Our Life

Wednesday, April 29, 2015

Tafsir Al-Qur’an Surah At-Takwiir (3)

17MEI

Tafsir Ibnu Katsir Surah At-Takwiir (Menggulung)
Surah Makkiyyah; Surah ke 81: 29 ayat

Dan firman Allah: wallaili idzaa ‘as-‘as (“Demi malam apabila telah hamper meninggalkan gelapnya.”) mengenai hal ini terdapat dua pendapat. Pertama, menuju kepada kegelapannya. Mujahid mengatakan: “Yakni menjadi gelap.” Sedangkan ‘Ali bin Abi Thalhah dan al-‘Aufi meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, idzaa ‘as-‘as, apabila telah hampir meninggalkan gelapnya; yakni jika malam telah meninggalkan gelapnya. Demikian pula yang dikemukakan oleh Muhahid, Qatadah dan adl-Dlahhak. Dan juga menjadi pilihan Ibnu Jarir bahwa yang dimaksud dengan firman-Nya: idzaa ‘as-‘as (“Apabila telah hampir meninggalkan gelapnya.”) yakni jika malam telah pergi meninggalkan. Hal itu didasarkan pada firman-Nya: wash-shubhi idzaa tanaffas (“Dan demi shubuh apabila fajarnya mulai menyingsing.”) yakni bersinar. Hal itu didasarkan pada ungkapan seorang penyair: “Sehingga apabila waktu shubuh sudah mempunyai sinar, sementara malamnya telah meninggalkan gelapnya.”
Yakni telah pergi. Menurut Ibnu Katsir, yang dimaksud dengan firman Allah: idzaa ‘as-‘as, adalah jika malam telah tiba, meskipun penggunaannya bisa juga untuk pengertian meninggalkan, tetapi pengertian tiba di sini lebih cocok, seakan-akan Allah bersumpah dengan malam dan kegelapannya jika tiba dan dengan waktu pagi dan cahayanya jika terbit. Sebagaimana Dia telah berfirman: wal laili idzaa yaghsyaa. Wan naHaari idzaa tajallaa (“Demi malam menutupi [cahaya siang], dan siang apabila terang benderang.”)(al-Lail: 1-2)

Firman Allah: wash shubhi idzaa tanaffas (“Dan demi shubuh apabila fajarnya mulai menyingsing.”) yakni jika telah terbit. Dan firman-Nya: innaHuu laqaulu rasuuling kariim (“Sesungguhnya al-Qur’an itu benar-benar firman [Allah yang dibawa oleh] utusan yang mulia [Jibril],”) yakni sesungguhnya al-Qur’an ini adalah yang disampaikan oleh utusan yang mulia, yaitu malaikat yang sangat mulia, mempunyai bentuk yang baik dan indah dipandang. Dia adalah Jibril a.s. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, asy-Sya’bi, Maimun bin Mihran, al-Hasan, Qatadah, ar-Rabi’ bin Anas, adl-Dlahhak, dan lain-lain.
Dzii quwwatin (“Yang mempunyai kekuatan”) yakni seperti firman-Nya: ‘allamaHuu syadiidul quwaa (“Yang diajarkan kepadanya oleh [Jibril] yang sangat kuat, yang mempunyai akal yang cerdas.”)(an-Najm: 5-6). Yakni, mempunyai tubuh yang kuat dan kekuatan serta perbuatan yang sangat dahsyat.

‘inda dzil ‘arsy makiin (“Yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai ‘Arsy.”) yakni dia mempunyai kedudukan dan derajat yang tinggi di sisi Allah. Muthaa-‘in tsamma (“Yang ditaati di sana”) yakni dia mempunyai kewibawaan, ucapannya didengar dan ditaati di Mala-ul A’laa. Mengenai firman-Nya: Muthaa-‘in tsamma (“Yang ditaati di sana”) Qatadah mengatakan: “Yaitu di langit.” Artinya, dia bukan termasuk kelompok malaikat biasa, tetapi dia termasuk kelompok malaikat yang terhormat lagi mulia yang mendapat perhatian dan dipilih untuk menyampaikan risalah yang sangat agung ini. Firman-Nya: amiin (“Lagi dipercaya”). Sifat Jibril yang amanah [dapat dipercaya]. Dan demikian ini merupakan suatu hal yang sangat agung sekali. Di mana Rabb telah menyucikan hamba dan utusan-Nya, sebagai sosok malaikat, yaitu Jibril, yaitu Muhammad saw. melalui firman-Nya: wa maa shaahibukum bimajnuun (“Dan temanmu [Muhammad] itu bukanlah sekali-sekali orang yang gila.”) Asy-Syay’bi, Maimun bin Mihran dan Abul Shalih yang telah disebutkan sebelumnya mengatakan bahwa firman-Nya ini, yakni Muhammad saw.

Dan firman Allah: wa laqad raa-aaHu bil ufuqil mubiin (“Dan sesungguhnya Muhammad itu melihat Jibril di ufuk yang terang.”) Muhammad betul-betul telah melihat Jibril yang mendatanginya membawa risalah dari Allah dengan penampilan aslinya, yang diciptakan Allah, mempunyai 600 sayap. Bil ufuqil mubiin (“Di ufuk yang terang.”) yakni benar-benar nyata, sebagai penglihatan pertama.

Wa maa Huwa ‘alal ghaibi bidlaniin (“Dan dia [Muhammad] bukanlah seorang yang bakhil untuk menerangkan yang ghaib.”) maksudnya Muhammad itu tidaklah pantad dituduh bakhil terhadap apa yang telah diturunkan kepadanya. Di antara mereka ada yang membaca dengan menggunakan huruf “dladl” yang berarti orang yang kikir. Tetapi justru beliau saw. selalu menerangkan kepada setiap orang. Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan bahwa kata dhaniin dan dlaniin adalah sama, artinya tidaklah dia itu sebagai pendusta atau seorang jahat. Kata adh-dhaniin berarti orang yang dituduh, sedangkan adl-dlaniin berarti orang yang kikir. Qatadah mengemukakan: “Sebelumnya al-Qur’an itu merupakan sesuatu yang ghaib, lalu Allah menurunkannya kepada Muhammad, dan beliau tidak kikir untuk menjelaskannya kepada manusia, tetapi beliau justru menyebarkan, menyampaikan, dan menjelaskannya kepada setiap orang yang menghendakinya.” Demikian pula yang dikemukakan oleh ‘Ikrimah, Ibnu Zaid, dan beberapa ulama lainnya. Dan Ibnu Jarir memilih bacaan kata dlaniin dengan huruf dladl.
Ibnu Katsir mengatakan bahwa keduanya mutawatir dan maknanya shahih.
Firman Allah: wa maa Huwa biqauli syaithaanir rajiim (“Dan al-Qur’an itu bukanlah perkataan syaitan yang terkutuk.”) maksudnya, al-Qur’an itu bukan merupakan ucapan syaitan yang terkutuk. Artinya, syaitan itu tidak akan mampu mengembannya dan tidak juga menghendakinya, serta tidak pantas baginya untuk mendapatkannya. Sebagaimana firman Allah yang artinya:
“dan Al Quran itu bukanlah dibawa turun oleh syaitan- syaitan. dan tidaklah patut mereka membawa turun Al Quran itu, dan merekapun tidak akan Kuasa. Sesungguhnya mereka benar-benar dijauhkan daripada mendengar Al Quran itu.” (asy-Syu’araa: 210-212)

Firman Allah: fa aina tadz-Habuun (“Maka kemanakah kamu akan pergi?”) maksudnya, kemana akal kalian pergi ketika kalian mendustakan al-Qur’an ini, padahal kemunculannya sudah sangat nyata dan isinya pun sudah benar-benar jelas serta keberadaannya pun tidak diragukan berasal dari Allah swt. Mengenai firman-Nya: fa aina tadz-Habuun (“Maka kemanakah kamu akan pergi?”) Qatadah mengatakan: “Yakni dari kitab Allah dan ketaatan kepada-Nya.”

Firman Allah: in Huwa illaa dzikrul lil ‘aalamiin (“Al-Qur’an itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta alam.”) maksudnya al-Qur’an ini merupakan peringatan bagi seluruh umat manusia, dengannnya mereka mangambil pelajaran dan menjadikannya sebagai nasehat.
Limay yasyaaa-a mingkum ay yastaqiim (“Bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus.”) yakni bagi orang yang menghendaki petunjuk, maka hendaklah ia berpegang pada al-Qur’an ini, karena sesungguhnya ia merupakan penyelamat sekaligus petunjuk baginya, dan tidak ada petunjuk bagi selainnya.
Wa maa tasyaa-uuna illaa ay yasyaa allaaHu rabbul ‘aalamiin (“Dan kamu tidak dapat menghendaki [menempuh jalan itu] kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.”) maksudnya kehendak itu tidak diserahkan kepada kalian sehingga barangsiapa menghendaki, dia akan mendapatkan, dan barangsiapa menghendaki dia akan memperoleh kesesatan. Tetapi semua itu bergantung kepada kehendak Allah Ta’ala, Rabb seru sekalian alam.

Tafsir Al-Qur’an Surah At-Takwiir (2)

17MEI

Tafsir Ibnu Katsir Surah At-Takwiir (Menggulung)
Surah Makkiyyah; Surah ke 81: 29 ayat

Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Salamah bin Yazid al-Ju’fi, dia berkata: Aku bersama saudara laki-lakiku pernah menolak menuju Rasulullah saw. lalu kami katakan: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibu kami, Mulaikah, selalu menyambung tali silaturahim, menghormati tamu dan berbuat [kebaikan]. Beliau binasa pada masa jahiliyyah, maka apakah semua itu memberi manfaat baginya?’ Beliau menjawab: ‘Tidak.’ Lalu kami katakan lagi: ‘Dahulu, memang beliau pernah mengubur hidup-hidup saudara perempuan kami pada masa jahiliyyah, lalu apakah hal itu juga memberi sedikit manfaat kepadanya?’ beliau menjawab: ‘al-waa-idah dan almau-uudah berada di neraka kecuali jika wal-waa-idah sempat mengenai Islam sehingga Allah akan memberi maaf kepadanya.’” (HR an-Nasa-i)

Imam Ahmad juga meriwayatkan, Ishaq al-Azraq memberitahu kami, ‘Auf memberitahu kami, Khansa’ binti Mu’awiyah ash Shrimiyyah memberitahuku dari pamannya, dia bercerita: Aku pertanyakan: “Wahai Rasulullah, siapakah yang berada di surga itu?” Beliau menjawab: “Nabi berada di surga, orang yang mati syahid berada di surga, dan anak yang dilahirkan berada di surga, sedangkan al-mau-uudah (bayi yang dikubur hidup-hidup) berada di surga.”

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan, Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Anak-anak orang-orang musyrik (yang mati ketika masih kecil) berada di surga. Dan barangsiapa mengklaim bahwa mereka berada di neraka berarti dia telah berdusta, karena Allah telah berfirman: wa idzal mau-uudatu su-ilat. Bi ayyi dzambing qutilat (“Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh?”) lebih lanjut Ibnu Abbas mengatakan: “Yaitu bayi yang dikubur.”

Firman Allah Ta’ala: wa idzash shuhufu nusyirat (“Dan apabila catatan-catatan [amal perbuatan manusia] dibuka.”) adl-Dlahhak mengatakan: “Setiap orang diberi catatannya dengan tangan kanan atau kirinya.” Sedangkan Qatadah mengemukakan, “Wahai anak Adam, kalian akan mengisinya lalu melipatnya, dan setelah itu akan dibukakan kepada kalian pada hari Kiamat kelak. Oleh karena itu, hendaklah seseorang memperhatikan dengan apa dia mengisi lembaran catatannya.”

Firman Allah: wa idzas samaa-u kusyithat (“Dan apabila langit dilenyapkan”) as-Suddi mengatakan: “Yakni dibuka.” Adl-Dlahhak mengemukakan: “Mengelupas dan kemudian menghilang.”

Firman Allah: wa idzal jahiimu su’-‘irat (“Dan apabila neraka jahim dinyalakan.”) as-Suddi mengatakan: “Dididihkan.” Sedangkan Qatadah mengemukakan: “Yakni dinyalakan.” Lebih lanjut Qatadah mengatakan: “Neraka itu dinyalakan oleh murka Allah dan berbagai kesalahan anak cucu Adam.”

Dan firman Allah: wa idzal jannatu uzlifat (“Dan apabila surga didekatkan.”) adl-Dlahhak, Abu Malik, Qatadah, dan ar-Rabi’ bin Khaitsam mengatakan: “Yakni mendekati para penghuninya. Firman-Nya: ‘alimat nafsum maa ahdlarat (“Maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakannya.”) dan inilah jawabannya. Artinya, jika semua hal di atas terjadi, maka pada saat itu setiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakan dan diperbuatnya, itulah yang menjadi miliknya. Sebagaimana yang difirmankan Allah yang arttinya: “Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan [di mukanya], begitu [juga] kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh.” (Ali ‘Imraan: 30)

“15. sungguh, aku bersumpah dengan bintang-bintang, 16. yang beredar dan terbenam, 17. demi malam apabila telah hampir meninggalkan gelapnya, 18. dan demi subuh apabila fajarnya mulai menyingsing, 19. Sesungguhnya Al Qur’aan itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), 20. yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan Tinggi di sisi Allah yang mempunyai ‘Arsy, 21. yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya. 22. dan temanmu (Muhammad) itu bukanlah sekali-kali orang yang gila. 23. dan Sesungguhnya Muhammad itu melihat Jibril di ufuk yang terang. 24. dan Dia (Muhammad) bukanlah orang yang bakhil untuk menerangkan yang ghaib. 25. dan Al Qur’aan itu bukanlah Perkataan syaitan yang terkutuk, 26. Maka ke manakah kamu akan pergi? 27. Al Qur’aan itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta alam, 28. (yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. 29. dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (at-Takwiir: 15-29)

Muslim di dalam kitab shahihnya dan an-Nasa-i meriwayatkan dalam penafsirannya mengenai ayat ini, dari ‘Amr bin Harits dia berkata: Aku pernah mengerjakan shalat shubuh di belakang Nabi saw. lalu aku mendengar beliau membaca: falaa uqsimu bilkhun-nas. Aljawaaril kunnas. Wallaili idzaa ‘as ‘as. wash shubhi idzaa tanaffas (“Sungguh, Aku bersumpah dengan bintang-bintang yang beredar dan terbenam. Demi malam apabila telah hampir meninggalkan gelapnya, dan demi shubuh apabila fajarnya mulai menyingsing.”) Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari ‘Ali: falaa uqsimu bilkhunnas. Aljawaaril kunnas (“Sungguh Aku bersumpah dengan bintang-bintang, yang beredar dan terbenam.”) dia mengatakan: “Yaitu bintang-bintang yang terbenam pada siang hari dan muncul pada malam hari.” Dan Ibnu Jarir tawaqquf (tidak memberikan pendapatnya) pada maksud firman-Nya: bil khunnas. Aljawaaril kunnas (“Dengan bintang-bintang yang beredar dan terbenam.”) apakah ia bintang-bintang atau kijang dan sapi liar. Dia mengatakan: “Ada kemungkinan semua itu yang dimaksudkan.”

Tafsir Al-Qur’an Surah At-Takwiir (1)

17MEI

Tafsir Ibnu Katsir Surah At-Takwiir (Menggulung)
Surah Makkiyyah; Surah ke 81: 29 ayat

“BismillaaHir rahmaanir rahiim 1. apabila matahari digulung, 2. dan apabila bintang-bintang berjatuhan, 3. dan apabila gunung-gunung dihancurkan, 4. dan apabila unta-unta yang bunting ditinggalkan (tidak diperdulikan) 5. dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan, 6. dan apabila lautan dijadikan meluap 7. dan apabila ruh-ruh dipertemukan (dengan tubuh) 8. dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, 9. karena dosa Apakah Dia dibunuh, 10. dan apabila catatan-catatan (amal perbuatan manusia) dibuka, 11. dan apabila langit dilenyapkan, 12. dan apabila neraka Jahim dinyalakan, 13. dan apabila syurga didekatkan, 14. Maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakannya.” (at-Takwiir: 1-14)

Ali bin Abi Thalhah bercerita dari Ibnu ‘Abbas mengenai firman-Nya: idzasy syamsu kuwwirat (“Apabila matahari digulung”) yakni telah menjadi gelap. Dan mengenainya juga, al-‘Aufi mengemukakan dari Ibnu ‘Abbas: “Yakni telah pergi.”

Dan menurut Ibnu Katsir, yang benar dari pendapat tersebut adalah bahwa kata at-Takwiir berarti mengumpulkan (melipat) sesuatu, sebagian dengan sebagian lainnya. Dari kata itu muncul kata takwiirul imaamah (menggulung sorban/ penutup kepala), dan jam’uts tsiyaah berarti menggabungkan sebagian dari pakaian pada sebagian lainnya. Dengan demikian, firman Allah: kuwwirat; berarti menggulung sebagian dari matahari dengan sebagian lainnya, lalu tertutup dan menghilang. Dan jika hal itu terjadi, maka sinarnya pun akan sirna.

Firman-Nya: wa idzan nujuumung kadarat (“Dan apabila bintang-bintang berjatuhan”) yakni berguguran. Sebagaimana Dia firmankan dalam surat lain, wa idzal kawaakibung tatsarat (“Dan jika bintang-bintang itu berguguran”)(al-Infithaar: 2) asal kata al-inkidaar berarti jatuh.

Firman Allah: wa idzal jibaalu suyyirat (“Dan apabila gunung-gunung dihancurkan”) yakni dihilangkan dari tempatnya masing-masing dan dihancurkan sehingga bumi menjadi rata, tidak ada tumbuh-tumbuhan.

Firman-Nya: wa idzal ‘isyaaru ‘uth-thilat (“Dan apabila unta-unta yang bunting ditinggalkan [tidak dipedulikan].”) ‘Ikrimah dan Mujahid mengatakan: “Yakni unta-unta yang sedang bunting.” Lebih lanjut, Mujahid mengemukakan: “Kata ‘uth-thilat berarti ditinggalkan dan dibiarkan.” Dan yang dimaksud dengan al-‘isyaar berarti unta-unta pilihan dan sedang bunting yang kehamilannya sudah sampai sepuluh bulan, -mufrad (bentuk tunggalnya) ialah ‘isyraa’ dan sebutan itu masih tetap melekat padanya sampai melahirkan-, dan umat manusia telah mengabaikan unta-unta pilihan dan sedang bunting itu sertai mengabaikan pengasuhan dan pemanfaatannya setelah sebelumnya mereka saling menyukainya. Hal itu disebabkan karena mereka disibukkan oleh masalah yang lebih penting, menakutkan lagi mengerikan, yaitu masalah hari kiamat dan munculnya sebab-sebab dan peristiwa pendahuluannya.

Firman Allah: wa idzal wuhuusyu husyirat (“Dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan.”) yakni dikumpulkan sebagaimana, firman Allah: “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat [juga] sepertimu. Tiadalah Kami alpakan sesuatu apapun di dalam al-Kitab, kemudian kepada Rabb-lah mereka dihimpunkan.” (al-An’am: 38)

Firman Allah: wa idzal bihaaru sujjirat (“Dan apabila lautan dipanaskan.”) Ibnu Jarir menceritakan, ‘Ali as. Bertanya kepada seseorang dari Kaum Yahudi: “Dimanakah neraka jahanam itu?” Dia menjawab: “Di lautan.” ‘Ali berkata: “Aku tidak menilai ucapan itu melainkan benar.”
Wa idzal bihaaru sujjirat (“Dan apabila lautan dipanaskan.”) Ibnu ‘Abbas dan para ulama lainnya mengatan: “Allah mengirimkan angin kencang ke lautan itu, lalu membakarnya sehingga lautan itu menjadi api yang menyala-nyala. Dan pembahasan tentang hal ii telah diberikan sebelumnya ketika membahas firman Allah: wal bahril masjuur (“dan lautan yang di dalam tanahnya ada api.”)

Firman Allah: wa idzan nufuusu zuwwijat (“Dan apabila ruh-ruh di pertemukan [dengan tubuh].”) yaitu segala berntuk dipertemukan dengan mitranya masing-masing. Yang demikian itu seperti firman Allah: uhsyurulladziina dhalamuu wa azwaajaHum (“Kumpulkanlah orang-orang yang dhalim bersama teman sejawat mereka.” (ash-Shaaffaat: 22)

Firman Allah: wa idzal mau-uudatu su-ilat. Bi ayyi dzambing qutilat (“Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh?”) kata almau-uudatu berarti bayi-bayi yang dulu orang-orang jahiliyah menguburnya hidup-hidup ke dalam tanah karena benci memiliki anak perempuan. Pada hari kiamat kelak bayi-bayi itu akan ditanya, karena dosa apa mereka dikuburkan? Yang demikian agar menjadi ancaman bagi orang-orang yang pernah melakukannya. Sebab jika pihak yang didhalimi itu ditanya maka apa gerangan yang terpikir oleh orang yang berbuat dhalim? Ada beberapa hadits yang diriwayatkan berkaitan masalah al-mau-uudatu ini, dimana Imam Ahmad meriwayatkan dari Judamah binti Wahb, saudara perempuan ‘Ukasyah, dia berkata: “Aku pernah mendatangi Rasulullah saw. yang tengah bersama orang-orang, ketika itu beliau bersabda: ‘Aku sangat berkeinginan untuk melarang al-ghiilah pada anak-anak mereka sedang menyusu, namun hal itu tidak memberi mudharat kepada anak-anak mereka itu.’”
Kemudian para shahabat bertanya tentang ‘azl [menumpahkan sperma di luar farji], maka Rasulullah saw. bersabda: ‘Yang demikian itu adalah pembunuhan anak hidup-hidup secara terselubung, yang ia termasuk mau-uudatu yang akan ditanya.’”
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasa-i.
(bersambung ke bagian 2)

Do’a di Malam Hari yang Mustajab

Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda:

مَنْ تَعَارَّ مِنْ اللَّيْلِ فَقَالَ حِيْنَ يَسْتَيْقِظُ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِيْ وَيَـمِيْتُ بِيَدِهِ الْـخَيْرُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي أَوْ دَعَا اسْتُجِيبَ لَهُ فَإِنْ قَامَ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ صَلَّى قُبِلَتْ صَلَاتُهُ

“Barangsiapa yang terbangun di malam hari kemudian dia mengucapkan:

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِيْ وَيَـمِيْتُ بِيَدِهِ الْـخَيْرُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ

“Tidak ada ilah kecuali Allah satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi Nya-lah seluruh kekuasaan/kerajaan dan seluruh pujian. Dia yang menghidupkan dan mematikan Di tangan-Nyalah seluruh kebaikan berada. Dia berkuasa atas segala sesuatu. Mahasuci Allan segala puji bagi Allah. Tidak ada ilah kecuali Allah Dan Allah Mahabesar. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan izin Allah.
“Kemudian setelah itu dia mohon ampun atau berdoa, maka permohonan dan doa itu akan dikabulkan. Jika dia berwudlu dan shalat maka shalatnya akan diterima.” (HR. Bukhari)

Aku nasihatkan kepada seluruh kaum muslimin yang sedang mengalami kesulitan, terutama saudara-saudaraku yang ada di Palestina, Afghanistan dan di negeri-negeri muslim lainnya, agar mereka berserah diri kepada Allah saja dan membaca doa ini, dibarengi dengan usaha sebagai perantara seperti mempersiapkan diri untuk berjihad (dengan harta dan senjata) atau mengkonsumsi obat untuk menghilangkan penyakit terutama obat-obat yang telah disebutkan oleh Rasulullah dalam beberapa hadits shahih seperti: madu, habatussauda (biji/jintan hitam), air zamzam dan lain-lain.

Aku nasihatkan juga kepada saudara-saudaraku sesama muslim di seluruh dunia agar mereka mendo’akan saudara-saudara yang terusir dari kampung halaman mereka, semoga Allah menolong dan menguatkan mereka serta mengembalikan mereka ke negeri mereka semula. Terurama orang-orang Palestina. Sebab do’a seorang muslim kepada saudaranya secara diam-diam adalah termasuk doa yang mustajab, terutama doa yang penuh berkah di atas yang telah dicontohkan Rasulullah صلي الله عليه وسلم dan yang telah mendatangkan manfaat bagi banyak orang.

Sumber:
Ash-Shufiyyah fi Mizan Al-Kitab wa Sunnah
, edisi Indonesia SUFI menurut Al-Qur’an dan Sunnah oleh Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Terbitan Media Hidayah, hal 95-97

Sunday, April 26, 2015

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Infithaar

8MEI

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Infithaar (Terbelah)
Surah Makkiyyah; Surah ke 82: 19 ayat

“BismillaaHir rahmaanir rahiim. 1. apabila langit terbelah,2. dan apabila bintan-bintang jatuh berserakan,3. dan apabila lautan menjadikan meluap,4. dan apabila kuburan-kuburan dibongkar,5. Maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakan dan yang dilalaikannya.6. Hai manusia, Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah.7. yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang,8. dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu.9. bukan hanya durhaka saja, bahkan kamu mendustakan hari pembalasan.10. Padahal Sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu),11. yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu),12. mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Muthaffifiin: 1-12)

Allah Ta’ala berfirman: idzas samaa-ung fatharat (“Apabila langit terbelah.”) yakni pecah, wa idzal kawaakibun tatsarat (“Dan apabila bintang-bintang jatuh berserakan.”) yaitu berjatuhan. Wa idzal bihaaru fujjirat (“Dan apabila lautan dijadikan meluap.”) ‘Ali bin Abi Thalhah mengatakan dari Ibnu ‘Abbas: “Allah melupakan air itu sebagaian atas sebagian lainnya.” Al-Hasan mengatakan: “Allah meluapkan air itu dan setelah itu lenyaplah air itu.” Wa idzal qubuuru bu’tsirat (“Dan apabila kuburan-kuburan itu dibongkar.”) Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Yakni dikeluarkan.” As-Suddi mengemukakan: “Kuburan itu berserakan dan bergerak sehingga keluarlah orang yang ada di dalamnya.” ‘Alimat nafsum maa qaddamat wa-akhkharat (“Maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakan dan yang dilalaikannya.”) maksudnya, yang ini sampai pada yang ini [apabila melakukan ini akan berakibat begini].

Firman Allah: yaa ayyuHal ingsaanu maa gharraqa birabbikal kariim (“Hai manusia, apakah yang telah memperdayakanmu [berbuat durhaka] terhadap Rabb-mu Yang Mahapemurah.”) yang demikian itu merupakan ancaman, tidak seperti yang dikira sebagian orang, bahwa hal itu merupakan bimbingan kepada jawaban, di mana Rabb Yang Mahapemurah berfirman, sehingga ada orang di antara mereka yang mengatakan bahwa dia telah diperdaya oleh kemurahan-Nya. Tetapi makna di dalam ayat ini ialah, apa yang telah memperdaya kalian, hai anak Adam, sehingga kalian berbuat durhaka kepada Rabb kalian Yang Mahapemurah, yakni Mahaagung, sehingga kalian berani berbuat maksiat kepada-Nya dan kalian membalas dengan sesuatu yang tidak selayaknya.

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa ‘Umar pernah mendengar seseorang yang membaca: yaa ayyuHal ingsaanu maa gharraqa birabbikal kariim, maka ‘Umar pun berkata:”Kebodohan.”

Dan firman-Nya: alladzii khalaqaka fasawwaaka fa-‘adalaka (“Yang telah menciptakanmu, lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan [susunan tubuh]mu seimbang.”) maksudnya, apa yang telah memperdayakanmu terhadap Rabb Yang Mahapemurah, Dan firman-Nya: alladzii khalaqaka fasawwaaka fa-‘adalaka (“Yang telah menciptakanmu, lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan [susunan tubuh]mu seimbang.”) yakni menjadikanmu normal, tegak, mempunyai tubuh yang seimbang, dengan tampilan dan bentuk yang sangat baik. Imam Ahmad meriwayatkan dari Bisyir bin Jahsy al-Qurasyi bahwa Rasulullah saw. pada suatu hari pernah meludah di telapak tangannya, lalu di atasnya beliau meletakkan jari beliau dan kemudian bersabda: “Allah telah berfirman: ‘Hai anak Adam, bagaimana bisa engkau menilain Diri-Ku lemah padahal Aku telah menciptakanmu seperti ini? Sehingga jika Aku telah menyempurnakan dirimu dan membuatmu seimbang, maka engkau berjalan di antara ummat manusia. Dan bumi akan menguburmu. Lalu engkau mengumpulkan [kekayaan] dan engkau sangat kikir sehingga apabila nafas sudah mendesak sampai kerongkongan, engkau baru mengatakan: Aku akan bersedekah dan kapan waktunya bersedekah?’” demikian hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu.

Firman Allah: fii ayyi shuuratim maa syaa-a rakkabaka (“Dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu.”) Mujahid mengatakan: “Menyerupai siapa: bapak, ibu, paman dari ibu atau paman dari bapak?” dan dalam kitab ash-shahihain disebutkan dari Abu Hurairah, bahwasannya ada seseorang yang berkata: “Wahai Rasulallah, sesungguhnya istriku telah melahirkan seorang anak berkulit hitam.” Beliau bertanya: “Apakah engkau memiliki seekor unta?” “Ya.” Jawabnya. Beliau bertanya: “Apa warnanya?” “Merah.” Jawabnya. Beliaupun bertanya lagi: “Adakah di antaranya yang berwarna keabu-abuan?” Dia menjawab: “Ya, ada.” Beliau bersabda: “Lalu darimana warna itu dimilikinya?” Orang itu menjawab: “Mungkin karena adanya kecenderungan gen.” Beliau pun bersabda: “Dan bayi inipun barangkali karena kecenderungan gen.”

Dan mengenai firman Allah: fii ayyi shuuratim maa syaa-a rakkabaka (“Dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu.”) ‘Ikrimah mengatakan: “Jika berkehendak, Dia akan menciptakan dalam bentuk kera, dan jika Dia mau dia akan menciptakan dalam bentuk babi.

Firman Allah: Kallaa bal tukadzdzibuuna biddiin (“Bukan hanya durhaka saja, bahkan kamu mendustakan hari pembalasan.”) maksudnya, sebenarnya yang membuat kalian menentang Allah Yang Mahapemurah dan melawan-Nya dengan berbuat maksiat itu adalah kedustaan yang ada di dalam hati kalian terhadap hari kiamat, pembalasan dan perhitungan.

Dan firman-Nya lebih lanjut: wa inna ‘alaikum lahaafidhiina kiraamang kaatibiina ya’lamuuna maa taf’aluun (“Padahal sesungguhnya bagimu ada [malaikat-malaikat] yang mengawasi [pekerjaanmu], yang mulia [di sisi Allah] dan yang mencatat [pekerjaan-pekerjaanmu itu], mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.”) yakni, dan sesungguhnya pada kalian ada malaikat yang senantiasa menjaga lagi mulia. Oleh karena itu, janganlah kalian membalas mereka dengan berbagai perbuatan buruk, dan sesungguhnya mereka akan menulis semua amal perbuatan kalian.

“13. Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam syurga yang penuh kenikmatan, 14. dan Sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka. 15. mereka masuk ke dalamnya pada hari pembalasan. 16. dan mereka sekali-kali tidak dapat keluar dari neraka itu. 17. tahukah kamu Apakah hari pembalasan itu? 18. sekali lagi, tahukah kamu Apakah hari pembalasan itu? 19. (yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain. dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah.” (al-Infithaar: 13-19)

Allah memberitahukan tentang akhir bagi orang-orang yang berbuat baik, yaitu berupa kenikmatan. Yakni mereka yang mentaati Allah dan tidak membalasnya dengan berbagai perbuatan maksiat. Setelah itu Dia juga menceritakan tentang kesudahan bagi orang-orang yang berbuat kejahatan, yaitu berupa neraka dan adzab yang abadi. Oleh karena itu, Dia berfirman: yash-launaHaa yaumaddiin (“Merek masuk ke dalamnya pada hari pembalasan.”) yakni hari perhitungan, pemberian balasan, dan hari kiamat. Wa maa Hum ‘anHaa bighaa-ibiin (“Dan mereka sekali-sekali tidak dapat keluar dari neraka itu.”) maksudnya mereka tidak akan lepas dari adzab meski hanya sebentar saja, dan tidak juga mereka diringankan dari adzab-Nya, serta tidak juga dikabulkan permohonan mereka agar dimatikan saja atau dibiarkan beristirahat meski hanya satu hari saja.

Firman Allah: wa maa adraaka maa yaumuddiin (“Tahukah kamu apakah hari pembalasan itu?”) merupakan pengagungan terhadap keadaan pada hari kiamat. Kemudian Dia mempertegas dengan firman-Nya: tsumma maa adraaka maa yaumuddiin (“Sekali lagi, tahukah kamu apakah hari pembalasan itu?” selanjutnya Dia menafsirkannya melalui firman-Nya: yauma laa tamliku nafsul linafsing syai-aa (“[Yaitu] hari [ketika] seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain.”) maksudnya tidak ada seorangpun yang mampu memberikan manfaat kepada orang lain dan tidak juga melepaskannya dari apa yang telah dialaminya kecuali jika Allah mengizinkan kepada siapa yang dikehendakinya dan diridlai-Nya. Oleh karena itu Dia berfirman: wal amru yauma-idzil lillaaH (“Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah.”)

yauma laa tamliku nafsul linafsing syai-aa. wal amru yauma-idzil lillaaH (“[Yaitu] hari [ketika] seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain. Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah.”) Qatadah mengungkapkan: “Demi Allah, semua urusan pada hari itu hanya berada di tangan Allah semata, tidak ada seorangpun pada hari itu yang dapat menentang keputusan-Nya.”