir telah diakui para ulama di zamannya mau pun ulama sesudahnya. Adz-Dzahabi berkata bahwa Ibnu Katsir adalah seorang Mufti (pemberi fatwa), Muhaddits (ahli hadits), ilmuan, ahli fiqih, ahli tafsir dan beliau mempunyai karangan yang banyak dan bermanfa’at.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata bahwa beliau adalah seorang yang disibukkan dengan hadits, menelaah matan-matan dan rijal-rijal (perawinya), ingatannya sangat kuat, pandai membahas, kehidupannya dipenuhi dengan menulis kitab, dan setelah wafatnya manusia masih dapat mengambil manfa’at yang sangat banyak dari karya-karyanya.

Salah seorang muridnya, Syihabuddin bin Hajji berkata, “Beliau adalah seorang yang plaing kuat hafalannya yang pernah aku temui tentang matan (isi) hadits, dan paling mengetahui cacat hadits serta keadaan para perawinya. Para sahahabat dan gurunya pun mengakui hal itu. Ketika bergaul dengannya, aku selalu mendapat manfaat (kebaikan) darinya.

Wafatnya

Ibnu Katsir meninggal dunia pada tahun 774 H di Damaskus dan dikuburkan bersebelahan dengan makam gurunya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Sumber dari Tafsir Quran Ibnu Katsi

Mengenal Para Ulama Mazhab Salafi (4)

Dengan nama Allah yang maha pemurah lagi maha mengasihani..
Alhamdulilah,segala puji hanyalah bagi Allah…
Mazhab Hanafi : Imam Abu Hanifah (80h-150h) (1)
Riwayat hidup dan pengajian :
Beliau ialah seorang imam yang agung iaitu Abu Hanifah An-Nu’man Bin Tsabit Bin Zuutha At-Taimiy Al-Kufiy,beliau dilahirkan di Kota Kufah,beliau berketurunan Parsi,bapanya dahulu merupakan milikkan kepada seorang lelaki dari Bani Taimullah Ibnu Tsa’labah,kemudianya dia telah dimerdekakan,kerana itulah nama beliau dinisbahkan kepada At-Taimiy iaitu nama kepada Bani Taim,mengikut riwayat yang masyhur,beliau telah dilahirkan pada 80 hijrah,dan beliau telah meninggal dunia pada 150 hijrah.
Kembara pengajian beliau bermula di Kota Kufah,disana beliau telah memulai belajar Ilmu Kalam sehingga beliau mahir didalam ilmu tersebut,lalu beliau pun mengarang sebuah kitab yang berkaitan dengan Ilmu Kalam yang bertajuk Fiqh Al-Akbar,kemudianya beliau pun beralih kepada pengajian Ilmu Feqh,dan beliau telah berguru dengan As-Syeikh Himaad Bin Abi Sulaiman,yang mana dia pula mempelajari Ilmu Feqh dari As-Syeikh Ibrahim An-Nakhaie’.
Pengetahuan Imam Abu Hanifah didalam bidang feqh telah sampai ke peringkat yang tidak termampu dicapai oleh para fuqaha’ lain yang sezaman dengan beliau pada ketika itu,yang mana Imam Syafiey telah berkata tentang beliau : (Para fuqaha’ dalam bidang feqh bergantung kepada Imam Abu Hanifah) dan beliau merupakan insan yang wara’ orangnya serta orang yang berada,kerana beliau dahulunya merupakan seorang peniaga kain di Kota Kufah,sebelum beliau menceburkan diri beliau didalam lapangan ilmu ini.
Dan dari hasil kegiatan perniagaan beliau serta pengetahuan beliau tentang ilmu perniagaan dan juga dengan pengajian beliau didalam Ilmu Tauhid telah memberikan banyak faedah kepada beliau,cukuplah dengan harta perniagaan yang beliau ada daripada menjawat sebarang jawatan penting didalam kerajaan,sesungguhnya beliau enggan menerima sebarang jawatan kerana beliau menginginkan agar beliau bebas dalam memberikan pendapat beliau tanpa dikongkong dari pihak pemerintah,dan juga tidaklah beliau akan ditakutkan dengan dilucutkan dari jawatanya nanti,menampakkan bahawa beliau tidak takut kepada celaan dari orang-orang yang mencela dalam melontarkan pandangan beliau.
Sepanjang penceburan beliau didalam aktiviti perniagaan,beliau telah mendapat banyak pengetahuan tentang muamalat didalam perniagaan secara praktikal,ini kerana terjadinya saling jualbeli antara beliau dengan manusia lainya dipasar,tanpa syak lagi,disebabkan interaksi secara realistik dan praktikal tersebut,telah memberikan beliau kebolehan yang luas dalam berhukum secara ra’yi dan manthiq,dan juga berkebolehan mempraktikkan secara amali didalam hukum-hakam syariah islamiah pada berbagai jenis kejadian yang dihadapi oleh manusia didalam kehidupan mereka,kerana itulah beliau dianggap antara ahli feqh yang membuka luas pintu penggunaan ra’yi dan juga beliau merupakan Imam di Madrasah Ar-Ra’yi (2) dizamanya.
Beliau merupakan taabi’ taabieen mengikut riwayat yang masyhur,kerana pada zaman beliau terdapatnya empat orang sahabat yang masih hidup lagi ketika itu seperti : Anas Bin Malik radiallahu anhu di Basrah,Abdullah Bin Ubai di Kufah,Sahl Bin Saad As-Saaiediy yang berada di Madinah dan Abu Tufail Aamir Bin Waatsilah yang berada di Mekah,tetapi,tidaklah Imam Abu Hanifah sempat bertemu dengan mereka.
Dan dikatakan bahawasanya beliau merupakan seorang At-Tabieen,kerana beliau pernah berjumpa dengan beberapa orang sahabat dan sempat berguru dengan mereka,tetapi riwayat tersebut terdapatnya syak padanya.
Syeikh-syeikh beliau :
Imam Abu Hanifah lahir dari Madrasah Ar-Ra’yi seperti mana yang telah diterangkan tadi,dan Madrasah Ar-Ra’yi itu terdapatnya murid-murid mereka yang tersendiri dan pendekatan mereka terhadap ilmu yang tersendiri,yang mana madrasah ini telah diasaskan oleh Amirul Mukminin iaitu Umar Bin Khattab radiallahu anhu dan telah dipindahkan ke Kufah oleh seorang lagi sahabat yang mulia iaitu Abdullah Bin Masu’d radiallahu anhu,dan betapa ramai yang telah berguru dengan beliau,antaranya Ibrahim Alqamah Bin Qis,Masruq Ibnu Al-Ajda’ dan Syuraih Al-Qaadhi,kemudianya beberapa orang fuqaha’ yang terkenal pula telah berguru dengan mereka antaranya Ibrahim An-Nakhaiey,Aamir Bin Syarahiil As-Sya’biy,kemudianya Himad Bin Abi Sulaiman pula telah berguru dengan mereka,dan daripada jalan Himad Bin Abi Sulaiman lah Imam Abu Hanifah mengambil ilmu-ilmu para ulama’ tersebut,dan beliau telah melazimi syeikh beliau itu selama 18 tahun lamanya,dan beliau menamatkan pengajian beliau dengan mazhab feqh yang dinisbahkan kepada beliau iaitu Mazhab Hanafi.
Sesungguhnya Imam Abu Hanifah merupakan seorang imam yang tidak dapat dipersoalkan lagi kealimanya,seorang yang faaqih dan amanah dan juga merupakan seorang perawi hadith nabi yang tsiqah (terpercaya) dan beliau mempunyai harta perniagaan yang banyak yang mana beliau menyalurkanya kepada syeikh-syeikh beliau dan juga anak murid beliau dan membantu mereka.
Keengganan Imam Abu Hanifah daripada menjawat jawatan :
Imam Abu Hanifah merupakan seorang imam yang berada dan warak,dan cukuplah dengan harta yang beliau perolehi dari hasil perniagaan beliau itu daripada menjawat sebarang jawatan,kewarakkanya serta ketaqwaanya terhadap Allah telah menghalang beliau daripada menjawat apa-apa jawatan dizaman pemerintahan Al-Umawi begitu juga di zaman pemerintahan Al-Abbasi,dan sesungguhnya Yazid Bin Umar telah meminta seorang dari pegawainya di Iraq di zaman pemerintahan Al-Umawi iaitu Marwan Bin Muhammad supaya menyatakan kepada Imam Abu Hanifah untuk menjadi pentadbir di Kufah tetapi beliau telah menolaknya,lalu beliau telah diseksa disebabkan penolakkan beliau terhadap jawatan tersebut,beliau telah disebat dengan menggunakan cambuk sebanyak 110 kali sebatan,setiap hari sebanyak sepuluh kali sebatan dan pada zaman pemerintahan Al-Abbasi pula Abu Ja’far Bin Mansur telah berkenan untuk menjadikan beliau pentadbir di Baghdad tetapi beliau telah menolaknya juga,lalu sebagai hukuman beliau telah ditahan dan diseksa lagi sekali dengan dipukul dengan cambuk sebanyak 10 kali sebatan setiap hari sehingga beliau hampir-hampir menemui ajal beliau.
Sebab sebenar beliau diseksa mengikut kata Al-Marhum As-Syeikh Al-Khadri ialah :
Sesungguhnya Yazid Bin Umar berbicara dengan beliau tentang tawaran jawatan tersebut adalah bertujuan untuk menguji kesetiaan beliau terhadap pemerintahan Al-Umawiah,jika beliau menerima jawatan tersebut ianya dapat menjadi bukti kesetiaan beliau terhadap pemerintah dan juga kesudian beliau menolong dan menyokong pemerintah ketika itu,dan penolakkan beliau terhadap jawatan yang ditawarkan pemerintah ketika itu pula akan menjadi bukti bahawa beliau tidak menyokong golongan pemerintah,dan disebabkan itulah beliau telah diseksa,kerana mereka telah menganggap yang beliau tidak menyokong kerajaan pemerintah ketika itu,dan mereka menyangka bahwa beliau merupakan penyokong kepada golongan Al-Alawiyyun iaitu golongan pembangkang pemerintahan Al-Umawiyah.
Disebabkan itulah kita dapat lihat yang Abu Ja’far Al-Mansur ketika mana mahu menawarkan jawatan kepada Imam Abu Hanifah,dan apabila mendengarkan penolakkan dari beliau,dia telah berkata :Apakah kamu tidak menyukai pemerintahan kami??,dan yang jelasnya,penahanan beliau tersebut merupakan sebab yang berkaitan dengan unsur politik,dan juga terdapatnya beberapa ulamak lain selain Imam Abu Hanifah yang enggan menjawat jawatan yang ditawarkan kepada mereka oleh golongan pemerintah tetapi tidak pula mereka diapa-apakan,antaranya ialah Al-Laits Bin Saad,yang mana ketika Abu Mansur meminta beliau menjadi qadhi tetapi beliau telah menolaknya dan beliau tidak diapa-apakan lansung.
Usul Mazhab Imam Abu Hanifah :
(1) Al-Quran Al-Karim : yang mana secara lazimnya ianya menjadi sumber hukum yang pertama dikalangan para fuqaha’.
(2) As-Sunnah Nabawiyah : iaitu sumber hukum di martabat yang kedua selepas Al-Quran,dan sesungguhnya beliau tidak begitu senang untuk mengambil sesuatu hadith itu sebagai sumber hukum,kerana di Iraq ketika itu ialah sarang memalsukan hadith,iaitu hadith yang sengaja dibohongkan atas nama rasulullah sallallahu alahi wassalam,disebabkan itulah beliau tidak akan mengambil sesuatu hadith sebagai sumber hukum melainkan jika hadith tersebut diriwayatkan oleh perawi yang ramai daripada perawi yang juga ramai yang mana keadaan para perawi tersebut tidak bersepakat sesama mereka untuk berbohong,yang dinamakan hadith mutawatir,atau pun hadith yang diriwayatkan oleh seorang perawi daripada rasulullah sallallahu alaihi wassalam kemudianya diriwayatkan pula dari perawi tersebut beberapa perawi yang ramai dari golongan tabieen,iaitu hadith yang dinamakan sebagai masyhur,manakala hadith ahad iaitu hadith yang diriwayatkan oleh seorang perawi atau dua orang atau lebih yang mana lebih sedikit daripada bilangan perawi hadith mutawatir,dan Imam Abu Hanifah tidak akan menerima hadith ahad ini melainkan jika ianya memenuhi syarat-syarat yang telah disyaratkan untuk diterima sebagai hujjah dan beramal denganya,dan diantara syarat yang paling penting bagi hadith ini ialah,perawi hadith tersebut mestilah seorang yang adil (3),terpercaya,tsabit dan mestilah berasa yakin untuk mengambil hadith yang diriwayatkanya itu dan juga hendaklah dia itu seorang yang mempunyai pengetahuan agama.
(3) Ijmak : jika beliau tidak menemui apa-apa nas bersumberkan dari Al-Quran juga As-Sunnah,beliau akan melihat pula hasil persepakatan para ulamak iaitu ijmak jika ianya ada,samada ijmak secara Soreh (4) atau Sukutiy (5),dan tanpa syak lagi ijmak para sahabat akan mendepani ijmak yang lain,kerana para sahabat berada bersama-sama rasulullah sallallahu alaihi wassalam ketika mana hukum-hakam tersebut diturunkan kepada rasulullah sallallahu alaihi wassalam,dan mereka juga mengetahui kejadian-kejadian yang telah diturunkan hukum-hakam keatasnya,dan disebabkan itu beliau beramal dengan ijmak para sahabat dan mendepankanya dari Qiyas pada perkara yang tidak boleh dihukum dengan menggunakan ra’yi,kerana urusan agama itu tidak diambil dari ra’yi (pendapat berdasarkan aqal semata-mata) dan beliau menganggap perkataan para sahabat itu ialah atsar dari rasulullah sallallahu alahi wassalam pada apa yang dinisbahkan kepada para sahabat.
Dan beliau tidak akan menerima perkataan para tabi’en melainkan jika perkataan tersebut bertepatan dengan ijtihad beliau,dan kadangkala beliau menggunakan pendapat yang tidak pernah diperkatakan langsung oleh golongan tabi’en,yang mana sebaliknya beliau tidak akan menggunakan pendapat yang bercanggahan juga menyimpang dari kata-kata para sahabat,dan beliau akan membawa pula pendapat yang baru jika tiadanya pendapat dari para sahabat.
(4) Al-Qiyas : Sesunguhnya Imam Abu Hanifah mengunakan qiyas secara meluas,disebabkan ketelitian beliau dalam menerima hadith dan terlalu memilih hadith makanya beliau beramal dengan qiyas secara meluas dan menjadikanya diantara asas yang utama daripada asas-asas syariah lain yang menjadi sumber hukum mazhab beliau.
(5) Al-Istihsan : iaitu suatu perkara yang terkeluar daripada lingkungan qiyas zahir dan masuk kepada hukum lain yang bercangah dengan qiyas zahir kerana wujudnya dalil yang membinanya dari nas,ijmak atau ‘Urf (adat) (6)
Imam Abu Hanifah mengatasi para fuqaha’ lain didalam penggunaan Al-Istihsan,dan istilah Al-Istihsan itu hanyalah digunakan oleh mazhab-mazhab lain selain Mazhab Hanafi,kerana didalam Mazhab Hanafi dipanggil sebagai Al-Istislah.
(6) Al-‘Urf : Imam Abu Hanifah menggunakan Al-‘Urf yang sahih iaitu Al-‘Urf yang terbina diatas hukum dan menjadikanya sebagai suatu qaedah untuk mengeluarkan hukum pada perkara feqh yang bersifat furu’ (cabang) dan beliau terkenal dengan kemahiran beliau didalam feqh hadith,yang mana beliau akan mencari kesahihan sesebuah hadith pertamanya,kemudianya jika beliau mendapati hadith tersebut sahih,maka beliau akan mengeluarkan hukum daripada hadith tersebut pada hukum-hakam feqh dengan kemahiran beliau yang tinggi,serta ketelitian yang menakjubkan.
Imam Abu Hanifah tidak hanya berlegar di lapangan Feqh yang berkisar pada kejadian semasa sahaja,begitu juga tidak hanya pada masalah-masalah yang dihadapi oleh manusia sahaja,bahkan beliau dapat menyelesaikan masalah yang belum pun berlaku dizaman itu,yang mana beliau tidak akan menunggu sesuatu hukum itu sehingga ianya berlaku,menjadikan beliau ketua para fuqaha’ pada lapangan Feqh Al-Iftiradhi (7),yang mana ianya memberikan kelebihan yang besar kepada feqh islami untuk terus berkembang dan tersebar dan dapat meliputi segenap penjuru kehidupan.
Diriwayatkan daripada Sufyaan At-Tsauri,dia berkata : Sesungguhnya aku telah mendengar bahawa Abu Hanifah telah berkata suatu kata-kata yang adil lagi berhujjah : “Sesungguhnya aku mengambil ( mencari hukum) dari kitabullah itu jika aku mendapatinya,dan jika aku tidak mendapatinya,aku akan mengambil pula dari sunnah nabiNya,dan juga dari atsar-atsar yang sahih yang mana berlegar di kalangan para perawi yang terpercaya,dan jika aku tidak mendapatinya didalam kitabullah dan sunnah nabiNya itu,aku akan mengambilnya pula dari kata-kata para sahabat,aku akan mengambil kata-kata dari mereka yang aku mahu dan aku akan tinggalkan pula kata-kata yang aku mahu,tetapi aku tidak akan keluar dari kata-kata mereka dan mencari kata-kata selain mereka,jika aku sudah melihat kata-kata dari Ibrahim,As-Sya’biy,Al-Hasan dan Ibnu Sirin begitu juga Saed Al-Musayyab serta beberapa perawi lagi yang telah berijtihad,maka aku akan berijtihad sepertimana mereka telah berijtihad”.
Kitab-kitab hasil karangan Imam Abu Hanifah :
Tidaklah kami mengetahui apa-apa kitab feqh yang dikarang sendiri oleh Imam Abu Hanifah,sebenarnya,beliau tidak mengarang apa-apa kitab pun didalam bidang feqh,kerana jika beliau ada mengarang apa-apa kitab feqh maka kita akan dapati adanya suatu bentuk buku pengumpulan,dan pasti akan disebarkanya oleh murid-murid beliau yang berguru dengan beliau,dan setiap kata-kata beliau yang disampaikan dari orang itu ialah sebenarnya berupa kata-kata dari risalah-risalah kecil beliau didalam Ilmu Kalam,dan pendapat-pendapat beliau pada feqh pula berasal dari jalan periwayatan anak-anak murid beliau,kerana merekalah yang memelihara pendapat-pendapat beliau itu dengan menulisnya dan meriwayatkanya kepada kami pada setiap bab dari bab-bab feqh.
Anak-anak murid Imam Abu Hanifah:
Sesungguhnya Imam Abu Hanifah mempunyai anak-anak murid yang menyebarkan dan memelihara mazhab beliau agar kekal meniti zaman,dan tidaklah terhapusnya mazhab beliau sepertimana terhapusnya mazhab-mazhab para fuqaha’ lain yang bertaraf mujtahid yang sezaman dengan beliau atau yang sebelum beliau lagi,jika bukan kerana pengikut-pengikut dan sahabat-sahabat beliau yang meriwayatkan pendapat-pendapat beliau dan mengumpulkanya kedalam sebuah kitab serta mewariskanya dari generasi ke generasi seterusnya pastilah akan terhapusnya juga mazhab beliau ini.
Diantara anak-anak murid beliau yang masyhur ialah : As-Syeikh AbuYusuf,As-Syeikh Muhammad Bin Al-Hasan As-Syibaaniy,As-Syeikh Zufar Bin Al-Huzail,As-Syeikh Al-Hasan Bin Ziyaad.
(1) Abu Yusuf :
Beliau ialah Abu Yusuf Ya’qub Bin Ibrahim Al-Ansori,dilahirkan di Kufah pada tahun 112 hijrah dan wafat pada tahun 182 hijrah di Kufah,beliau mempelajari Ilmu Hadith serta menghafalnya,kemudianya beliau mempelajari Ilmu Feqh pertamanya dengan Ibnu Abi Laila,kemudian menyambung pengajianya itu dengan Imam Abu Hanifah,melaziminya dan berguru denganya serta mempelajari Ilmu Feqh,beliau merupakan anak murid utama Imam Abu Hanifah serta yang paling dekat denganya,dan apabila melihatkan ibu-bapa beliau yang miskin,Imam Abu Hanifah telah menolong beliau dengan memberikanya harta untuk membantu beliau dalam menuntut ilmu (alaa,macam biasiswa juga) Abu Yusuf merupakan anak murid beliau yang paling faaqih serta yang paling banyak meriwayatkan hadith,beliau tidaklah hanya mengetahui mazhab imamnya itu sahaja,sesungguhnya beliau telah mengembara di Madinah untuk bertemu dengan Imam Malik dan berguru denganya Ilmu Feqh dan Hadith,dan beliau juga ada menarik balik beberapa pendapat beliau dan berhukum dengan pendapat Imam Malik dan pendapat para fuqaha’ di Hijaz. ( 8 )
Beliau dianggap sebagai seorang mujtahid,kerana terdapatnya beberapa pendapat beliau yang bercanggah dengan pendapat gurunya pada sesetengah masalah,dan ijtihad beliau itu pula beriringan dengan usul Imam Abu Hanifah,dan beliau dikira sebagai mujtahid pada mazhab,tetapi beliau tidak ada mazhab yang khas.
Sesungguhnya beliau ada memegang jawatan dizaman pemerintahan Abbasiyyiin dibawah tiga orang khalifah iaitu Al-Mehdi,Al-Hadi dan Harun Ar-Rasyid yang mana Harun Ar-Rasyid memuliakan beliau dan menaikkan beliau sehingga ke tahap yang tertinggi yang tidak dapat dicapai oleh sesiapa pun selain beliau,
Harun Ar-Rasyid telah mengurniakan beliau pangkat Ketua Qadhi,dan beliau merupakan orang pertama yang memegang jawatan ini dari golongan fuqaha’,dan pangkat ini pula telah membuka peluang kepada beliau untuk berkhidmat kepada mazhab imamnya dengan menyebarkanya kepada seluruh manusia,dan beliaulah yang bertanggungjawab melantik qadhi di seluruh wilayah milik Daulat Abbasiyyah,beliau tidak akan melantik qadhi melainkan qadhi yang bermazhab hanafi,lalu perkara ini telah menggalakkan ramai orang ingin mempelajari mazhab hanafi serta menyebarkanya kepada orang ramai sehingga ramailah yang mengikut mazhab tersebut serta telah menjamin pengekalan mazhab hanafi,beliau telah meletakkan suatu usul feqh bagi mazhab hanafi,dan juga telah diriwayatkan kata-kata dari beliau pada masalah-masalah feqh yang pelbagai,dan beliau telah menyandarkan pendapat mazhab ini dengan hadith-hadith nabi yang dihafalnya serta yang difahaminya,dan beliau telah bercanggah dengan imamnya ini disebabkan oleh pengetahuan beliau pada sesetengah hadith yang tidak dikaji oleh Imam Abu Hanifah,dan beliau telah menambah didalam mazhab ini beberapa pendapat yang beliau telah mendalaminya serta dari apa yang telah beliau dapati dari feqh golongan Hijaz.
Diantara kitab-kitab yang dikarang oleh Abu Yusuf dan masih lagi ada pada kami ialah : Kitab Al-Kharaj yang dikarang oleh beliau disebabkan oleh keinginan Khalifah Harun Ar-Rasyid yang menginginkan suatu asas untuk berhukum dengan hukum-hakam yang berkaitan dengan harta untuk Daulah Abbasiyyah,dan juga Kitab Ar-Radd ‘Ala Siyarul ‘Auzaiey,dan telah diriwayatkan beberapa pendapat beliau didalam Kitab Al-Umm oleh Imam Syafiey.
Diantara kata-kata beliau yang menunjukkan kewarakkan serta ketaqwaan beliau kepada Allah ialah kata-kata beliau ketika beliau hampir-hampir menemui ajal :
“Setiap apa yang telah aku fatwakan sesungguhnya aku telah menariknya kembali kecuali pada apa yang bertepatan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah” dan pada lafaz yang lain : …”kecuali pada apa yang selari dengan Al-Quran serta pada apa yang dipersetujui oleh sekalian muslim” dan perkara ini tidaklah asing bagi Abu Yusuf kerana beliau merupakan Ahli Ra’yi yang paling banyak meriwayatkan hadith .
(2) Muhammad Bin Al-Hasan As-Syibaaniy :
Beliau ialah Muhammad Bin Al-Hasan Bin Al-Farqad As-Syibaaniy,dilahirkan pada 132 hijrah,iaitu ketika ayah beliau bermusafir bersama tentera-tentera Syam yang sedang menuju ke Iraq,beliau berasal dari sebuah kampung di Dimasyq (Damsyik) dan beliau wafat pada tahun 189 hijrah ketika beliau dalam perjalanan ke Khurasan bersama Khalifah Harun Ar-Rasyid.
Beliau tinggal di Kufah dan berguru dengan Imam Abu Hanifah,tetapi beliau tidak tinggal disana lama dan beliau berguru dengan imamnya itu sekejap sahaja,apabila wafatnya Imam Abu Hanifah beliau ketika itu baru sahaja berumur 18 tahun,kemudianya beliau berguru pula dengan Abu Yusuf dan mempelajari mazhab hanafi,tetapi beliau tidaklah hanya mempelajari mazhab hanafi sahaja,tetapi beliau telah pergi ke hijaz dan telah mendalami hadith dari golongan Hijaz di sana dan beliau telah berguru dengan Imam Malik di Madinah Al-Munawwarah dan telah tinggal bersamanya selama 3 tahun lamanya,dan mempelajari Ilmu feqh,Ilmu Hadith dan beliau telah meriwayatkan Al-Muwattho’ daripada Imam Malik,dan beliau juga mempelajari Ilmu Feqh dengan At-Tsauri dan Al-‘Auzaiey,disebabkan itulah ianya telah memberikan kesan terhadap pendapat-pendapat beliau didalam bidang feqh,beliau telah menggabungkan bersama Madrasah Ar-Ra’yi dan Madrasah Ahli Hadith,dan menggunakan pendapat kedua-dua madrasah tersebut didalam pendapat-pendapat beliau,dan beliau telah berusaha untuk melakukan pendekatan terhadap kedua-duanya.
Sesungguhnya beliau merupakan seorang yang faaqih dan sangat cerdas,serta berpengetahuan,Imam Syafiey telah berguru dengan beliau ketikamana Imam Syafiey mengembara ke Iraq,dan Imam Syafiey telah berkata tentang beliau :”Sesungguhnya Muhammad Bin Al-Hasan dipenuhi hatinya dan matanya (dengan ilmu)” dan berkata juga : “Tidak pernah aku melihat sesiapa pun yang lebih a’lim tentang kitabullah selain Muhammad,seakan-akan diturunkan Al-Quran kepadanya” beliau berkata lagi : “Sesungguhnya aku telah menulis dari apa yang aku dapati dari Muhammad sebanyak bebanan unta,jika bukan kerana dia,tidaklah dibukakan kepadaku ilmu”
Sesungguhnya Muhammad Bin Al-Hasan seorang imam yang pintar,cerdik dan cerdas sehinggakan beliau telah menjadi tempat rujukkan ahli ra’yi ketika Abu Yusuf masih hidup,beliau pernah menjawat jawatan Ketua Pengurusan Hamba untuk pihak Khalifah Harun Ar-Rasyid,dan beliau mengurusnya dengan adil,Harun Ar-Rasyid telah memberhentikan perkhidmatan beliau pada tahun 187 hijrah,selepas beliau diberhentikan beliau telah pergi ke Baghdad,kemudian Harun Ar-Rasyid telah cuba memujuk beliau dan mengajak beliau kembali kepadanya semula,dan Harun Ar-Rasyid telah menjejaki perjalanan beliau yang sedang dalam perjalanan ke Khurasan,tetapi beliau telah meninggal dunia ketika didalam perjalanan tersebut,Khalifah Harun Ar-Rasyid lalu berkata : “Aku telah mengebumikan Ilmu Bahasa Arab dan Ilmu Feqh di Ray pada hari ini” Khalifah Harun Ar-Rasyid bermaksud ingin memuji seorang syeikh yang mahir didalam bidang Ilmu Bahasa Arab dan merupakan Syeikhul Qiraat dan Ilmu Nahu iaitu As-Syeikh Abu Hasan Ali Bin Hamzah Al-Kisaiey dan syeikh yang alim dalam bidang Feqh dan Hadith iaitu Muhammad Bin Al-Hasan As-Syibaaniy yang mana kedua-dua syeikh ini meninggal dunia di hari yang sama.
Beliau merupakan imam yang melakukan usaha pengumpulan untuk mazhab hanafi,iaitu dengan mengarang banyak kitab-kitab untuk mazhab hanafi,yang paling utamanya ialah enam buah kitab yang mana para ulamak mazhab hanafi mengatakan kitab-kitab ini merupakan Zahirul Riwayat (9) kerana ianya telah diriwayatkan oleh para perawi yang terpercaya iaitu :
(1) Kitabul Asl yang juga dikenali dengan Al-Mabsuth,
(2) Kitab Al-Jaamik As-Saghir,
(3) Kitab Al-Jaamik Al-Kabir,
(4)Az-Ziyaadaat,
(5) As-Siyarus Saghir,
(6) As-Siyarul Kabir .
Dan kitab dua yang terakhir ini menerangkan tentang hubungan Negara Islam dengan negara-negara lain ketika didalam dua keadaan iaitu ketika aman dan ketika perang.
Kitab-kitab penting di dalam mazhab hanafi :
Selain kitab-kitab yang berjumlah enam buah ini,terdapatnya kitab-kitab lain yang telah diriwayatkan oleh murid-murid beliau daripada beliau,iaitu dengan jalan periwayatan riwayat ahad antaranya :
(1) Ar-Ruqqiyaat,iaitu kitab yang meliputi tentang masalah-masalah yang dicabangkan oleh Muhammad ketikamana beliau menjadi Ketua Pengurusan Hamba,
(2) Al-Kisaaniyaat,iaitu kitab yang meliputi tentang masalah-masalah yang telah diriwayatkan oleh murid beliau daripada beliau iaitu Syuaib Bin Sulaiman Al-Kisaniy
(3) Al-Jurjaaniyaat
(4) Al-Haruniyaat,iaitu dinisbahkan kepada nama anak murid beliau,dan dianggap riwayat Muhammad Bin Al-Hasan didalam kitab Al-Muwattho’ Imam Malik merupakan diantara riwayat yang terbaik didalam kitab agung tersebut.
Manakala kitab-kitab Mukhtasar (10) terhadap enam buah kitab tersebut antaranya :
(1) Mukhtasar At-Tohawiy
(2) Al-Kaafiy oleh Haakim As-Syahid
(3) Tuhfatul Fuqaha’ oleh As-Samarqandi
(4) Mukhtasar Al-Qaduri yang mana kitab ini dipanggil sebagai “Al-Kitab” didalam mazhab hanafi
(5) Bidayatul Mubtadiy oleh Burhanuddin Mirghinaani
(6) Al-Mukhtar oleh Abdullah Bin Mahmud Bin Maudud Al-Mosuli
(7) Kanzul Daqaieq oleh An-Nasafi
( 8 ) Wiqayatul Ar-Riwayat Li Sadri As-Syariah
Dan kitab-kitab syarah yang penting pula :
(1) Al-Mabsuth oleh Imam As-Sarakhsi yang mensyarahkan Mukhtasar At-Tohawiy
(2) Badaie’u As-Sonaie’ oleh A’laauddin Al-Kaasaaniy yang mensyarahkan Tuhfatul Fuqaha’ As-Samarqandi
(3) Al-Hidayah oleh Burhanuddin Mirghinaani yang mensyarahkan Bidayatul Mubtadiy dan syarah kepada Al-Hidayah pula Al-Inayah
(4) Al-Ikhtiyar Li Ta’liil Al-Mukhtar oleh Al-Mosuli yang mensyarahkan kitabnya Al-Mukhtar.
(3) Zufar Bin Al-Huzail :
Beliau ialah Zufar Bin Al-Huzail Bin Qis Al-Kufiy,dilahirkan pada tahun 110 hijrah dan wafat pada tahun 158 hijrah,bapa beliau dahulu merupakan penguasa di Basrah,beliau mempelajari Ilmu Hadith pertamanya dan beliau merupakan diantara perawi hadith,kemudian mempelajari Ilmu Feqh dengan Imam Abu Hanifah,dan beliau banyak menggunakan Ar-Ra’yi seperti imam beliau ini,dan beliau merupakan diantara murid yang amat mahir didalam mengunakan Al-Qiyas,dan juga diantara murid yang banyak menggunakan Ar-Ra’yi didalam pendapat beliau,dan merupakan seorang imam yang ahli ibadah,zuhud dan lebih banyak mengembangkan ilmu disepanjang hayat beliau,sehinggalah beliau meninggal dunia di Basrah,dan tiadalah apa yang beliau tinggalkan dirumah beliau melainkan hanya wang 3 dirham sahaja,kerana beliau pernah berkata :
“Tidaklah aku akan tinggalkan apa-apa selepas kematianku nanti sesuatu yang lebih aku takuti daripada Al-Hisab”
(4) Al-Hasan Bin Ziyad Al-Lu’luiey :
Beliau ialah Al-Hasan Bin Ziyad Al-Lu’lu’iey Al-Kufiy yang wafat pada tahun 204 hijrah,berguru dengan Imam Abu Hanifah pertamanya,kemudian dengan dua orang sahabat (didalam mazhab hanafi) iaitu Abu Yusuf dan Muhammad Bin Al-Hasan As-Syibaaniy,dan pencapaian beliau didalam feqh tidaklah sampai ke peringkat pencapaian dua orang sahabat tadi,dan beliau telah mengarang beberapa buah kitab didalam mazhab hanafi,tetapi kitab-kitab beliau itu tidak sampai ke martabat kitab-kitab yang dikarang oleh Muhammad Bin Al-Hasan.
Ashabul Hanafi yang dinisbahkan kepada Imam Abu Hanifah :
Keempat-empat orang alim ini merupakan ashab didalam mazhab hanafi yang paling masyhur,iaitu mereka ini telah berguru dengan Imam Abu Hanifah,dan mereka telah menyebarkan mazhab beliau ini disegenap ceruk,dan bukanlah mereka ini dinisbahkan kepada Imam Abu Hanifah seperti pengikut yang mengikuti ketua,tetapi dinisbahkan seperti anak murid dengan gurunya,kerana kami melihat mereka ini telah berijtihad didalam mazhab hanafi,dan mereka tidaklah hanya menggunakan pendapat-pendapat guru mereka sahaja,tetapi mereka juga telah bercanggah dengan sebahagian pendapat-pendapat guru mereka jika mereka menemui dalil terhadap sesuatu perkara tersebut lebih kuat daripada dalil yang digunakan oleh guru mereka,maka mereka ini merupakan para mujtahid yang dinisbahkan kepada Imam Abu Hanifah,kerana mereka telah berijtihad sambil mengiringi ijtihad mereka itu dengan usul-usul serta kaedah-kaedah yang telah dibina di dalam mazhab ini,dan mereka telah mengikuti jalan serta pendekatan yang digunakan Imam Abu Hanifah didalam berijtihad dan berfatwa.
Melihatkan percanggahan yang berlaku antara ashabul hanafi ini dengan guru mereka maka telah tercetusnya beberapa istilah didalam mazhab hanafi,iaitu dengan meletakkan pendapat imam-imam mazhab ini beriringan dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan menisbahkan setiap pendapat itu kepada orang yang mengemukakan pendapat tersebut,ianya terjadi apabila berlakunya percanggahan pendapat sesama mereka dan masing-masing pula bertetapan dengan pendapat masing-masing,jika Imam Abu Hanifah sependapat dengan Abu Yusuf terhadap sesuatu perkara maka mereka akan menggunakan istilah :
هذا رأى الشيخين
Bermaksud : Ini adalah pendapat dua orang syeikh (iaitu Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf)
Penjenamaan ini adalah kerana kedua-dua orang ini adalah guru bahkan syeikh kepada Muhammad Bin Al-Hasan,dan jika Imam Abu Hanifah sependapat dengan Muhammad Bin Al-Hasan pula terhadap sesuatu perkara,mereka akan menggunakan istilah :
هذا رأى الطرفين
Bermaksud : Ini adalah pendapat dari kedua belah pihak (iaitu Imam Abu Hanifah dengan Muhammad Bin Al-Hasan)
Penjenamaan ini adalah kerana Abu Yusuf sebaya dengan kedua-dua imam ini dari segi umur (Imam Abu Hanifah dan Muhammad Bin Al-Hasan) manakala Zufar Bin Huzail pula pendapat beliau dinisbahkan kepada beliau sendiri.
Disebabkan hubungan yang rapat antara Abu Yusuf dengan para khalifah Abbasiyyiin,bahkan para pemerintah menyukai beliau dan juga disebabkan jawatan Ketua qadhi yang dipegangnya itu telah memberikan suatu peluang yang cukup besar kepada beliau untuk menyebarkan mazhab hanafi ke seluruh pelusuk Negara Islam,dan sesungguhnya para penguasa Utsmaniyiin telah menyebarkan mazhab hanafi ini di kebanyakkan negara-negara islam sehinggalah ke hari ini,ianya tersebar di negara-negara yang mendapat pengaruh penguasaan pemerintahan Utsmaniy,seperti Negara Turki,Mesir,Syria dan Lubnan dan beberapa negara Eropah serta Benua Asia yang mana telah terkesan dengan pemerintahan islam Turki seperti Albania dan Balkan,dan mazhab ini telah diikuti secara meluas di Afghanistan,Pakistan,India dan China.
Istilah-istilah penting di dalam mazhab hanafi pula :
(1) Al-Imam : Imam Abu Hanifah
(2) As-Sohibaani : Abu Yusuf dan Muhammad Bin Al-Hasan As-Syibaaniy
(3) Ats-Tsalatsah (الثلاثة) : Al-Imam dan As-Sohibaani
(4) Kitab Zahirul Riwayat : Kitab-kitab Muhammad Bin Al-Hasan As-Syibaaniy yang berjumlah enam buah
(5) Al-Kitab : Mukhtasar Al-Qaduri
(6) Al- Mutun Ats-Tsalatsah : Al-Wiqayah,Kanzu Ad-Daqaieq dan Mukhtasar Al-Qaduri.
*************************************************************************************************************************************************************************************
RUJUKKAN DAN PENERANGAN :
(1) Al-Madkhal Ila Al-Feqh Al-Islami oleh Dr.Mahmud Muhammad At-Tonthowi
(2) Ar-Ra’yu : Apa yang dicondongkan oleh hati selepas berfikir dan mendalami sedalam-dalamnya terhadap sesuatu masalah dan berusaha mencari kebenaran terhadap sesuatu yang bercanggah tanpa mengambil sesuatu kebenaran itu berdasarkan hawa nafsu,dan Ar-Ra’yu pula digunakan dengan :
(2.1) Ijtihad pada nas-nas yang bersifat zhonni,iaitu nas-nas yang mempunyai banyak takwil dan mempunyai berbagai makna.
(2.2) Menggunakan dalil-dalil aqal yang bersandarkan kepada Al-Quran dan As-Sunnah secara zahir atau tersembunyi seperti Qiyas,Masalihul Mursalah,Sadduz Zaraie’,Istihsan dan lain-lain.
Manakala Madrasah Ar-Ra’yi di Iraq pula ialah sebuah institusi yang banyak menggunakan Ar-Ra’yu di dalam pendekatan feqh mereka memandangkan keadaan Iraq ketika itu yang menjadi sarang memalsukan hadith yang mana ianya telah dipelopori oleh Umar Bin Al-Khattab dan telah dipindahkan ke Iraq oleh Abdullah Bin Mas’ud,dan Imam Abu Hanifah telah mengambil dari jalan Mas’ud ini dari guru-guru beliau yang berguru dengan Mas’ud dan Imam Abu Hanifah dianggap sebagai Imam Madrasah Ar-Ra’yi di Iraq ini,tetapi tidaklah mereka mengunakan ar-Ra’yu itu apabila menjumpai penyelesaian terhadap sesuatu masalah itu dari Al-Quran dan As-Sunnah.
Pendekatan golongan ini amat berbeza dengan pendekatan golongan Madrasah Ahlul Hadith di Hijaz yang mana mereka lebih banyak menggunakan hadith-hadith dan atsar-atsar didalam pendekatan feqh mereka.
(3) Yang dimaksudkan dengan perawi yang adil ialah : hendaklah dia seorang yang beragama islam,baligh (cukup umur) beraqal,terlepas dari tuduhan Fasiq dan juga terlepas dari perkara yang mencemarkan maruah.
Manakala perawi yang Tsabit ataupun Dhobit pula ialah : riwayatnya tidak bercanggah dengan riwayat dari perawi yang tsiqah (terpercaya),tidak cepat terlupa hafalanya,tidak bodoh atau dungu,tidak melakukan kesalahan yang berat didalam riwayatnya juga tidak terlalu banyak melakukan kesilapan di dalam periwayatanya. (Taisiru Mustholahul Hadith oleh Dr.Mahmud At-Thohhan)
(4) Yang dimaksudkan dengan Ijmak Soreh ialah : suatu persetujuan pendapat dari kalangan para mujtahid samada melalui kata-kata mereka atau perbuatan-perbuatan mereka terhadap sesuatu hukum pada sesuatu masalah,seperti berhimpunya para ulamak didalam suatu majlis,dan setiap seorang dari mereka melontarkan pendapat masing-masing secara jelas dan terang terhadap sesuatu masalah,lalu bersepakatnya pendapat-pendapat mereka itu dengan suatu hukum yang sama,ataupun setiap ulamak tersebut mengeluarkan fatwa mereka terhadap sesuatu masalah berdasarkan ijtihad masing-masing,lalu berlakunya persepakatan fatwa-fatwa tersebut dengan hukum yang sama,yang mana ianya dapat dijadikan hujjah didalam hukum syarak tanpa khilaf dikalangan jumhur ulamak.
(5) Dan Ijmak Sukutiy pula ialah : seperti berkatanya beberapa mujtahid didalam zaman masa yang sama dengan memberikan pendapat terhadap sesuatu masalah,tetapi beberapa mujtahid yang lain pula hanya mendiamkan diri mereka selepas mendalami pendapat-pendapat tersebut,tanpa sebarang pengingkaran,bercanggahnya para ulamak terhadap ijmak ini dari segi kebolehanya dijadikan hujjah di dalam hukum syarak :
Malikiah dan As-Syafieyyah : tidak dikira sebagai Ijmak dan tidak boleh dijadikan hujjah,
Al-Hanafiah dan Al-Hanabilah : dikira sebagai Ijmak dan merupakan hujjah syarak yang qoth’ie. (Al-Wajiz Fi Usulil Feqh oleh Dr.Wahbah Az-Zuhailiy)
(6) Al-Istihsan : menggunakan qiyas yang bersifat tersembunyi melebihi daripada qiyas yang bersifat zahir dan jelas,ataupun menggunakan hukum yang bersifat terkecuali melebihi daripada hukum yang bersifat Kulli iaitu hukum yang bersifat menyeluruh,contoh :
(6.1) Para fuqaha’ Hanafiah menyatakan bahawa jika berselisihnya antara penjual dan pembeli terhadap kadar harga pada sesuatu barang jualan sebelum ianya di beli oleh si pembeli, yang mana si penjual mendakwa bahawa harga barang tersebut ialah RM100 manakala si pembeli pula mengatakan RM 90,maka secara jalan Istihsan (qiyas tersembunyi) hendaklah kedua-dua mereka mengangkat sumpah.
Jikalau secara jalan Qiyas yang zahir pula,penjual itu tidaklah perlu mengangkat sumpah,kerana kaedah menyatakan : « pembuktian ke atas siapa yang mendakwa dan bersumpah kepada siapa yang menafikanya » dan si penjual mendakwa pertambahan sebanyak RM 10 dari RM 90,dan si pembeli pula menafikan harga tersebut,maka si penjual tidak perlu bersumpah,
Dari jalan Istihsan,jelasnya si penjual tersebut merupakan pendakwa berdasarkan peningkatan harga yang dibuat,dan menafikan hak si pembeli dari menerima barang tersebut selepas sudah dibayar RM 90,dan si pembeli itu pula merupakan orang yang menafikan peningkatan harga yang dibuat oleh si penjual sebanyak RM 10 dan dia juga merupakan pendakwa kerana dia mendakwa haknya menerima barang tersebut selepas membayar RM 90,maka kedua-dua belah pihak merupakan penafi,maka kedua-dua mereka perlu mengangkat sumpah.
(6.2) Hukum yang bersifat Kulli iaitu hukum yang menyeluruh melarang jualbeli yang mendahulukan bayaran dan melambatkan memiliki barang jualan,tetapi jika dipandang secara Istihsan (hukum yang bersifat terkecuali) ianya dibolehkan memandangkan keperluan manusia yang berhajat jualbeli sebegitu,contoh : tempahan menjahit,yang mana didahulukan bayaran tetapi dilambatkan mendapat barang tempahan tersebut. (Ilmu Usul Feqh oleh As-Syeikh Abdul Wahab Khalaaf)
(7) Feqh Iftiradhi : Suatu bentuk ijtihad di dalam feqh yang meletakkan hukum syarak terhadap sesuatu kejadian yang belum pun berlaku ketika itu,yang mana pengamalnya akan menjangkakan kejadian-kejadian yang belum pun berlaku lagi seterusnya mencari penyelesaian terhadap jangkaan-jangkaan tersebut.
( 8 ) Fuqaha’ Hijaz : ataupun Madrasah Ahlul hadith di Madinah Al-Munawwarah,yang mana Imam Malik merupakan imam institusi ini,dan diantara syeikh-syeikh institusi ini yang awal ialah : Zaid Bin Tsabit dan Abdullah Bin Umar radiallahu anhuma,yang mana Abdullah Bin Umar ini merupakan insan yang teramat kuat berpegang dengan sunnah rasulullah sallallahu alahi wassalam,pendekatan golongan ini ialah apabila mereka disoal tentang sesuatu masalah,jika mereka mengetahui sesuatu ayat Al-Quran atau hadith nabi maka mereka akan berfatwa,jika tiada,mereka akan mendiamkan diri,dan mereka akan berfatwa terhadap kejadian-kejadian yang hanya berlaku di ketika itu sahaja tanpa membuat sebarang jangkaan kepada kejadian yang belum berlaku.
Berkatanya As-Syakbi : Apa-apa yang datang dari para sahabat nabi itu kepada kamu maka ambillah,tetapi jika ianya hanya pendapat peribadi mereka maka lemparkanlah kata-kata mereka itu di tempat buang hajat ( jamban)
(9) Zahirul riwayat : enam buah kitab pengumpulan riwayat oleh Muhammad Bin Al-Hasan yang diriwiyatkan oleh para ashab hanafi,iaitu 3 orang imam besar mazhab hanafi iaitu imam Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad Bin Al-Hasan dan ada juga Zufar Bin Huzail dan Hasan Bin Ziyad,yang mana kebanyakkanya merupakan riwayat pendapat 3 orang imam besar ini di dalam enam buah kitab kepunyaan Muhammad Bin Al-Hasan ini,yang mana keenam-enam kitab ini merupakan sumber utama mazhab ini.
(10) Mukhtasar :ringkasan yang menyatakan hanya perkara-perkara yang raajih (yang kuat) daripada perkara-perkara yang bercangah.
HIDUPLAH PERJUANGAN ISLAM SELAMANYA…
“Barangsiapa yang ingin copy dan paste terjemahan ini hendaklah dia meminta izin dengan tuan blog ini,masuk rumah orang perlu ada tatatertib dan adab-adabnya..”