Our Life

Monday, March 12, 2012

My conversion to Islam

CNN News - Woman converted to Islam after being captured by Talibans

Sunday, March 11, 2012


Hasbunallah wa Ni’mal Wakiil

Kategori: Tazkiyatun Nufus
2 Komentar // 18 December 2011
Alhamdulillah, wash sholaatu was salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi.
Kalimat ini termasuk dzikir sederhana, namun mengandung makna yang luar biasa. Dzikir ini menandakan bahwa seorang hamba hanya pasrah pada Allah dan menjadikan-Nya sebagai tempat bersandar.
Allah Ta’ala menceritakan mengenai Rasul dan sahabatnya dalam firman-Nya,
الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan, “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung”. ” (QS. Ali ‘Imron: 173)
Kata sahabat Ibnu ‘Abbas, ia berkata bahwa “hasbunallah wa ni’mal wakiil” adalah perkataan Nabi ‘Ibrahim ‘alaihis salaam ketika beliau ingin dilempar di api. Sedangkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kalimat tersebut dalam ayat,
إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
“Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka,” maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung”. (HR. Bukhari no. 4563)

Renungkanlah Maknanya!
Ibnul Jauzi dalam Zaadul Masiir berkata bahwa maksud “hasbunallah” ialah Allah-lah yang mencukupi segala urusan mereka. Sedangkan “al wakiil“, kata Al Faro’ berarti orang yang mencukupi. Demikian pula kata Ibnul Qosim. Sedangkan Ibnu Qutaibah berkata bahwa makna “al wakiil” adalah yang bertanggung jawab (yang menjamin). Al Khottobi berkata bahwa “al wakiil” adalah yang bertanggung jawab memberi rizki dan berbagai maslahat bagi hamba.
Dalam tafsir Al Jalalain disebutkan makna dzikir di atas ialah Allah-lah yang mencukupi urusan mereka dan Allah-lah sebaik-baik tempat bersandar dalam segala urusan.
Syaikh As Sa’di dalam kitab tafsirnya memaparkan, “Maksud ‘hasbunallah‘ adalah Allah-lah yang mencukupi urusan mereka dan ‘ni’mal wakiil’ adalah Allah-lah sebaik-baik tempat bersandar segala urusan hamba dan yang mendatangkan maslahat.”
Syaikh Al Imam Al ‘Arif rahimahullah berkata bahwa dalam hadits di atas adalah isyarat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada para sahabatnya agar mereka rujuk (kembali) pada Allah Ta’ala, bersandar pada-Nya, sadar bahwa tidak ada daya dan kekuatan melainkan dari-Nya. … Kalimat “hasbunallah” adalah tanda bahwa hamba benar-benar butuh pada Allah dan itu sudah amat pasti. Lalu tidak ada keselamatan kecuali dari dan dengan pertolongan Allah. Tidak ada tempat berlari kecuali pada Allah. Allah Ta’ala berfirman,
فَفِرُّوا إِلَى اللَّهِ إِنِّي لَكُمْ مِنْهُ نَذِيرٌ مُبِينٌ
Maka segeralah kembali kepada (mentaati) Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu. ” (QS. Adz Dzariyat: 50) (Bahrul Fawaid karya Al Kalabadzi)

Allah-lah Yang Mencukupi
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Tholaq: 3). Al Qurtubhi rahimahullah menjelaskan pula tentang surat Ath Tholaq ayat 3 dengan mengatakan, “Barangsiapa yang menyandarkan dirinya pada Allah, maka Allah akan beri kecukupan pada urusannya.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ
Barangsiapa menyandarkan diri pada sesuatu, maka hatinya akan dipasrahkan padanya” (HR. Tirmidzi no. 2072, hadits ini hasan kata Syaikh Al Albani). Artinya di sini, barangsiapa yang menjadikan makhluk sebagai sandaran hatinya, maka Allah akan membuat makhluk tersebut jadi sandarannya. Maksudnya, urusannya akan sulit dijalani. Hati seharusnya bergantung pada Allah, bukan pada makhluk. Jika Allah menjadi sandaran hati, tentu urusan akan semakin mudah.

Ya Allah … Engkau-lah yang mencukupi segala urusan kami, tahu manakah yang maslahat dan yang mengatur segala rizki kami.
Hasbunallah wa ni’mal wakiil.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 21 Dzulqo’dah 1432 H (19/10/2011)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
  • 161
    161
    161
    161
    161
    161
    161
    161
    161
  • 13
    13
    13
    13
    13
    13
    13
    13
    13







Friday, March 09, 2012


Kisah Wanita Tua Dari Bani Israil

Kategori: Aqidah, Hadits
1 Komentar // 6 March 2012
Dalam sebuah riwayat dikisahkan:
عن أبي موسى قال: أتى النبي صلى الله عليه وسلم أعرابيا فأكرمه فقال له: ائتنا، فأتاه، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم (وفي واية: نزل رسول الله صلى الله عليه وسلم بأعرابي فأكرمه، فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم: تعهدنا ائتنا، فأتاه الأعرابي فقال له سول الله صلى الله عليه وسلم:) سل حاجتك، فقال: ناقة برحلها وأعنزا يحلبها أهلي، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أعجزتم أن تكونوا مثل عجوز بني إسرائيل؟ فقال أصحابه: يا رسول الله وما عجوز بني إسرائيل؟ قال: إن موسى لما سار ببني إسرائيل من مصر، ضلوا لطريق فقال: ما هذا؟ فقال علماؤهم: نحن نحدثك، إن يوسف لما حضره الموت أخذ علينا موثقا من الله أن لا يخرج من مصر حتى ننقل ظامه معنا، قال: فمن يعلم موضع قبره؟ قالوا: ما ندري أين قبر يوسف إلا عجوز من بني إسرائيل، فبعث إليها فأتته فقال: دلوني لى قبر يوسف، قالت: لا والله لا أفعل حتى تعطيني حكمي، قال: وما حكمك؟ قالت: أكون معك في الجنة، فكره أن يعطيها ذلك فأوحى الله إليه أن أعطها حكمها، فانطلقت بهم إلى بحيرة موضع مستنقع ماء، فقالت: انضبوا هذا الماء فأنضبوا، قالت: احفروا واستخرجوا عظام يوسف فلما أقلوها إلى الأرض إذا الطريق مثل ضوء النهار
Dari Abu Musa ia berkata, seorang badwi datang kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, kemudian beliau memuliakannya dan berkata: ‘kemarilah‘. Orang badwi itu lalu mendatangi beliau. Kemudian Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
( Dalam riwayat lain, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam turun dari tunggangan beliau lalu memuliakannya. Beliau berkata kepada orang itu: ‘kemarilah bersama kami‘. Orang badwi itu lalu mendatangi beliau. Kemudian Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: )
Sebutlah apa yang engkau inginkan“. Orang badwi menjawab: ‘Saya ingin unta dan pelananya serta kambing yang dapat diperah untuk memberi minum keluarga saya’. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam lalu bersabda:
“Apakah kalian tidak menginginkan seperti yang diinginkan oleh wanita tua dari Bani Israil?”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah siapa yang dimaksud wanita tua dari Bani Israil itu?”. Beliau berkata: “Musa ketika pergi dari Mesir bersama Bani Israil, mereka tersesat di jalan”. Musa bertanya: “Apa sebabnya menjadi begini?”. Orang-orang berilmu dari Bani Israil menjawab: “Kami beritahukan kepadamu, Nabi Yusuf ketika menjelang wafatnya membuat perjanjian dengan kami yang dipersaksikan oleh Allah, yaitu agar tidak keluar dari Mesir kecuali membawa jasad beliau bersama kami”. Musa berkata: “Kalau begitu siapa yang mengetahui dimana letak kuburnya?”. Mereka berkata: “Diantara kami tidak ada yang tahu letak makam beliau kecuali seorang wanita tua dari Bani Israil”. Lalu Musa mengutus orang untuk memanggilnya hingga wanita tersebut datang kepada Musa. Musa berkata kepada wanita itu: “Tunjukan kami letak makam Nabi Yusuf”. Wanita tersebut berkata: “Demi Allah tidak akan aku lakukan, sampai engkau mentaati ketentuanku”. Musa bertanya: ‘”Apa ketentuanmu itu?”. Wanita tersebut berkata: “Jadikan aku penghuni surga bersamamu”. Nabi Musa pun enggan memenuhinya, hingga Allah mewahyukan kepada Musa agar mentaati ketentuan tersebut. Lalu mereka pergi ke mata air dari sebuah danau. Wanita tersebut berkata: “Keringkan airnya lalu gali dan keluarkanlah jasad Nabi Yusuf”. Ketika jasadnya diangkat, jalan pun seketika menjadi jelas bagaikan terangnya siang.
(HR. Abu Ya’la dalam Musnad-nya 1/344, Al Hakim 2/404-405)
Derajat Hadits
Al Hakim berkata: “Hadits ini shahih sesuai dengan syarat Shahih Bukhari dan Muslim”. Penilaian Al Hakim ini disetujui oleh Adz Dzahabi. Al Albani berkata: “Yang benar, hadits ini shahih sesuai dengan syarat Shahih Muslim saja. Karena Al Bukhari tidak mengeluarkan riwayat Yunus di dalam Shahih-nya, melainkan di kitabnya yang lain yaitu Juz Al Aqira’ah“. (Silsilah Ahadits Shahihah, 1/623)
Faidah Hadits
  1. Betapa mulianya akhlak Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam terhadap orang awam.
  2. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah pemimpin negara yang senantiasa peduli terhadap kebutuhan rakyatnya, terutama orang-orang lemah yang kurang mampu. Tidaklah tersisa harta beliau melainkan sebatas harta untuk memenuhi kewajiban sebagai suami kepada keluarganya dan harta untuk diberikan kepada orang lain. Sebagaimana sabda beliau:
    لا يحل للخليفة من مال الله إلا قصعتان قصعة يأكلها هو وأهله وقصعة يضعها بين يدي الناس
    Bagi seorang khalifah, tidak halal memiliki harta dari Allah, kecuali dua piring saja. Satu piring untuk kebutuhan makannya bersama keluarganya. Dan satu piring untuk ia berikan kepada rakyatnya” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah no.362)
  3. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam membimbing umat-nya agar senantiasa lebih mendambakan kebaikan akhirat dibanding kebaikan dunia semata. Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu berkata:
    فَرَأَيْتُ أَثَرَ الْـحَصِيرِ فِي جَنْبِهِ فَبَكَيْتُ. فَقَالَ: مَا يُبْكِيكَ؟ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ كِسْرَى وَقَيْصَرَ فِيمَا هُمَا فِيهِ وَأَنْتَ رَسُولُ اللهِ. فَقَالَ: أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُونَ لَـهُمُ الدُّنْيَا وَلَنَا الْآخِرَةُ؟
    Ketika aku melihat bekas tikar di sisi badan beliau, aku pun menangis. Beliau bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Aku jawab, “Wahai Rasulullah, sungguh Kisra dan Kaisar berada dalam kemegahannya, padahal engkau adalah utusan Allah” Beliau menjawab, “Tidakkah engkau ridha mereka mendapatkan dunia sedangkan kita mendapatkan akhirat?” (Muttafaq ‘alaihi)
    Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
    وَاللهِ مَا الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ – وَأَشَارَ يَحْيَى بِالسَّبَّابَةِ – فِي الْيَمِّ، فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ
    Tiadalah dunia dibanding akhirat melainkan hanyalah seperti air yang menempel di jari ketika salah seorang dari kalian mencelupkannya di laut.” (HR. Muslim no.2858).
  4. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengharapkan para sahabatnya meminta sebagaimana yang diminta oleh wanita tua dari Bani Israil, yaitu: surga. Ini menunjukkan bahwa mengharap surga itu tidaklah tercela, bukan tanda sedikitnya keikhlasan, bukan tanda rendahnya cinta kepada Allah, sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang.
  5. Kaum Bani Isra’il ketika itu berada di atas ilmu dan tauhid yang lurus, mereka tidak menyembah atau mengagungkan kuburan para Nabi. Mereka tidak ngalap berkah atau bertawassul dengan mayat para Nabi. Silakan simak  Hukum Ber-tabarruk Kepada Orang Shalih.
  6. Jangankan menyembah kuburan atau ngalap berkah, bahkan tidak terbesit dalam benak mereka untuk mencari tahu letak kuburan para Nabi. Yang tahu pun, ternyata tidak gembar-gembor atau dengan mudah memberi tahu letaknya. Mereka juga tidak membangun dan membuat megah kuburan tersebut. Nabi Musa dan Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam tidak mencela mereka karena demikianlah yang seharusnya. Berbeda dengan orang-orang di zaman ini yang malah mencela orang-orang yang enggan mengagungkan kuburan orang shalih agar tidak dijadikan sarana kesyirikan.
  7. Para Nabi tidak dapat memberi syafa’at kecuali atas izin Allah. Sebagaimana Nabi Musa tidak dapat menjamin wanita tersebut masuk surga kecuali setelah diizinkan oleh Allah. Allah Ta’ala berfirman:
    قُلْ لِلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعًا لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
    Katakanlah, hanya milik Allah lah semua syafa’at itu. Ia yang menguasai langit dan bumi dan kepada-Nya lah engkau akan kembali” (QS. Az Zumar: 44)
  8. Jasad para Nabi tidak hancur dimakan tanah.
  9. Bukti adanya mu’jizat bagi para Nabi.
  10. Wajibnya menunaikan janji, terlebih lagi perjanjian dengan para Nabi Allah.
  11. Kata عظام yang artinya ‘tulang-belulang’ kadang bermakna ‘badan seutuhnya’. Jika  عظام dalam hadits di atas kita artikan  ’tulang-belulang’, maka bertentangan dengan hadits:
    إن الله تعالى حرم على الأرض أن تأكل أجساد الأنبياء
    Sungguh Allah Ta’ala mengharamkan kepada bumi untuk memakan jasad para Nabi” (HR. Abu Daud 662, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah no.1527).
    Namun yang benar, kita maknai  عظام dengan makna  ’badan seutuhnya’ sebgaimana terdapat hadits :
    أن النبي صلى الله عليه وسلم لما بدن، قال له تميم الداري: ألا أتخذ لك منبرا يا رسول الله يجمع أو يحمل عظامك؟ قال: بلى فاتخذ له منبرا مرقاتين
    Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sudah berusia senja, Tamim Ad Daari berkata kepada beliau:’Wahai Rasulullah, maukah aku ambilkan mimbar yang dapat membawa badanmu?’. Beliau berkata: ‘Boleh’. Lalu ia mengambil mimbar yang memiliki 2 anak tangga” (HR. Abu Daud 1081, Al Albani berkata: “Sanadnya jayyidsesuai dengan syarat Muslim”).
    Demikian penjelasan Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah (1/624).

Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

Asiyah, Wanita Yang Ditampakkan Surga Untuknya


Penulis: Ummu Uwais Herlani Clara Sidi Pratiwi
Muraja’ah: ustadz Abu Ukkasyah Aris Munandar

Wanita, sosok lemah dan tak berdaya yang terbayangkan. Dengan lemahnya fisik, Allah tidak membebankan tanggung jawab nafkah di pundak wanita, memberi banyak keringanan dalam ibadah dan perkara lainnya. Mereka adalah sosok yang mudah mengeluh dan tidak tahan dengan beban yang menghimpitnya. Dengan kebengkokannya sehingga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk bersikap lembut dan banyak mewasiatkan agar bersikap baik kepadanya.  Oleh karena itu, tidak mengherankan kiranya jika Allah Tabaroka wa Ta’ala dengan segala hikmah-Nya mengamanahkan kaum wanita kepada kaum laki-laki.

Namun, kelemahan itu tak harus melunturkan keteguhan iman. Sebagaimana keteguhan salah seorang putri, istri dari seorang suami yang menjadi musuh Allah Rabb alam semesta. Seorang suami yang angkuh atas kekuasaan yang ada di tangannya, yang dusta lagi kufur kepada Rabbnya. Putri yang akhirnya harus disiksa oleh tangan suaminya sendiri, yang disiksa karena keimanannya kepada Allah Dzat Yang Maha Tinggi. Dialah Asiyah binti Muzahim, istri Fir’aun.
Ketika mengetahui keimanan istrinya kepada Allah, maka murkalah Fir’aun. Dengan keimanan dan keteguhan hati, wanita shalihah tersebut tidak goyah pendiriaannya, meski mendapat ancaman dan siksaan dari suaminya.
Kemudian keluarlah sang suami yang dzalim ini kepada kaumnya dan berkata pada mereka, “Apa yang kalian ketahui tentang Asiyah binti Muzahaim?” Mereka menyanjungnya.Lalu Fir’aun berkata lagi kepada mereka,“Sesungguhnya dia menyembah Tuhan selainku.” Berkatalah mereka kepadanya,“Bunuhlah dia!”
Alangkah beratnya ujian wanita ini, disiksa oleh suaminya sendiri.
Dimulailah siksaan itu, Fir’aun pun memerintahkan para algojonya untuk memasang tonggak. Diikatlah kedua tangan dan kaki Asiyah pada tonggak tersebut, kemudian dibawanya wanita tersebut di bawah sengatan terik matahari. Belum cukup sampai disitu siksaan yang ditimpakan suaminya. Kedua tangan dan kaki Asiyah dipaku dan di atas punggungnya diletakkan batu yang besar. Subhanallah…saudariku, mampukah kita menghadapi siksaan semacam itu? Siksaan yang lebih layak ditimpakan kepada seorang laki-laki yang lebih kuat secara fisik dan bukan ditimpakan atas diri wanita yang bertubuh lemah tak berdaya. Siksaan yang apabila ditimpakan atas wanita sekarang, mugkin akan lebih memilih menyerah daripada mengalami siksaan semacam itu.
Namun, akankah siksaan itu menggeser keteguhan hati Asiyah walau sekejap? Sungguh siksaan itu tak sedikitpun mampu menggeser keimanan wanita mulia itu. Akan tetapi, siksaan-siksaan itu justru semakin menguatkan keimanannya.
Iman yang berangkat dari hati yang tulus, apapun yang menimpanya tidak sebanding dengan harapan atas apa yang dijanjikan di sisi Allah Tabaroka wa Ta’ala. Maka Allah pun tidak menyia-nyiakan keteguhan iman wanita ini. Ketika Fir’aun dan algojonya meninggalkan Asiyah, para malaikat pun datang menaunginya.
Di tengah beratnya siksaan yang menimpanya, wanita mulia ini senantiasa berdo’a memohon untuk dibuatkan rumah di surga. Allah mengabulkan doa Asiyah, maka disingkaplah hijab dan ia melihat rumahnya yang dibangun di dalam surga. Diabadikanlah doa wanita mulia ini di dalam al-Qur’an,
“Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya dan selamatkan aku dari kaum yang dzalim.” (Qs. At-Tahrim:11)
Ketika melihat rumahnya di surga dibangun, maka berbahagialah wanita mulia ini. Semakin hari semakin kuat kerinduan hatinya untuk memasukinya. Ia tak peduli lagi dengan siksaan Fir’aun dan algojonya. Ia malah tersenyum gembira yang membuat Fir’aun bingung dan terheran-heran. Bagaimana mungkin orang yang disiksa akan tetapi malah tertawa riang? Sungguh terasa aneh semua itu baginya. Jika seandainya apa yang dilihat wanita ini ditampakkan juga padanya, maka kekuasaan dan kerajaannya tidak ada apa-apanya.
Maka tibalah saat-saat terakhir di dunia. Allah mencabut jiwa suci wanita shalihah ini dan menaikkannya menuju rahmat dan keridhaan-Nya. Berakhir sudah penderitaan dan siksaan dunia, siksaan dari suami yang tak berperikemanusiaan.
Saudariku..tidakkah kita iri dengan kedudukan wanita mulia ini? Apakah kita tidak menginginkan kedudukan itu? Kedudukan tertinggi di sisi Allah Yang Maha Tinggi. Akan tetapi adakah kita telah berbuat amal untuk meraih kemuliaan itu? Kemuliaan yang hanya bisa diraih dengan amal shalih dan pengorbanan. Tidak ada kemuliaan diraih dengan memanjakan diri dan kemewahan.
Saudariku..tidakkah kita menjadikan Asiyah sebagai teladan hidup kita untuk meraih kemuliaan itu? Apakah kita tidak malu dengannya, dimana dia seorang istri raja, gemerlap dunia mampu diraihnya, istana dan segala kemewahannya dapat dengan mudah dinikmatinya. Namun, apa yang dipilihnya? Ia lebih memilih disiksa dan menderita karena keteguhan hati dan keimanannya. Ia lebih memilih kemuliaan di sisi Allah, bukan di sisi manusia. Jangan sampailah dunia yang tak seberapa ini melenakan kita. Melenakan kita untuk meraih janji Allah Ta’ala, surga dan kenikmatannya.
Saudariku…jangan sampai karena alasan kondisi kita mengorbankan keimanan kita, mengorbankan aqidah kita. Marilah kita teladani Asiyah binti Muzahim dalam mempertahankan iman. Jangan sampai bujuk rayu setan dan bala tentaranya menggoyahkan keyakinana kita. Janganlah penilaian manusia dijadikan ukuran, tapi jadikan penilaian Allah sebagai tujuan. Apapun keadaan yang menghimpit kita, seberat apapun situasinya, hendaknya ridha Allah lebih utama. Mudah-mudahan Allah mengaruniakan surga tertinggi yang penuh kenikmatan.
Maraaji’:
14 Wanita Mulia dalam sejarah Islam (terjemahan dari Nisa’ Lahunna Mawaqif) karya Azhari Ahmad Mahmud
***
Artikel muslimah.or.id

Saturday, March 03, 2012