Our Life

Saturday, May 19, 2012

Every Moment Is Valuable





 


Copas dari blog teman tarq ku Dessy Trisnoadi

i am writing my story to share to my family, friends, former co-worker or neighbors. i am hoping what i thought was a valuable experience for me would also beneficial to others since each individual has different experiences. well, the experiences might have been similar but the way each individual handles it that different. 

i had been seriously trying to apply for a job since bilal started a full-time school in sept 2011. i guess i got too lonely without having him around during the day *lol* well, alhamdulillah i got a part-time job as a bookkeeper for a wealthy-couple of entrepreneur & dentist. i shouldn't complain... it's a reasonable pay, close to my house, a good family and the best thing is they're willing to be flexible with my hours... masha Allah... can you see whose the boss here? *lol*

let's make a long story short! this week i was contacted for a job interview for a pharmaceutical company thru a temporary agency. gosh, i can't even recall when did i send the application out. i told them "sure, i'll come for the interview"-- since it's just around the corner from where we live which only takes me about 4 minutes driving to the building **you can't beat that!** so there i was in front of 3 interviewer in a cold-white room. one of the interviewer was the supervisor, the other one was general manager and the one who greet me to come in was **i believe** the big boss of HR or some others. the atmosphere got colder as soon as i came in to the room. their faces changed and their forehead frowned! i know right away it's my dress code, but i try to make myself calm.

they're asking me about general questions as you would find it in other company when you got an interview. 30 minutes has gone by, we finally got to the dress-code discussion. i told them nicely that "for what we believe, i can never take my headscarf (hijab) off other than to my immediate family. i don't believe my headscarf will affect the way i work since we will be covered with the lab coat, lab head-cover, lab shoes-cover and gloves". **i don't think i was rude by saying that, weren't i?** without giving a chance to the other 2 interviewers, the big boss told me flat-out that they can not have me if i'm wearing headscarf to work as per the protocol of their dress-code; because there might be some particles in the headscarf that can contaminate the drugs. he suggested me to apply for a job in the field other than pharmaceutical. alhamdulillah i was able to stay calmed and thank them for spending the time to interview me. 

it's not the first time i was being treated "different" just because i'm wearing hijab, but i would never thought in my wildest dream it would happen during a job interview. i thought most of company in the US would have what they call an EEO a.k.a Equal Employer Opportunity which means they will not look/judge the applicants by the colors, race, gender or religion.
**i think see a legal issue here. i can retire soon if i want to take it further... lol...**

i called the temporary agency right after and told them what happened. they're thinking the same on that part. they didn't think it was an issue with my dress-code. i was relieved by what they said. at least i wasn't over-reacting by thinking the way i was thinking. they even said they would have told me from the beginning if it's an issue. i am very thankful i experienced something like this. it's probably nothing for some people; but for me it's the most valuable lesson of life... masha Allah...  

well, i guess i should thank them for that, because i know Allah wants me to learn something from that incident... alhamdulillah... every moment in our life is very valuable and a blessing. there's only 24hrs in a day, so try to make the best of it only in His way! i had a former co-worker back in the old days; and she chooses what she believe to fit in her lifestyle. i think that's just pure wrong!... astaghfirullah al adziim...
**i hope i am not "ghibah" by thinking this way**. our life should go by and follow what we believe as our guidance. pardon me if my writing offended anyone in anyway. i'm writing this only as a self-reminder.

it was a coincidence! i helped bilal with his homework for school which kind of similar to the incident couple weeks before **see attached picture**. we, as a parents, want bilal feels proud to be different as a muslim. we want him to stand as who he is, other than try to fit in to his surrounding at school or anywhere here. it might take our full effort since he goes to public school. when bilal was reaching his school-aged,
we wanted him to be in a private-islamic school; but Allah has different plan. HE ALWAYS KNOWS JUST WHAT WE NEEDED, NOT WHAT WE WANTED! He knows what's best for His ummah... He knows we need bilal to be in public school so we can learn something from it... subhanAllah... may Allah protect us all...:)

==============================================================
i copied below note from a dear friend. jazakillah khayr, ukhti:

"Know, dear son, that days are but hours, and hours are but breaths, and every soul is a container, hence let not any breath pass without any benefit, such as on the Day of Judgement you find an empty container and feel regret!

Be a
ware of every hour and how it passes, and only spend it in the best possible way; do not neglect yourself, but render it accustomed to the noblest and best of actions, and send to your grave that which will please you when you arrive to it."

- Imam Ibn al-Jawzi rahimahullah in his letter of advice to his son-

Turning Muslim in Texas:People reverting to Islam in Texas.

Thursday, May 17, 2012

Belajar Membaca dan Menghafal Al-Quran metode Muwahhadah untuk pemula Ol...

Tuesday, May 15, 2012

Makna Selembar Kain Yang Menutup Wajah

By: Yulianna PS
Penulis Kumcer “Hidayah Pelipur Cinta”

Makna selembar kain yang menutup wajah anggun itu, ia bukanlah tempat bersembunyi agar wajah pas-pasan tidak terlihat, bukan pula tempat menutup wajah cantik nan menawan, ia adalah kain penutup yang bermakna ketakwaan. Ketakwaan seorang wanita pada Allah dan Rasul-Nya, sebagai bentuk rasa berserah sang hamba pada-Nya.

Makna selembar kain yang menutup di wajah ini, ia bukanlah sarana untuk membanggakan diri agar terlihat lebih baik daripada yang lain, bukan pula alat untuk unjuk gigi agar disebut shalihah ketimbang yang tidak menutup muka, juga bukan benda yang difungsikan untuk pamer dan riya’. Ia adalah pakaian anggun yang mempunyai fungsi sebagai pengontrol, agar terkendali sikap ini berbuat aniaya dan hina. Pengendali agar diri tidak terjerat pada ajang tebar pesona, entah di dunia nyata atau maya.

Makna selembar kain yang menempel di wajah ini, ia bukanlah kain yang dikenakan untuk tujuan meraup simpati, tidak juga untuk tebar pesona dan gengsi. Ia adalah kain yang mempunyai berlapis-lapis manfaat, agar terjaga pandangan ini, terjaga sikap ini pada lawan jenis yang bukan mahram, juga untuk melindungi diri dari gangguan manusia jahil.

Makna selembar kain di wajah ini, ia bukanlah alat untuk meneriakkan ‘aku wanita bercadar yang lebih baik dari kalian yang tidak bercadar’, tetapi ia adalah alat untuk menutup aurat dan membedakan jati diri muslimah dengan yang lain, yang dikenakan bukan untuk merasa lebih baik dari yang tidak bercadar. Ia adalah alat untuk mengukur diri, sudah benarkah sikap ini sebagai muslimah sejati? Juga sebagai alat untuk menahan diri dari kehidupan dunia gemerlap.

Makna selembar kain yang melekat di wajah ini, ia bukanlah kain yang cukup diartikan sebagai penutup wajah saja. Ia adalah kain yang hendaknya membuat diri pemakai semakin giat mencari tahu, kenapa harus mengenakannya, agar pemakai tidak jatuh pada taqlid/buta.

Makna selembar kain yang membalut diwajah ini, ia bukanlah pertanda bahwa berarti pemakainya adalah manusia istimewa, tetapi dari kain itulah wanita belajar agar istimewa, menghindari pujian, menepis sanjungan, menolak simpati murahan. [voa-islam.com]

women watch this and u would love to be a muslim trust me

Penulis hampir bisa merasakan keterkejutan anda ketika membaca judul “Wanita Muslimah yang Mengajari Suaminya”!? Rasa takjub itu mungkin berasal dari keadaan yang menyedihkan yang banyak dijumpai oleh kaum Muslimin sekarang ini.
Wanita Muslimah sekarang ini, tidak dapat mengajari suaminya karena:
1. Mereka tidak memiliki ilmu yang akan diajarkan kepada suaminya, titik.
2. Sang suami tidak ingin belajar dari isterinya (betapa memalukannya isteriku mengajariku!)
3. Salah satu atau keduanya terlalu sibuk untuk sekedar duduk bersama dan mempelajari agama Allah.
4. Salah satu atau keduanya tidak tertarik atau hanya sedikit sekali tertarik untuk mempelajari agama Islam.
Namun kaum Muslimin di masa lalu sangat berbeda dengan kaum Muslimin di zaman sekarang ini. Ada saat-saat dimana keduanya, suami dan isteri, duduk bersama dengan kecintaan yang sama akan ilmu mengenai agama ini. Orang-orang yang mengenal ilmu-ilmu Islam akan mengetahuibahwa para ulama terdahulu sedemikian bersemangat menempuh perjalanan selama berbulan-bulan hanya untuk mendapatkan satu hadits Nabi Saw. Bagi laki-laki seperti mereka, memiliki isteri seorang ulama adalah salah satu anugerah terbesar di dunia ini dan sumber penghargaan dan penghormatan. Betapa kejinya ketika seseorang memberi label kepada paraulama Islam sebagai patriarki dan misogenis (laki-laki yang membenci wanita). Sungguh sayang, seiring perputaran dunia, kebodohan menyebar; para Modernist (yang darinya bercabang kaum Feminis) mengajak pada penafsiran kembali ayat-ayat Allah, hadits Nabi s dan hukum-hukum Islam secara keseluruhan, dengan mengatakan bahwa Islam yang kita kenal hari ini adalah buah dari pemikiran, pendapat dan ide-ide kaum laki-laki. Bagi mereka yang merasa malu untuk belajar dari isterinya, Bagi mereka yang berkata bahwa wanita Muslimah tidak memiliki peran dalam menyebarkan ilmu, Bagi mereka yang mengatakan bahwa Islam adalah agama yang misogenis dan patriarki, Dan bagi para wanita yang berusaha untuk merubah ajaran Islam dan mengatakannya andocentric.(sesuatu yang berpusatpada laki-laki).
Penulis menantang anda untuk terus membaca Artikel ini.

Kisah Puteri Sa’id bin al-Musayyib
Sekarang saya mempersembahkan kepada anda keteladanan cucu dari sahabat yang mulia, Abu Hurairah r.a. Abu Hurairah menikahkan puterinya dengan Sa’id bin al-Musayyib . Dari perkawinan yang diberkahi ini, Sa’id bin Musayyib dikaruniai seorang puteri yang shalihah dan cerdas. Ketika tiba waktunya untuk menikahkan puterinya, Sa’id bin al-Musayyib memilihkan baginya salah seorang muridnya bernama Abdullah; Abdullah dipilih dari yang lainnya karena keikhlasannya dalam menuntut ilmu sangat jelas. Kecintaan Abdullah terhadap ilmu dapat dilihat keesokan harinya setelah menikah dengan puteri Sa’id bin al-Musaayib,ia mengenakan pakaiannya hendak keluar, lalu isteri yang baru dinikahinya bertanya: “Hendak kemana engkau?”
Dia menjawab: “Hendak menghadiri majelis Sa’id bin al-Musayyib untuk belajar.” Isterinya berkata, “Duduklah, saya akan mengajarimu ilmu Sa’id bin al-Musayyib.”(Abu Nu’aim, Hilyatul Aulia, ii 167-68.) Kemudian puteri Sa’id bin al-Musayyib mengajarinya ilmu. Selama satu bulan Abdullah tidak menghadiri halaqah Sa’id bin al-Musayyib karena ilmu yang telah dipelajari wanita muda yang cantik ini melalui ayahnya (yang kemudian disampaikan kepadanya) telah memadai. Sangat penting untuk bertanya kepada diri kita sendiri – jika para wanita Muslimah benar-benar memiliki ilmu ini melebih suaminya pada masa sekarang ini, apakah hal tersebut akan menambah penghormatan dan ketaatan mereka terhadap
suaminya, ataukah ilmu ini akan menjadi sumber banyak persoalan rumah tangga? Keutamaan para wanita ini adalah ilmu yang mereka miliki hanya menambah bagi mereka ketaatan dan penghargaan kepada suami mereka. Perkataan berikut dari suami dari ulama wanita ini cukup untuk memahami betapa cinta yang dimiliki sang suami kepadanya karena ilmu dan ketaatannya:
“Dia lah termasuk wanita yang paling cantik dan paling hafal Kitabullah, dan paling mengetahui tentang
Sunnah Nabi saw, dan yang paling tahu hak-hak suaminya.”(Sumber :Abu Nu’aim, Hilyatul Aulia, ii 167-68)
Semoga Allah menjadikan para ibu, saudari, dan puteri- puteri (Muslimah) mendapatkan posisi yang demikian di mata suami-suami mereka, dengan ilmu, ketaatan dan kecintaan mereka terhadap agama ini.

Kisah Fatimah bint Muhammad ibn Ahmad
Sekarang kita akan mengunjungi salah seorang Faqihah besar di masanya. Dia dikenal akan keilmuannya terhadap madzhab Hanafi, dan dia tidak lain adalah puteri dari seorang ulama
dan ulama fiqh besar, Muhammad ibn Ahmad ibn Abu Ahmad Alauddin as-Samarqandi v, yang kitabnya Tufathu Fuqaha sangat dikenal oleh para ulama dan penuntut ilmu. Dia tidak saja belajar fiqih dari ayahnya, namun dia juga menghafal kitab ayahnya Tufathul Fuqaha. Menjadi seorang ahli fiqih bukan perkara mudah, seseorangharus menguasai ayat-ayat Al-Qur’an, hadits-hadits Nabi dan prinsip-prinsip madzhab yang dijadikan landasan hukum.
Bahkan mereka harus memiliki ilmu mengenai keadaan dan kebutuhan dunia di masanya. Ilmu yang dimiliki wanita ini melebihi suaminya, yang berkonsultasi dengannya mengenai pendapatnya, khususnya ketika suaminya keliru dalam memberikan fatwa. Namanya adalah Fatimah bint Muhammad bin Ahmad rahimahallah, dan ayahnya menikahkannya dengan Alauddin Abu Bakar bin Mas’ud al- kasani , yang sangat dikenal dalam bidang ushul dan furu’. Dia menulis komentar atas Tufathul Fuqaha berjudul Bada’ias-Sana’i, dan menunjukkannya kepada Syaikhnya (ayah Fatimah), yang merasa senang dengannya dan menerimanya sebagai mahar bagi puterinya, meskipun dia telah menolak pinangan dari beberapa raja di Bizantium. Para fuqaha dimasanya berkata, “Dia membuat komentar atas at-Tufat dan menikahi anaknya.”
Sebelum menikah, Fatimah biasa mengeluarkan fatwa bersama ayahnya, dan fatwa tersebut ditulis dengan tulisan tangannya dan ayahnya. Setelah dia menikah dengan penulis al-Bada’i, fatwa tertulis dengan tulisan tangannya, ayahnya dan suaminya. Bila suaminya membuat kesalahan dia akan memperbaikinya. Ibnu al-Adim berkata:
“Ayahku meriwayatkan bahwa dia (Fatimah) biasa menukil madzhab Hanafi dengan sangat baik.
Suaminya, al-Kasani, kadang-kadang ragu dan keliru dalam berfatwa; maka dia memberitahukan pendapat
yang benar dan menjelaskan alasan kesalahannya.”(Sumber: Abd Qadir al-Quraishy, al-Jawahir al-Mudiyyah fi TabaqatHanafiyyah, iv)
Heran? Akan tetapi kita akan melihat ada banyak yang semisal Fatimah bint Muhammad rahimahallah, yang mengikuti jejaknya di abad berikutnya.
Kesimpulan:
Untuk ringkasnya, Penulis hanya menyebutkan beberapa contoh para wanita yang mengajari suami mereka. Namun demikian, sangat penting bagi kita untuk mengingat bahwa rumah seorang Muslim – khususnya pada hari dan di masa itu – adalah tempat pribadi dan karenanya bagaimana mereka belajar bersama dan apa yang mereka pelajari tidak diuraikan secara terperinci. Beberapa contoh yang diberikan (di sini) merupakan isyarat yang jelas, bagaimana para wanita memberikan kontribusi yang besar untuk menyebarkan ilmu- ilmu keislaman, meskipun dari kediaman pribadi mereka.
Saudari-saudariku, mari kita kembalikan warisan dari para ibu pendahulu kita dan berlomba dengan suami-suami kita dalam memperoleh ilmu, sebagaimana Allah berfirman:
“...maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan...”
(QS Al-Ma’idah [5] : 48)
Share

Monday, May 14, 2012

Hidayah

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. : Nabi Muhammad Saw pernah bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (tidak mempersekutukan Allah) tetapi orang tuanya lah yang menjadikan dia seorang yahudi atau nasrani atau majusi sebagaimana seekor hewan melahirkan seekor hewan yang sempurna. Apakah kau melihatnya buntung?” kemudian Abu Hurairah membacakan ayat-ayat suci ini: (tetaplah atas) fitrah Allah yang menciptakan manusia menurut fitrah itu. (Hukum-hukum) ciptaan Allah tidak dapat diubah. Itulah agama yang benar. Tapi sebagian besar manusia tidak mengetahui (QS Ar Rum [30]:30)
Ayah dan ibu saya muslim, namun keduanya memasukkan kami, keempat anak-anaknya ke sekolah dasar swasta Katolik. Alasan mereka karena pendidikan agama Katolik terkenal kedisiplinannya. Selain itu menurut mereka pada waktu itu masih jarang sekolah swasta Islam yang bagus. Setelah pulang sekolah Ibu mengirim kami belajar membaca Al Qur'an ke rumah ustadzah di lingkungan rumah kami. Tapi saya menyia-nyiakan kesempatan belajar Al Qur'an. Saya malas sekali belajar, selalu saja ada alasan supaya tidak pergi mengaji...sakit, banyak PR atau mau belajar karena ada ulangan di sekolah besoknya.
Ketika saya melanjutkan sekolah menengah negeri barulah saya mendekati guru agama saya, minta diberikan pelajaran tambahan membaca Al Qur'an karena saya satu-satunya yang tidak bisa membaca text bahasa arab dalam buku agama Islam yang saya pelajari. Setelah itu ada teman saya yang mengajak saya bergabung mengaji, saya juga mengajak teman sebangku saya dan sahabat saya sekaligus teman sebangkunya. Bersama-sama kami belajar membaca Al Qur'an dan murobiyyah kami itu menerangkan terjemahan dari bacaan kami serta tafsirnya.
Sejak di bangku SMP saya selalu mencari dan mencari di mana Allah....saya ingin mendekati Allah. Saya juga ingin dicintai Allah karena dulu saya sering merasa sensitif dan sedih...saya merasa tidak cantik dan perasaan saya, ibu saya lebih sayang pada kakak perempuan saya daripada saya.
Selain berteman dengan teman-teman pengajian saya juga bermain dengan teman-teman yang gaul ketika itu. Kami juga sering bersenang-senang sampai lalai shalat lima waktu, makan pun sembarangan yang tidak dijamin kehalalannya. Saya tidak menyalahkan teman-teman saya tapi saya menyalahkan diri sendiri, sangat menyesali karena hanya menjadi pengikut bukan orang yang teguh pada prinsip dan bisa mengajak kebaikan, semoga Allah mengampuni dosa-dosa saya.
Setelah duduk di bangku SMA, saya mempunyai dua orang sahabat...Kami sangat terbuka satu dengan lainnya. saya bilang pada kedua sahabat saya bahwa impian saya ingin menikah dengan pria bule yang gagah, pintar dan kaya....saya tunjukkan pada mereka artikel profil wanita yang menikah dengan pria Perancis yang bekerja di Indonesia (sebagai expatriate) dalam sebuah majalah wanita.
Kemudian saya melanjutkan kuliah di akademi sekretaris, institusi pendidikan Katolik lagi. Disamping kuliah saya mengikuti kursus bahasa Perancis di CCF hingga bertemu pria Perancis di sana. Kami kenalan dan sempat dekat beberapa lama. Saat itulah saya merasa bahwa Allah telah mengabulkan harapan saya. Tapi saya merasa tidak nyaman, tidak juga bahagia. Malah seperti berdiri di persimpangan jalan.
Di saat yang bersamaan saya mengenal teman kuliah, perempuan yang cantik, pintar dan shaliha. Jam istirahat makan siang kami dimulai awal sekali dan kami harus masuk kelas ketika azhan dzuhur jadi kami tidak bisa shalat dzuhur. Biasanya waktu kuliah kami berakhir saat ashar. Teman saya itu, shalat dibawah tangga kampus ...sempat pastor menegurnya, melarangnya shalat di sana. Akhirnya dia terpaksa kembali ke kelas terlambat karena harus shalat di kost temannya yang terdekat kampus. Saya mengagumi keimanannya dalam menunaikan kewajibannya yaitu mendirikan shalat 5 waktu tanpa terkecuali.
Akhirnya saya mendekatinya, saya banyak belajar dengannya. Sengaja saya pindah kost ke kostnya. Saya perhatikan dia selalu bangun sejam atau setengah jam menjelang subuh lalu ke kamar mandi untuk wudhu. Saya tanya dia ngapain lalu dia menjawab shalat tahajud. Dia menerangkan pada saya bahwa shalat tahajud adalah shalat sunnah malam hingga menjelang subuh syaratnya setelah bangun dari tidur. Katanya Allah akan turun setiap malamnya ke langit ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Lalu Allah berfirman:
“Siapa yang memanjatkan do'a pada-Ku, maka Aku akan mengabulkannya. Siapa yang memohon kepada-Ku, maka Aku akan memberinya. Siapa yang meminta ampun pada-Ku, Aku akan memberikan ampunan untuknya” (HR Bukhari dan Muslim)
Dia menerangkan dengan baik dan lemah lembut, membuat saya tertarik untuk melakukannya. Lalu saya belajar bagaimana shalat tahajud dengannya. Setelah shalat saya biasa memanjatkan do'a pada Allah, diantaranya memohon diberikan jodoh, seorang laki-laki yang bisa membimbing saya di jalan yang lurus.
Segala puji bagi Allah, seorang teman kuliah non muslim mengenalkan saya pada laki-laki seperti itu. Dialah suami saya kini. Sebelum melamar, hendak menikahi saya dia mengajukan persyaratan yaitu saya harus mengenakan kerudung (menutup aurat) setelah menikah. Saya setujui persyaratannya karena saya sadar, inilah bagian dari jalan yang lurus. Karena menutup aurat adalah perintah Allah Ta'ala.
Lima tahun setelah pernikahan kami, dia mengajak saya dan kedua anak kami untuk hijrah. Suami saya seorang petroleum engineer dan ia diterima bekerja di perusahaan minyak milik kerajaan Malaysia. Selama 2,5 tahun kami tinggal di Kuala Lumpur. Maha suci Allah, apa yang dulu saya angan-angankan menjadi kenyataan lagi...tanpa harus menikah dengan laki-laki bule, kami bisa hidup dengan fasilitas untuk ekspatriat di KL. Saya bersyukur namun yang amat saya syukuri lagi, saya bisa banyak belajar Islam.  Di sana saya bergabung dengan komunitas muslimah Indonesia, selain itu berteman dengan istri-istri ustadz, ustadzah dan para orangtua di sekolah Islam tempat anak saya belajar. Di sekolah itu saya dekat dengan seorang wanita cantik warganegara Australia namun originally Bangladesh. Dari wanita ini juga saya banyak belajar tentang Islam selain dari teman-teman Indonesia saya. Kedekatan kami melebihi kedekatan dengan kakak perempuan saya sendiri. Kemudian suami mendapat pekerjaan lain di perusahaan minyak milik kerajaan Saudi Arabia. Kami pun hijrah lagi, meski jauh Shahla (nama wanita Bangladesh tsb) tetap menjalin hubungan dengan saya lewat email. Dia banyak menghibur, menasehati serta berbagi tips dan ilmu dengan saya, subhanallah...
Di Saudi Arabia kami tinggal dalam camp dimana penghuninya berasal dari berbagai bangsa dan negara. Disamping belajar Islam dengan para ustadz Indonesia lulusan Mekah dan Madinah, Alhamdulillah saya juga bergabung dengan komunitas muslim International. Saya sempat belajar tentang tauhid dengan istri seorang dokter dari Jordan. Di sana saya mengenal dua muslimah baru (belum lama memeluk Islam) yang pertama wanita Trinidad yang memeluk Islam karena menikah dengan laki-laki muslim dan kedua wanita Inggris, seorang perawat klinik milik perusahaan tempat suami saya bekerja. Wanita inggris ini sudah mengenakan kerudung sedang wanita Trinidad belum.
Qadarallah setelah teman muslimah Inggris kami kembali ke Liverpool, kelas mengaji juga berhenti karena guru kami ingin belajar lebih dalam dulu akhirnya saya mengikuti kelas tahfiz Al Qur'an di masjid ba'da maghrib, dibimbing oleh wanita Saudi. Di sana saya mengenal muslimah baru lagi, seorang wanita Amerika selain itu ada muslimah Nigeria, India dan Afganistan. Kelas tahfiz ini juga berhenti karena Qadarallah guru kami sibuk dengan bayinya.
Lalu saya dan teman dari Indonesia mengajak mbak-mbak pembantu rumah tangga mengaji tafsir Qur'an (Ibnu katsir). Awalnya banyak mbak-mbak yang mengaji di rumah saya...tapi qadarallah, beberapa pulang ke tanah air dan beberapa pindah rumah mengikuti majikan masing-masing.
Setelah itu teman saya yang dari Trinidad menghadapi musibah. Suaminya meninggal dunia. Seluruh camp gempar...sebagai saudari seiman saya langsung mendatanginya, memberikan perhatian padanya dan kepada kedua anaknya dan membantu semampu saya dengan tenaga dan materi. Keimanan teman saya ini tengah goyah sebelum musibah datang. Waktu itu menjelang Christmas 2011 dan dia sudah menghiasi rumahnya dengan pernak pernik Christmas lengkap dengan Christmas tree serta berbagai hadiah dibawahnya. Saya panggil guru yang pernah membimbing kami, saya panggil para muslimah baru yang ada. Muslimah dalam camp juga berdatangan menawarkan bantuan disamping teman-temannya dari fellowship church.
Kami bergantian menyediakan makanan untuk keluarganya, membantu dalam pengurusan jenazah, penguburan serta kepulangan keluarga tsb kembali ke tanah air, kami juga membaca Al Qur'an di rumahnya karena sebaik-baik rumah adalah yang dibacakan Al Qur'an agar tidak seperti kuburan. Setelah seorang muslimah baru selesai membacakan Al Qur'an dengan suara yang indah, guru kami berkata  "Bersyukurlah dengan nikmat Islam yang kita bawa sejak lahir ini. Sekalipun kita semua terlahir fitrah, muslim namun karena orangtua maka jadilah kita majusi, yahudi dan nasrani. Lihatlah saudari kita yang bersusah payah mencari hidayah Allah seperti Shanaz...Dia yang bersemangat mempelajari Al Qur'an dan mengamalkannya. Bagaimana dengan kita yang sudah diberi kemudahan Allah? Kita hidup sebagai muslim dari kecil hingga kini, diasuh orangtua muslim... Maka jangan sia-siakan sisa umur kita yang  tak tahu kapan berakhirnya, bisa nanti, besok, lusa...persiapkan diri kita untuk membawa bekal kembali ke akherat dengan berusaha mempelajari Al Qur'an dan mengamalkan apa yang kita pelajari di dunia, mengerjakan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi apa yang dilarang Allah."
Inilah titik balik dalam hidup saya untuk yang kedua kalinya. Pertama setelah Allah mempertemukan saya jodoh seorang lelaki yang mengajak saya untuk hijrah lahir dan batin dalam keimanan Islam.
Kata-kata guru kami itu begitu menyentuh hati saya sampai saya menangis...ya, saya tak tahu sampai kapan saya akan hidup. Saya menangis dan terus menangis...saya takut sekali tak bisa membawa bekal apa-apa. Sedangkan kisah orang-orang terdahulu yang sudah berusaha mengamalkan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi laranganNya, berlomba-lomba dalam akherat saja...belum tentu amalan mereka diterima Allah karena Allah hanya menerima yang baik-baik, yang ikhlas....lantas bagaimana dengan saya yang belum berbuat apa-apa...saya menangis dan menangis...Saya teringat kedua orangtua saya, saya belum bisa berbakti pada mereka, saudara, kerabat, tetangga yang miskin, anak-anak yatim...saya belum banyak membantu mereka, suami saya...saya belumlah benar-benar taat padanya, anak-anak yang diamanahi Allah kepada kami...saya belum mampu mendidiknya secara Islam padahal fitnah zaman sekarang begitu besar. Alhamdulillah paling tidak saya sudah tahu bahwa pendidikan agama Islam sangat disiplin, anak-anak sudah harus belajar shalat sejak 7 tahun dan bila sampai umur 10 tahun tidak juga shalat boleh dihukum (hukuman sekedar membuatnya jera) saya takut...dan saya ingin memperbaiki diri, berusaha, berusaha di jalan Islam sebagaimana yang saya pelajari dan akan terus saya pelajari dan juga terus memohon pertolongan Allah...Semoga Allah memudahkannya...amiin.
Setelah musibah yang menimpa teman Trinidad saya itu, lalu saya mengumpulkan teman-teman belajar Al Qur'an lagi di rumah saya dibimbing teman baik, seorang dokter (berasal dari Jordan juga) yang sdh tidak aktif lagi karena mendampingi suaminya pindah2 bekerja di beberapa negara...dari tujuh orang yang bergabung ada 3 muslimah baru, dua orang Amerika dan satu orang Kanada. Dua diantaranya mengenakan niqob Subhanallah...wanita kulit putih dan cantik. Mereka tidak menjadikan bacaan Al Qur'an sebagai perlombaan bagus-bagusan membaca...namun mereka juga berlomba-lomba mengamalkannya...subhanallah.
Sayang sekali, keinginan saya untuk mengumpulkan anak-anak gadis muslimah untuk mengkaji Al Qur;an dan berdiskusi tentang hidup sesuai petunjuk hidup kita Al Qur'an dan As sunnah belum sempat terlaksana karena qadarallah kami pun hijrah lagi tapi hanya pindah ke camp lain. Alhamdulillah saya bergabung dalam kelas tahfiz dan tafsir Qur'an bersama muslimah Indonesia dan muslimah malaysia dibimbing ustadzah keturunan Arab-Indonesia dalam camp sekarang. InsyaAllah apa yang saya pelajari akan saya turunkan lagi pada anak-anak saya...dengan segala keterbatasan ilmu saya akan tetap berusaha memberikan pelajaran agama Islam di rumah bi idznillah...

Kalau dulu saya bercerita tentang impian dan cita-cita saya pada kedua sahabat saya di SMA...
Sekarang sahabat saya adalah suami saya. Saya berdoa dan berharap jika suami mengajak hijrah lagi, semoga saya bisa mengirimkan anak-anak ke sekolah International yang ada pelajaran agama Islam, Al Qur'an dan Arabic...karena saya prihatin, meski tinggal lama di Saudi Arabia namun anak-anak belum bisa membaca Al Qur'an dengan baik, pelajaran agama Islam hanya dapat dari kedua orangtuanya dan tidak bisa bicara bahasa Arab.
Saya juga ungkapkan harapan saya untuk belajar memandikan jenazah. Ya, jika Allah mengijinkan saya ingin beramal shalih dengan memandikan jenazah, dimana pun saya berada semoga saya bisa mengamalkannya. Syaratnya memang tidak mudah, saya juga harus bisa menjaga lisan agar tidak membicarakan aib mayiit yang dimandikan. InsyaAllah saya akan berusaha...Yaa Allah semoga Engkau memudahkannya bagi saya dan meridhoinya...amiin.


Allahumma inni as alukal hudaa wattuqoo wal'afaafa wal ghinaa
"Ya Allah, aku memohon kepadaMu hidayah, ketakwaan, afaf dan kekayaan"

Mum I'm A Muslim

Tuesday, May 08, 2012

Story: Father & Son [Rashed & Salem] - Shaykh Khalid Rashid

The story of Luqman from the Quran (and Ibn Kathir)

The story of Luqman is mentioned in Sura Luqman (31:12-19). More about Luqman is stated in Ibn Kathir’s book, “Stories of the Prophet”. A summary of that story is stated below.

Luqman Ibn ‘Anqa’ Ibn Sadun or, as stated by As-Suhaili from Ibn Jarir and Al-Qutaibi, Luqman Ibn Tharan, was from among the people of Aylah (Jerusalem). He was a pious man who exerted himself in worship and who was blessed with wisdom.
Sufyan Ath- Thawri narrated from Al-Ash’ath after ‘Ikrimah on the authority of Ibn ‘Abbas (May Allah be pleased with him) that he was an Ethiopian slave who worked as a carpenter. Qatadah narrated from Abdullah Ibn Az-Zubair that Jabir Ibn ‘Abdullah when asked about Luqman, said: “He was short with a flat nose. He was from Nubia.”
Yahia Ibn Sa’ id Al-Ansari said after Sa’ id Ibn Al-Musayib that Luqman belonged to the black men of Egypt. He had thick lips and Allah the Almighty granted him wisdom but not prophethood. ‘Umar Ibn Qais and Al-A’mash narrated after Mujahid: Luqman was a huge black slave, thicklipped. While he was preaching a man who used to know him saw him and said: “Aren’t you the slave of so and so who used to look after my sheep not so long in the past?” Luqman said: “Yes!” The man said: “What raised you to this high state I see?” Luqman said: “The Divine Decree, repaying the trust, telling the truth and discarding and keeping silent regarding what does not concern me.” (This Hadith was narrated by Ibn Jarir after lbn Hamid after Al-Hakam.)
Ibn Wahb narrates that Luqman’s answer to the question about what had raised his status that people came to him for advice was: “Lowering my gaze, watching my tongue, eating what is lawful, keeping my chastity, undertaking my promises, fulfilling my commitments, being hospitable to guests, respecting my neighbors, and discarding what does not concern me. All these made me the one you are looking at.” Abu Ad-Darda’ added that Luqman the wise was granted wisdom because he was self-restrained, taciturn, deep-thinking, and he never slept during the day. No one had ever seen him observing trivialities, or foolishly laughing. He was very eloquent and well-versed. He did not weep or cry when all his children died. He even used to frequent the princes and men of authority to mediate. The majority of scholars are of the view that he was a wise man and not a prophet. Moreover, he was mentioned in the Glorious Qur’an and was highly praised by Allah the Almighty Who narrates his advice to his own son in which the first act that he forbids is Shirk (joining others with Allah.)
The Prophet of Allah (S.A.W.S) also referred to Luqman’s saying this to his son,
“O my son! Join not others in worship with Allah, verily joining others in worship with Allah is a great wrong indeed (Luqman, 31:13).
The next advice that Luqman gives to his son and to mankind is taking care of parents. He states their rights over the children and tells the children to be kind to their parents even if they were polytheists. However, it is clarified that they should not be obeyed if they are inviting to polytheism. This is followed by: O my son! If it be (anything) equal to the weight of a grain of mustard seed, and though it be in a rock, or in the heavens or in the earth, Allah will bring it forth. Verily, Allah is Subtle (in bringing out that grain), Well-Aware (of its place),” i.e., he forbids wrong to the people even in the slightest way, for Allah will bring it forth and bring him to account on the Day of Resurrection.
Abu Sa’id Al- Khudri reported Prophet Muhammad (S.A.W.S) as saying: “If any of you performs deeds in a solid rock that has no door or hole, his deeds, whatever they are, will come out (to the public).”
Luqman’s further advice to his son is: “O my son! Aqim-As- Salah (perform As-Salah), enjoin (on people) Al-Ma’ruf (Islamic Monotheism and all that is good), and forbid (people) from Al-Munkar (i.e. disbelief in the Oneness of Allah, polytheists of all kinds and all that is evil and bad),”, i.e., with your hand, with your tongue and if you could not, let it be with your heart (i.e. reject and resent it). Then, he advised him to observe patience, saying: and bear with patience whatever befalls you,” for the enjoining of what is good and forbidding the evil, will probably earn enmity from those who resent being corrected (but, the final reward form Allah would surely be his). Verily, these are some of the important commandments (ordered by Allah with no exemption).” Luqman warns his son against the sin of pride: “And turn not your face away from men with pride,” cautioning against being showy or arrogant. Further, the advice regarding one’s bearing is: nor walk in insolence through the earth. Verily, Allah likes not any arrogant boaster.”
Luqman then advises his son to be moderate in his walking: “And be moderate (or show no insolence) in your walking, and lower your voice,” i.e., if you talk, do not raise your voice very loudly because the braying of the ass is the harshest of all voices.
Abu Hurairah (May Allah be pleased with him) narrated: The Prophet (S.A.W.S) said: “When you hear the crowing of cocks, ask for Allah’s Blessings for (their crowing indicates that) they have seen an angel. And when you hear the braying of donkeys, seek refuge with Allah from Satan for (their braying indicates) that they have seen a Satan” (transmitted by Imam Al-Bukhari in his Sahih).
Other advice given by Luqman has been mentioned in a book titled Hikmat Luqman (Luqman’s Wisdom). From this valuable book, we get the following:
  • “On my son! Verily, wisdom has brought the indigent to the courts of kings” (narrated by Damurah after As-Sariy Ibn Yahia).
  • “O my son! If you come to a people’s setting, start them with salutation (saying As-Salamu ‘Alaikum (Peace be with you)), then, take a side and do not utter a word till they speak. If you find them observing the Remembrance of Allah, join them. But, if they observe anything else, turn away from them and seek others (who remember Allah Almighty)” (narrated by ‘Abdah lbn Sulaiman after Ibn Al-Mubarak after ‘Abdur Rahman Al-Mas’ udi after ‘Aun Ibn ‘Abdullah).
  • “O my son! Take Allah’s Obedience as your trade, and you will gain profits without having any merchandises” (narrated by Saiyar after Ja’far after Malik Ibn Dinar).
  • “O my son! Fear Allah and do not let the people notice that you fear Him to gain honor (from them) while your heart is sinful” (narrated by Abul Ashhab after Muhammad Ibn Wasi’).
  • “O my son! I have never regretted keeping silent. If words are silver, silence is golden” (told by Hasan after Al-Junaid after Sufyan).
  • “O my son! Stay away from evil and it will stay away from you, for evil begets nothing but evil” (told by ‘Abdul Samad and Waki’ after Abul Ashhab after Qatadah).
  • “O my son! Choose between gatherings (of people) precisely! If you find a gathering in which Allah is mentioned, sit yourself with them. Thus, if you are knowledgeable, your knowledge will benefit you; but, if you are ignorant, they will teach you; and if Allah wishes to do them good, you will be benefited therewith.
  • O my son! Do not sit in a gathering in which Allah is not mentioned because if you are knowledgeable, your knowledge will not benefit you; and if you are ignorant, they will add to your ignorance; and if Allah wishes to afflict them with harm, you will be afflicted with them. O my son! Do not rejoice at seeing a strong man who sheds the blood of the faithful, for Allah appoints for him a killer that does not ever die” (narrated by Imam Ahmed after ‘Abdur Rahman Ibn Mahdi after Nafi’ Ibn ‘Umar after Ibn Abu Malikah after ‘Ubaid Ibn ‘Umair).
  • “O my son: Let your speech be good and your face be smiling; you will be more loved by the people than those who give them provisions.” And, he said: “It is stated in the wisdom of the Torah: “Kindness is the head of wisdom.” And, he said: “It is stated in the Torah: “As you show mercy (to others), mercy will be shown to you.” And, he said: “It is stated in the wisdom: “You will gain what you give (or, harvest what you grow).” And, he said: “It is stated in the wisdom: “Love your friend and the friend of your father” (narrated by Abu Mu’awiyah after Hisham Ibn ‘Urwah).
  • Luqman advised his son not to befriend a fool for it might give him the impression that his foolishness is being approved of; and not to anger a wise man for he might distance himself (narrated by Dawud Ibn Rashid after Ibn Al-Mubarak after Mu’amir after Abu ‘Uthman).
  • Luqman was once asked: “Who is the best one in terms of patience?” He said: “It is the one who practices no harm after observing patience.” Then he was asked: “Who is the best one in terms of knowledge?” He said: “It is he who adds to his own knowledge through the knowledge of others. When asked: “Who is the best from among the whole people?” he said: “It is the wealthy.” They said: “Is it the one who has properties and riches?” He said: “No! But, it is the one who is generous in doing good when others seek it from him, and, it is the one who does not need anything from others”(narrated by Abdur Razzaq after Mu’amir after Ayyub after Abu Qulabah).
  • Yazid Ibn Hamn and Waki’ told us after Abul AShhab about Khalid Ar-Rab’i as saying: “Luqman was an Ethiopian slave who worked as a carpenter. One day, his master ordered him to slaughter a goat and bring him the most pleasant and delicious two parts from it. Luqman brought him the tongue and heart. The master asked: “Didn’t you find anything more pleasant than these?” Luqman said: “No!” After a while, the master ordered him to slaughter a goat and to throw away two of the most malignant parts. Luqman slaughtered the goat and threw away the tongue and heart. The master exclaimed and said: “I ordered you to bring me the most delicious parts and you brought me the tongue and heart, and I ordered you to throw away the most malignant parts and you threw away the tongue and heart, how can this be?” Luqman said: “Nothing can be more pleasing than these if they are good and nothing can be more malicious than these if they are malignant.”
  • Dawud Ibn Usaid told us after Isma’il Ibn ‘Ayyash after Damdam Ibn Zar’ah after Shuraih Ibn ‘Ubaid Al-Hadrami after ‘Abdullah Ibn Zaid: Luqman said: “Verily, Allah’s Hand is on the mouths of wise men; none of them speaks but with what Allah assigned for him.”
  • Abdur Razzaq told us after Mu’amir after Ayyub after Abu Qulabah that according to Sufyan Ibn ‘Uyaynah, Luqman was asked: ‘Who is the worst of all people?” He replied: “It is the one who does not feel shame if found committing a sinful deed.”
  • Abu As-Samad reported to us that Malik Ibn Dianr said: I found some pieces of-wisdom as follows: “Allah Almighty scatters and wastes the bones of those who give religious opinions that go with the people’s lusts and desires.” And, “There is no good for you that you learn something new while you do not practice what you have learned previously. This is like a man who gathered a pile of dry wood, then tried to carry it but couldn’t. Thereupon, he collected a second one.”
luqman-speech-smile
Ibn Abu Hatim said: I was told by my father after Al-’Abbas Ibn Al-Walid after Zaid Ibn Yahya Ibn ‘Ubaid Al-Khuza’i after Sa’id Ibn Bashir that Qatadah said: Allah Almighty enabled Luqman to choose between Prophethood and wisdom and he (Luqman) preferred wisdom to Prophethood. Then, Gabriel came while he was asleep and poured the wisdom over him. And, he began to pronounce it the next morning.
Many from among our earlier scholars, foremost among whom were Mujahid, Sa’id Ibn Al-Musayyb and Ibn ‘Abbas (May Allah be pleased with him), were of the viewpoint that Allah’s Statement that reads: “And indeed We bestowed upon Luqman Al- Hikmah (wisdom),” means: discretion and religious understanding. He was not a Prophet and nothing had been revealed to him Al- Wahi (Divine Inspiration).
Quranic Verses related to the story of LUQMAN [Quran: Surah Luqman (31:12-19)]

    • And indeed We bestowed upon Luqman Al-Hikmah (wisdom and religious understanding) saying: “Give thanks to Allah.” And whoever gives thanks, he gives thanks for (the good of) his ownself. And whoever is unthankful, then verily, Allah is All-Rich (Free of all needs), Worthy of all praise.
    • And (remember) when Luqman said to his son when he was advising him: “O my son! Join not in worship others with Allah. Verily joining others in worship with Allah is a great Zulm (wrong) indeed.
    • And We have enjoined on man (to be dutiful and good) to his parents. His mother bore him in weakness and hardship upon weakness and hardship, and his weaning is in two years – give thanks to Me and to your parents. Unto Me is the final destination.
    • But if they (both) strive with you to make you join in worship with Me others that of which you have no knowledge, then obey them not; but behave with them in the world kindly, and follow the path of him who turns to Me in repentance and in obedience. Then to Me will be your return, and I shall tell you what you used to do.
    • “O my son! If it be (anything) equal to the weight of a grain of mustard seed, and though it be in a rock, or in the heavens or in the earth, Allah will bring it forth. Verily, Allah is Subtle (in bringing out that grain), Well-Aware (of its place).
    • “O my son! Aqim-As-Salat (perform As-Salat), enjoin (on people) Al-Ma’ruf – (Islamic Monotheism and all that is good), and forbid (people) from Al-Munkar (i.e. disbelief in the Oneness of Allah, polytheism of all kinds and all that is evil and bad), and bear with patience whatever befalls you. Verily, these are some of the important commandments (ordered by Allah with no exemption).
    • “And turn not your face away from men with pride, nor walk in insolence through the earth. Verily, Allah likes not any arrogant boaster.
    • “And be moderate (or show no insolence) in your walking, and lower your voice. Verily, the harshest of all voices is the braying of the asses.”
– End
This story was taken from the summarized version of Ibn-Kathir book available in an e-book form at the following link and source:
Stories from the Quran

Thursday, May 03, 2012

The Role of Parents


Undoubtedly, a normal family environment is one of the basic requisites for social adjustment, and the construction of the child's sound psychological maturity.
There is no dispute about the great importance of parental care for the children from their very early childhood. The child's relationship with his parents is of great importance, due to its impact on his upbringing and personality constitution. Undoubtedly, the children's loss of parental care in general and maternal care in particular leads to many negative consequences.
The question is: What do we mean by care and compassion?
What we mean is surrounding the child with balanced and moderate love, compassion, care and kindness, which gives him a sense of security, reassurance, and confidence in his own self as well as in others, and helps him become stable, and able to attain sound psychological maturity. Afterwards, he is ready to go on with his life with success, as a result of that psychological charge of balanced love and compassion.
Let us raise another question: Do excessive harshness and pampering have negative effects?
Of a surety, excessive harshness shown in beating, punishment and criticism of the child's behavior has bad psychological and social effects on the child. The same is true of excessive pampering, over-protection, and exaggerated care, which also have unfavorable effects on the child's personality.
The crux of the matter is to assume a moderate approach between these two extremes. That is, the mother should be firm without violence, and gentle without weakness.
The Muslim mother should be merciful towards her children, who always need her warm bosom, and sincere love and compassion, so that they are brought up with a healthy psychological upbringing, void of any disorders, crises or complexes.
The children's sentimental needs:
The need for love, compassion and security is one of the children's most important emotional needs, especially the desire for security. Children will not advance in their life unless they are reassured and feel secure. The loss of security and love leads to anxiety, fear and lack of stability.
According to the Islamic education, the compassion a child receives from his parents in general, and the mother in particular is essential to make him feel secure and reassured, and be more confident of his mother, and, consequently, more confident of himself and of the entire society. The necessity of the mother's compassion is confirmed by the praise given by the Messenger of Allaah, sallallaahu ‘alayhi wa sallam, to the women of the Quraysh in this respect as shown in this amazing story.
Should such an offer be rejected?
That is Umm Haani’: Faakhitah, daughter of Abu Taalib, may Allaah be pleased with her, the sister of ‘Ali ibn Abi Taalib, may Allaah be pleased with him, the Commander of Believers, and the paternal female cousin of the Messenger of Allaah, sallallaahu ‘alayhi wa sallam, and the narrator of the Hadeeth (narration) of Al-Israa’'. She was parted by Islam from her husband Hubayrah, from whom she had four children. When the Messenger of Allaah, sallallaahu ‘alayhi wa sallam, asked for her hand in marriage she said, "O Messenger of Allaah! No doubt, you are dearer to me than my hearing and seeing, and the right of the husband (upon his wife) is great. So, I fear that if I devote myself to my husband, (meaning the Messenger of Allaah, sallallaahu ‘alayhi wa sallam) I may waste a part of my care for my children; and if I devote myself to my children, I may waste a part of the right of my husband upon me." On that the Messenger of Allaah, sallallaahu ‘alayhi wa sallam, praised her and appreciated her attitude and said: "The best women who ride camels are the pious from among the women of Quraysh: they are the most compassionate for a child in his childhood, and the most caring for the property of a husband." [Al-Bukhaari and Muslim]
The question here is: Why are the women of Quraysh the best from among the women who ride camels? The Messenger of Allaah, sallallaahu ‘alayhi wa sallam, himself gave the answer to this question. Their goodness goes back to their compassion and kindness towards their children, along with their care for the husband and the maintenance of his property.
Do you like, dear Muslim mother, to be among the best women?
Who among us does not like it? Then, follow the conduct of the women of Quraysh, and Umm Haani’, may Allaah be pleased with her, in her compassion for her children and care for her husband and his property as indicated by the noble Hadeeth.
That is the guidance of our religion which likes the mother to be a source of love and compassion, an overflowing respository of emotion and care, and a wave of concern, sacrifice and devotion.
This emotional nourishment is a characteristic of the Muslim mother, unlike the Western mother, who has been drained by the material life, and exhausted by her continuous daily work, with which she lost the sense of this emotional family nourishment.
After her visit to America, Mrs. Sala Al-Haffaar, a member of the feminist movements in the countries of Shaam, said, in reference to this fact, "It is really unfortunate that the woman loses the dearest and highest gift granted to her by nature (which is an incorrect expression since the sole Granter is Allaah The Almighty); and I mean her femininity, and, consequently, her happiness. That is because hard continuous work caused her to lose the small gardens which are the natural shelter for the man and the woman alike, and which could not blossom or exude their pleasant scent in the absence of the mother and housewife. In homes and in the arms of the family lies the happiness of the society and of individuals, the source of inspiration, and the spring of goodness and creativity."

Salam sist,
ya kalau baca kisah ini, saya jadi teringat kisah wanita-wanita yang dibahas di edisi khusus tarbawi beberapa tahun yang lalu...

Disitu diceritakan 5 orang wanita yang bermacam-macam profesinya mulai dari yang pedagang sampai seorang wanita yang bekerja di NGO lepas internasional...
Yang paling berkesan buat saya adalah kisah dari ibu mulia kurungsen.  Beliau menjadi janda, suaminya menjadi almarhun disaat anaknya yang kelima belas masih berumur tiga tahun...

Selanjutnya di ceritakan kisah hidupnya yang berusaha berkarir menjadi pedagang kain hingga saya lihat semua list anaknya sekolah dengan baik minimal menyelesaikan S1nya. Tiga diantara anaknya menjadi profesor dan banyak sekali yang dokter dan insinyur.  Klu lihat list sekolah anaknya semua sekolah di universitas negri dan sebagian mendapat beasiswa dari universitas ternama di luar negri.  Memang sekolah bukan ukuran sih. Btw si ibu mulia ini hanya lulusan SD atau SMP gitu, saya agak lupa..
Hanya saja saya kagum melihat saja mengikuti kisahnya sebagai seorang janda yang tidak pernah menikah lagi,anak 15 pula dan ga ada sanak saudara yang membantu..


Ada juga kisah ibu lain yang bekerja di salah satu NGO sosial 10 anaknya hafidz Qur'an ada yang kuliah di kairo & ITB dsb..Intinya subhanallah lah saya membaca kisah mereka sangat mengispirasi.
Pernah juga saya mengenal sebuah keluarga yang memang ibunya tidak bekerja namun hobi sekali shopping sehingga ayahnya terpaksa korupsi dan dikeluarkan dari perusahaannya. Sang ibupun juga sedihnya, karena hobi belanjanya yang sudah mengakar sampai rela menipu dan dipenjarakan. Anaknya ada yang OD dan putus sekolah...

Intinya sih memang dari semua cerita itu belum tentu menjadi jaminan menjadi ibu rumah tangga saja atau wanita karir kita bisa menghadirkan generasi unggulan/ sholeh.  Kita semua di dunia ini berusaha saja.  Allah pula yang nantinya memberikan berkahnya. Anak sebagai investasi amal kita. Semua dilihat dari niatnya  dan usahanya juga terkadang dari kondisi & situasi.

Dulu pernah saat saya menjadi full time mummy ehem saya baru melahirkan, ibu muda yang bener2 baru fresh hehehe maksutnya punya anak satu aja kayanya repoot dan capeek sekali. Apalagi memang blum punya asisten sampai radhi 9 bulan. Saya kedatangan teman suami saya & istrinya yang kebetulan wanita karier.  Selayaknya tuan rumah yang ingin memuliakan tamu, saya masak makanan khusus & macam-macam browse resep kemana2 & membersihkan rumah yang jarang di bersihin hehhehe...Plus menyusui radhi yang dikit-dikit nagis abisan masih asi eklusif jadi dikit2 laper dia..Pokoknya hari itu sampe saya rasanya mo pingsaan hehehe...

Stelah mereka datang dan mencicipi berbagai masakan yang terhidang, mereka banyak bertanya ini makanan apa dsb, trus si suami nyeletuk, yang membuat saya terkesan sekali..Wah memang klu housewife tak banyak activity jadi bisa cuba-cuba resipi macam-macam.. Duuh rasanya saat itu senyum saya paallllllllsuuuuuuu sekali..Rada tersinggung sih. Dibilang saya ga banyak kerjaan..

Terkadang memang orang tidak bisa duduk di perasaan orang lain, kita harus membayangkan duduk di posisi seseorang baru mungkin kita bisa mengerti walaupun sedikit  Saat saya mulai bekerjapun pernah saya mendapat pengalaman teman menanyakan tentang anak saya sekarang ini dekat sama bapaknya atau dekat sama pembantu ya..Terkadang saya agak sedih juga.
Bagaimana ya si ibu ini bisa menjugde anak saya tidak ada bonding dengan saya.  Padahal saya juga baru bekerja 6 bulan saja, saya juga memiliki management waktu antara anak saya dan pekerjaan saya..Anyway hanya Allah sajalah yang tau bagaimana usaha kita..

Kok jadi curhaat panjang banget sih hehehe..
Tetap semangat sist bagi yang menjadi full time mummy atau wanita karier.. Kita bisa mencontoh umahat: Zainab yang menyamak kulit sehingga dari hasil kerjanya dia dijuluki yang paling panjang tangannya karena sadaqohnya. Khadijah yang berbisnis sehingga membantu dakwah islamnya rasulullah, atau asiyah istri fir'aun yang menjadi ibu rumah tangga, permaisurinya fir'aun tapi beliau yang mengasuh nabi Musa sehingga menjadi wanita utama di syurga.

Intinya kita semua harus berusaha berkontribusi untuk umat, untuk agama ini dan untuk mencapai ridho Allah. Nanti Allah lah yang akan memberikan balasannyan berupa anak yang sholeh amiiin..........

-dev-
Agar anak kita cepat hafal Qur’an

Selepas terawih sambil menggendong bayi saya, saya sempatkan untuk nerusin ngetik sedikit tentang uneg-uneg masalah Indonesia-Malaysia yang dari kemarin nggak selesai karna setiap buka komputer pasti anak-anakku sudah langsung nyerbu rebutan make komputer, sibuk minta nonton kartun lah,nanya ini itu lah, liat foto lah....fuyoooohh.

Sambil ngetik saya nyalain CD murotal al-Qur’an yg dilantunkan oleh suamiku, kebetulan sampai surat al-Waqiah. Zahra, anak sulungku asyik mainan boneka dibelakangku. Tiba-tiba ketika bacaan Waqi’ah sampai ke ayat kesepuluh Zahra nyeletuk membaca ayat kesebelas, “ulaikal muqorrobuun” dengan suara pelatnya. Kontan aku terkejut. Lho....dah hapal mendahului suara ayahnya...Mulutku masih menganga belum selesai terkejut Zahra dah ngeduluin dengan...“..Na’iim....” kemudian “...Waliin...”, “..Khoriin...”, “duunah...”, “Biliin...”, hafal ujung-ujungnya thok.

Fatimah el-Zahra, 2,5 tahun, memang lagi penasaran-penasarannya liat sesuatu yang baru. Sampai saya kewalahan dan kadang jengkel dibuatnya. Saya nggak heran kalau sekarang dia dah hafal Fatihah, A-Z, one hingga twenty, wahid hingga ‘Asyrah, alih hingga ya, nama hewan dan buah-buahan..karna memang saya ajarkan. Tapi al-Waqiah...., saya nggak pernah ajarkan, karna saya fikir itu masih berat untuknya, saya akan ajarkan bertahap dikemudian hari.

Sekedar hafal ujung-ujung ayat surat al-Waqiah memang bukan hal yang luar biasa. Tak sehebat Annisa Rania Putri anak Banjarmasin yang 9 tahun dah menguasai 5 Bahasa sekaligus, tidak sehebat  Askrit Jaswal dari India yang menjadi mahasiswa dan dokter India termuda dalam sejarah, tak semencengangkan seperti Mozart yang telah mengcompose lagu pertamanya pada usia 5 tahun, tak seperti William James Sidis yang sudah dapat membaca pada usia 18 bulan.

Pengalaman ini saya tulis bukan karena saya ingin membanggakan anak sendiri, ataupun ingin mengatakan bahwa Zahra hebat. Tidak. Zahra adalah anak biasa-biasa saja lumrahnya anak kecil sebayanya. Saya hanya ingin mengatakan bahwa anak kecil ingatannya luar biasa. Jadi kita harus maksimalkan potensinya semaksimal mungkin.

Pasti kita sudah berkali-kali membaca artikel tentang pertumbuhan otak bayi yang begitu cepat, sehingga proses dari 0-3 tahun disebut sebagai milestones atau tonggak bersejarah dalam perkembangan anak. Dia bagaikan sponge yang akan meniru dan menyerap apa saja informasi yang dia lihat ataupun dia dengar. Sehingga para peneliti Barat menganjurkan para ibu dari mulai hamil disuruh memperdengarkan musik Mozart ataupun Beethoven untuk mencerdaskan anak. Lantunan Al-Qur’an ternyata lebih bisa merangsang perkembangan otak dibandingkan Mozart ataupun Beethoven.

Begitupun dengan Zahra. Pada bulan Ramadhan ini sambil mengetik saya selalu mendengarkan al-Qur’an dari komputer. Namun hanya Waqi’ah, Luqman, Sajdah dan al-Mulk yang sering saya dengarkan. Tanpa disadari, dari kebiasaan mendengarkan al-Qur’an itulah memori Zahra menangkap sedikit demi sedikit ayat-ayat dari surat-surat al-Qur’an tersebut.

Mari sama-sama besarkan anak kita menjadi khalifah Allah yang sukses dengan berusaha untuk mencontohkan hal yang baik kepada anak kita dan hindarkan dari pengaruh negatif yang akan menjauhkannya dari Allah. Perdengarkanlah al-Qur’an sekerap mungkin kepada anak kita. mumpung otaknya tengah berkembang pesat maka biasakanlah sejak dini untuk memupuk minat belajar dan menghafal al-Qur’an. Seperti pepatah melentur buluh biarlah dari rebungnya”. yang bermaksud dalam membesarkan anak-anak perlu diasuh dan dididik sejak dari kecil atau dalam bahasa Inggerisnya "it’s better to bend the willow when it is young". Sesungguhnya hatinya bagaikan bening mutiara yang siap menerima segala sesuatu yang mewarnainya. Jika dibiasakan dengan hal- hal yang baik, maka ia akan berkembang dengan kebaikan, sehingga orang tua dan pendidiknya ikut serta memperoleh pahala. Sebaliknya, jika ia dibiasakan dengan hal-hal buruk, maka ia akan tumbuh dengan keburukan itu. Maka orang tua dan pedidiknya juga ikut memikul dosa karenanya.Jadilah contoh muslim teladan bagi anak-anak kita.Tanamkan bibit agama agar dapat sukses dunia akhirat.

Malam semakin larut, saya terus kletak kletuk memencet keyboard diiringi Zahra yang lagi ngafalin ujung surat Luqman.Kafuur…syai’aa…ghoruur…, ghodaa…, khobiir…, shodaqallahul adziim. Semoga Allah panjangkan umur kita nak…jadilah penghafal pengamal dan penebar al-Qur’an.

(Saya sengaja kirim kepada Bapak-Ibu agar semakin semangat dan tak putus aja mendidik putra-putrinya, juga kepada calon bapak yang sedang mencari calon ibu kepada anak-anaknya agar dapat mencari calon ibu yang dapat menjadi al-ummu al-madrasah, serta bagi para calon ibu yang sedang menanti datangnya jodoh agar cepat mendapatkan calon bapak yang dapat mendidik seisi keluarga. Amiin.)


Oh ya, murotal al-Qur'an bacaan suami saya alunannya agak perlahan jadi sesuai untuk ingatan anak kecil, kalau ingin pakai boleh email saya untuk saya upload-kan, ataupun boleh pesan CD-nya. Semoga menjadi amal jariah kami sekeluarga, Encik Isa sekeluarga dan Lensa Film yang bersusah payah merekamnya serta AJK Al-Amin yang mengedarkannya. Amiin


Dewi Mar’atusshalihah & Masyhuri Mas’ud

Kisah2 untuk Dongeng sebelum tidur

Si Belang, Si Botak, dan Si Buta yang Diuji Oleh Allah SWT

dakwatuna.com - Zaman dahulu kala, ada tiga orang Bani Israil. Orang yang pertama berkulit belang (sopak), yang kedua berkepala botak, dan yang ketiga buta. Allah ingin menguji ketiga orang tersebut. Maka Dia mengutus kepada mereka satu malaikat.
Malaikat mendatangi orang yang berpenyakit sopak (Si Belang) dan bertanya kepadanya, “Sesuatu apakah yang engkau minta?”
Si Belang menjawab, “Warna yang bagus dan kulit yang bagus serta hilangnya dari diri saya sesuatu yang membuat orang-orang jijik kepada saya.”
Lalu malaikat itu mengusapnya dan seketika itu hilanglah penyakitnya yang menjijikkan itu. Kini ia memiliki warna kulit yang bagus. Kemudian malaikat itu bertanya lagi kepadanya, “Harta apa yang paling engkau sukai?”
Orang itu menjawab, “Onta.”
Akhirnya orang itu diberikan seekor onta yang bunting seraya didoakan oleh malaikat, “Semoga Allah memberi berkah untukmu dalam onta ini.”
Kemudian malaikat mendatangi si Botak dan bertanya kepadanya, “Apakah yang paling engkau sukai?”
Si Botak menjawab, “Rambut yang indah dan hilangnya dari diri saya penyakit yang karenanya aku dijauhi oleh manusia.”
Malaikat lalu mengusapnya, hingga hilanglah penyakitnya dan dia diberi rambut yang indah. Malaikat bertanya lagi, “Harta apa yang paling engkau sukai?”
Orang itu menjawab, “Sapi.”
Akhirnya si Botak diberikan seekor sapi yang bunting dan didoakan oleh malaikat, “Semoga Allah memberkahinya untukmu.”
Selanjutnya malaikat mendatangi si Buta dan bertanya kepadanya, “Apa yang paling engkau sukai?”
Si Buta menjawab, “Allah mengembalikan kepada saya mata saya agar saya bisa melihat manusia.”
Malaikat lalu mengusapnya hingga Allah mengembalikan pandangannya. Si Buta bisa melihat lagi. Setelah itu malaikat bertanya lagi kepadanya, “Harta apa yang paling engkau sukai?”
Orang itu menjawab, “Kambing.”
Akhirnya diberilah seekor kambing yang bunting kepadanya sambil malaikat mendoakannya.
Singkat cerita, dari hewan yang dimiliki ketiga orang itu beranak dan berkembang biak. Yang pertama memiliki satu lembah onta, yang kedua memiliki satu lembah sapi, dan yang ketiga memiliki satu lembah kambing.
Kemudian sang malaikat – dengan wujud berbeda dengan sebelumnya – mendatangi si Belang. Malaikat berkata kepadanya, “Seorang miskin telah terputus bagiku semua sebab dalam safarku, maka kini tidak ada bekal bagiku kecuali pertolongan Allah kemudian dengan pertolongan Anda. Saya memohon kepada Anda demi (Allah) Yang telah memberi Anda warna yang bagus, kulit yang bagus, dan harta, satu ekor onta saja yang bisa menghantarkan saya dalam safar saya ini.”
Orang yang tadinya belang itu menanggapi, “Hak-hak orang masih banyak.”
Lalu malaikat bertanya kepadanya, “Sepertinya saya mengenal Anda. Bukankah Anda dulu berkulit belang yang dijauhi oleh orang-orang dan juga fakir, kemudian Anda diberi oleh Allah?”
Orang itu menjawab, “Sesungguhnya harta ini saya warisi dari orang-orang tuaku.”
Maka malaikat berkata kepadanya, “Jika kamu dusta, maka Allah akan mengembalikanmu pada keadaan semula.”
Lalu, dengan rupa dan penampilan sebagai orang miskin, malaikat mendatangi mantan si Botak. Malaikat berkata kepada orang ini seperti yang dia katakan kepada si Belang sebelumnya. Ternyata tanggapan si Botak sama persis dengan si Belang. Maka malaikat pun menanggapinya, “Jika kamu berdusta, Allah pasti mengembalikanmu kepada keadaan semula.”
Lalu malaikat – dengan rupa dan penampilan berbeda dengan sebelumnya – mendatangi si Buta. Malaikat berkata kepadanya, “Seorang miskin dan Ibn Sabil yang telah kehabisan bekal dan usaha dalam perjalanan, maka hari ini tidak ada lagi bekal yang menghantarkan aku ke tujuan kecuali dengan pertolongan Allah kemudian dengan pertolongan Anda. Saya memohon kepada Anda, demi Allah yang mengembalikan pandangan Anda, satu ekor kambing saja supaya saya bisa meneruskan perjalanan saya.”
Maka si Buta menanggapinya, “Saya dulu buta lalu Allah mengembalikan pandangan saya. Maka ambillah apa yang kamu suka dan tinggalkanlah apa yang kamu suka. Demi Allah aku tidak keberatan kepada kamu dengan apa yang kamu ambil karena Allah.”
Lalu malaikat berkata kepadanya, “Jagalah harta kekayaanmu. Sebenarnya kamu (hanyalah) diuji. Dan Allah telah ridha kepadamu dan murka kepada dua sahabatmu.”
***
Demikianlah kisah ini, Allah senantiasa menguji hamba-hamba- Nya, dan kita pun senantiasa diuji oleh-Nya. Dalam kisah tadi, ada dua hal yang menjadi bahan ujian, yaitu kesehatan, penampilan fisik, dan harta. Mudah-mudahan kita adalah yang orang yang lulus ujian sebagaimana si Buta. Jika kita ingin seperti si Buta, maka kita harus berusaha menjadi bagian dari orang-orang yang bersyukur dan senantiasa merasakan adanya pengawasan Allah (muraqabatullah).
Semoga Allah senantiasa ridha dan tidak murka kepada kita semua.. Aamiin.
Maraji’: Hadits Riwayat Bukhari – Muslim
(hudzaifah/hdn)

Wednesday, May 02, 2012

Living Islam: Serving Humanity by Lauren Booth


When I was 17 years old, I had a dream. I dreamt that a little girl walked up to ask me a question. She asked me: "Why do people have to leave each other?" The question was a personal one, but it seemed clear to me why the question was chosen for me.
I was one to get attached.
Ever since I was a child, this temperament was clear. While other children in preschool could easily recover once their parents left, I could not. My tears, once set in motion, did not stop easily. As I grew up, I learned to become attached to everything around me. From the time I was in first grade, I needed a best friend. As I got older, any fall-out with a friend shattered me. I couldn't let go of anything. People, places, events, photographs, moments -- even outcomes became objects of strong attachment. If things didn't work out the way I wanted or imagined they should, I was devastated. And disappointment for me wasn't an ordinary emotion. It was catastrophic. Once let down, I never fully recovered. I could never forget, and the break never mended. Like a glass vase that you place on the edge of a table, once broken, the pieces never quite fit again.
But the problem wasn't with the vase. Or even that the vases kept breaking. The problem was that I kept putting them on the edge of tables. Through my attachments, I was dependent on my relationships to fulfill my needs. I allowed those relationships to define my happiness or my sadness, my fulfillment or my emptiness, my security and even my self-worth. And so, like the vase placed where it will inevitably fall, through those dependencies I set myself up for disappointment. I set myself up to be broken. And that's exactly what I found: one disappointment, one break after another.
But the people who broke me were not to blame any more than gravity can be blamed for breaking the vase. We can't blame the laws of physics when a twig snaps because we leaned on it for support. The twig was never created to carry us.
Our weight was only meant to be carried by God. There is only one handhold that never breaks. There is only one place where we can lay our dependencies. There is only one relationship that should define our self-worth and only one source from which to seek our ultimate happiness, fulfillment and security. That place is God.
But this world is all about seeking those things everywhere else. Some of us seek it in our careers, some seek it in wealth, some in status. Some, like me, seek it in our relationships. In her book, Eat, Pray, Love, Elizabeth Gilbert describes her own quest for happiness. She describes moving in and out of relationships, and even traveling the globe in search of this fulfillment. She seeks that fulfillment -- unsuccessfully -- in her relationships, in meditation, even in food.
And that's exactly where I spent much of my own life: seeking a way to fill my inner void. So it was no wonder that the little girl in my dream asked me this question. It was a question about loss, about disappointment. It was a question about being let down. A question about seeking something and coming back empty handed. It was about what happens when you try to dig in concrete with your bare hands: not only do you come back with nothing -- you break your fingers in the process. And I learned this not by reading it, not by hearing it from a wise sage. I learned it by trying it again and again and again.
And so the little girl's question was essentially my own question ... being asked to myself.
Ultimately, the question was about the nature of this worldly life, as a place of fleeting moments and temporary attachments. As a place where people are with you today and leave or die tomorrow. But this reality hurts our very being because it goes against our nature. We, as humans, are made to seek, love and strive for what is perfect and what is permanent. We are made to seek what's eternal. We seek this because we were not made for this life. Our first and true home was Paradise, a land that is both perfect and eternal. So the yearning for that type of life is a part of our being. The problem is that we try to find that here. And so we create ageless creams and cosmetic surgery in a desperate attempt to hold on -- in an attempt to mold this world into what it is not and will never be.
And that's why if we live in this life with our hearts, it breaks us. That's why this life hurts. It is because the definition of worldly life, as something temporary and imperfect, goes against everything we are made to yearn for. God put a yearning in us that can only be fulfilled by what is eternal and perfect. By trying to find fulfillment in what is fleeting, we are running after a hologram, a mirage. We are digging into concrete with our bare hands. Seeking to turn what is by its very nature temporary into something eternal is like trying to extract water from fire. You just get burned. Only when we stop putting our hopes in this life, only when we stop trying to make the this world into what it is not -- and was never meant to be (heaven) -- will this life finally stop breaking our hearts.
We must also realize that nothing happens without a purpose. Nothing. Not even broken hearts. Not even pain. That broken heart and that pain are lessons and signs for us. They are warnings that something is wrong. They are warnings that we need to make a change. Just like the pain of being burned is what warns us to remove our hand from the fire, emotional pain warns us that we need to make an internal change. That we need to detach. Pain is a form of forced detachment. Like the loved one who hurts you again and again and again, the more this material world hurts us, the more we inevitably detach from it. The more we inevitably stop loving it.
And pain is a pointer to our attachments. That which makes us cry, that which causes us most pain, is where our false attachments lie. And it is those things that we are attached to -- as we should only be attached to God -- which become barriers on our path to Him. But the pain itself is what makes the false attachment evident. The pain creates a condition in our life that we seek to change, and if there is anything about our condition that we don't like, there is a divine formula to change it. God says: "Verily never will God change the condition of a people until they change what is within themselves" (Quran, 13:11).
After years of falling into the same pattern of disappointments and heartbreak, I finally began to realize something profound. I had always thought that love of the material world meant being attached to material things. And I was not attached to material things. I was attached to people. I was attached to moments. I was attached to emotions. So I thought that the love of this worldly life just did not apply to me. What I didn't realize was that people, moments, emotions are all a part of the material world. What I didn't realize is that all the pain I had experienced in life was due to one thing, and one thing only: love of this worldly life.
As soon as I began to have that realization, a veil was lifted from my eyes. I started to see what my problem was. I was expecting this life to be what it is not, and was never meant to be: perfect. And being the idealist that I am, I was struggling with every cell in my body to make it so. It had to be perfect. And I would not stop until it was. I gave my blood, sweat and tears to this endeavor: making this life into heaven. This meant expecting people around me to be perfect. Expecting my relationships to be perfect. Expecting so much from those around me and from this life. Expectations. Expectations. Expectations. And if there is one recipe for unhappiness it is that: expectations. But herein lay my fatal mistake. My mistake was not in having expectations; as humans, we should never lose hope. The problem was in where I was placing those expectation and that hope. At the end of the day, my hope and expectations were not being placed in God. My hope and expectations were in people, relationships, means. Ultimately, my hope was in this life, rather than God.
And so I came to realize a very deep Truth. A verse began to cross my mind. It was a verse I had heard before, but for the first time I realized that it was actually describing me: "Those who rest not their hope on their meeting with Us, but are pleased and satisfied with the life of the present, and those who heed not Our Signs" (Quran, 10:7).
By thinking that I can have everything here, my hope was not in my meeting with God and the home with Him. My hope was in this world. But what does it mean to place your hope in this worldly life? How can this be avoided? It means when you have friends, don't expect your friends to fill your emptiness. When you get married, don't expect your spouse to fulfill your every need. When you're an activist, don't put your hope in the results. When you're in trouble don't depend on yourself. Don't depend on people. Depend on God.
Seek the help of people, but realize that it is not the people (or even your own self) who can save you. Only God can do these things. The people are only tools, a means used by God. But they are not the source of help, aid or salvation of any kind. Only God is. The people cannot even create the wing of a fly (22:73). And so, even while you interact with people externally, turn your heart toward God. Face Him alone, as Prophet Abraham said so beautifully: "For me, I have set my face, firmly and truly, towards Him Who created the heavens and the earth, and never shall I give partners to God" (Quran, 6:79).
But how did Prophet Abraham come to that point? He came to it after being let down by thing other than God: the stars, the moon and the sun. They were not perfect. They set.
They let him down.
So he was thereby led to face God alone. Like Prophet Abraham we need to put our full hope, trust and dependency on God. And God alone. And if we do that, we will learn what it means to finally find peace and stability of heart. Only then will the roller coaster that once defined our lives finally come to an end. That is because if our inner state is dependent on something that is by definition inconstant, that inner state will also be inconstant. If our inner state is dependent on something changing and temporary, that inner state will be in a constant state of instability, agitation and unrest. This means that one moment we're happy, but as soon as that which our happiness depended upon changes, our happiness also changes. And we become sad. We remain always swinging from one extreme to another and not realizing why.
We experience this emotional roller coaster because we can never find stability and lasting peace until our attachment and dependency is on what is stable and lasting. How can we hope to find constancy if what we hold on to is inconstant and perishing?
To attain that state, don't let your source of fulfillment be anything other than your relationship with God. Don't let your definition of success, failure or self-worth be anything other than your position with Him. And if you do this, you become unbreakable, because your handhold is unbreakable. You become unconquerable because your supporter can never be conquered. And you will never become empty because your source of fulfillment is unending and never diminishes.
Looking back at the dream I had when I was 17, I wonder if that little girl was me. I wonder this because the answer I gave her was a lesson I would need to spend the next painful years of my life learning. My answer to her question of why people have to leave each other was: "because this life isn't perfect; for if it was, what would the next be called?"
Originally published at suhaibwebb.com

 
Follow Yasmin Mogahed on Twitter: www.twitter.com/YasminMogahed



Kunjungi Situs Baru Kami di www.alsofwa.com. Mohon maaf masih dalam penyempurnaan. :: Program Satu Rumah Satu Mushaf Al-Qur'an & Terjemahnya :: Dibuka Pendaftaran Ma'had Aly Imam Syafi'i 2012/2013 ::
Kajian Islam

AKHLAK DAN BUDI PEKERTI AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH
Ahlus Sunnah wal Jama'ah selalu memperindah diri mereka dengan akhlaqul karimah dan budi pekerti yang mulia yang merupakan penyempurna akidah. Dan di antara buahnya adalah:

1. Selalu beramar ma'ruf dan nahi munkar, sebagaimana Allah Subhanahu waTa’ala ungkapkan tentang mereka, seraya berfirman,
Artinya:"Kamu adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk umat manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah kemungkaran dan kamu beriman kepada Allah." (Ali Imran: 110).
Ma'ruf adalah sebutan untuk segala sesuatu yang dicintai oleh Allah Subhanahu waTa’ala, seperti iman dan amal shalih. Sedangkan Munkar (kemungkaran) adalah sebutan untuk segala sesuatu yang tidak disukai Allah Subhanahu waTa’ala dan dicegahNya, berdasarkan bimbingan syariat agama, yaitu dengan tangan, lalu dengan lisan dan kemudian dengan hati sesuai dengan kemampuan dan maslahat. Ini tentu sangat berbeda dengan sekte Mu'tazilah yang berpandangan bahwa amar ma'ruf dan nahi munkar itu adalah keluar (membelot dan menentang) dari para pemimpin (pemerintah).

2. Ahlus Sunnah berpandangan: melaksanakan ibadah Haji, shalat Jum'at dan shalat 'Id itu harus dilaksanakan bersama para umara', apakah mereka sebagai orang shalih ataupun sebagai orang fajir; dan mereka berkeyakinan bahwa kewajiban penegakkan syi'ar ini (amar ma'ruf dan nahi munkar) dilakukan bersama aparat pemerintah kaum muslimin, shalih ataupun fajir, apakah mereka adalah orang-orang yang shalih konsisten kepada din(agama) maupun fasik yang kefasikannya tidak sampai menyebabkan keluarnya dari Islam, (yang demikian itu) demi persatuan dan menghindari perpecahan dan perselisihan, dan juga karena pemimpin yang fasik itu tidak boleh diturunkan dari jabatannya karena kefasikannya dan tidak boleh membangkang terhadap dia, sebab akan berakibat hilangnya hak-hak dan pertumpahan darah.
Syaikul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Hampir tidak ada suatu kelompok yang membangkang terhadap pemimpin (penguasa) melainkan pembangkangannya itu menimbulkan kerusakan lebih besar daripada upaya pelengserannya. Sedangkan Ahlu Bid'ah berpandangan, para penguasa wajib diperangi dan ditentang (khuruj) apabila mereka melakukan kezhaliman atau telah diduga melakukan kezhaliman. Mereka berpandangan demikian sebagai wujud dari amar ma'ruf dan nahi munkar.

3. Di antara ciri Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah mereka selalu memelihara jamaah, melaksanakan shalat wajib secara berjamaah (di masjid), melaksanakan shalat Jum'at dan lain-lain, sebab hal-hal tersebut merupakan syi'ar-syi'ar Islam yang paling agung, ketaatan kepada Allah Subhanahu waTa’ala dan RasulNya.

4. Mereka selalu memberikan nasihat kepada umat, karena mereka memandang nasihat merupakan bagian dari Dinul Islam. Nasihat adalah keinginan tercapainya kebaikan bagi yang diberi nasihat dan membimbingnya menuju kemaslahatannya. Jadi, Ahlus sunnah wal Jama'ah selalu menghendaki kebaikan bagi umat dan membimbing mereka menuju apa yang menjadi maslahat baginya.

5. Termasuk ciri dan sifat Ahlus sunnah adalah saling tolong menolong di dalam kebajikan dan berempati (kasihan) terhadap penderitaan orang lain sesama mereka. Mereka benar-benar meyakini makna sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam,

اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُمْ بَعْضًا، وَيُشْبِكُ بَيْنَ أَصَابِعِه.ِ
"Seorang mukmin terhadap saudara mukmin lainnya adalah bagaikan satu bangunan yang sebagiannya menguatkan bagian yang lain." (Beliau bersabda) sambil merangkai jari-jari tangan beliau yang satu kepada jari-jari tangannya yang lain." (Muttafaq alaih).
Sabda beliau juga,

مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فيِ تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ اْلوَاحِدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى سَائِرُ الْجَسَدِ بِالْحُمَّى وَالسَّهَرِ.
"Perumpamaan kaum mukminin di dalam saling cinta-mencintai, sayang menyayangi dan saling tenggang rasa adalah bagaikan tubuh yang satu, apabila satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh turut merasakan sakit dan tidak bisa tidur." (Muttafaq alaih).

6. Ciri Ahlus Sunnah juga adalah keteguhan pendirian di dalam berbagai cobaan, mereka menyuruh bersabar di kala mendapat cobaan, bersyukur di saat lapang dan ridha terhadap pahitnya ketentuan Allah Subhanahu waTa’ala.
Sabar ketika mendapat cobaan adalah menahan diri dari rasa sedih, menahan lisan dari keluhan dan rasa tidak rela, menahan anggota tubuh (tangan) dari perbuatan (jahiliyah, seperti) memukul-mukul pipi dan merobek-robek baju di bagian dada.
-Bala' adalah cobaan berupa musibah dan kesengsaraan.
-Bersyukur di saat lapang, artinya, menggunakan nikmat yang dikaruniakan Allah Subhanahu waTa’ala pada jalan ketaatan kepadaNya.
-Kelapangan yang dimaksud adalah berlimpahruahnya kenikmatan.
-Ridha terhadap getirnya Qadha' (ketetapan) Allah Subhanahu waTa’ala. Artinya, kita tidak murka dan murung karenanya.
-Qadha' artinya kehendak Allah Subhanahu waTa’ala yang berhubungan dengan segala sesuatu sebagaimana adanya.
-Murr al-Qadha' (getirnya ketetapan), artinya segala sesuatu yang tidak disukai yang menimpa pada seseorang, seperti sakit, kemiskinan, gangguan orang lain, panas, dingin dan bencana-bencana lainnya.

7. Ahlus Sunnah sangat memperhatikan akhlaqul Karimah. Mereka mempercantik diri dengan akhlak mulia dan mengajak orang lain untuk berakhlak mulia. Mereka mengajak kepada amal-amal yang terbaik, seperti keberanian, kejujuran dan amanah. Mereka sangat meyakini sabda Rasulullah Subhanahu waTa’ala,

أَكْمَلُ اْلمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
"Orang-orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah mereka yang paling baik akhlaknya." (Diriwayatkan oleh Ahmad dan at-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata, "Hasan Shahih.")
Mereka benar-benar meyakini hadits tersebut dan mengamalkan kandungannya.
أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا artinya: yang lebih lembut, lebih ramah dan lebih indah akhlaknya.
Ahlus Sunnah mengajak untuk bermuamalat (bergaul) dengan sesama manusia dengan cara yang terbaik, memberikan hak-hak kepada pemiliknya, dan mereka juga melarang sifat-sifat tercela, seperti sombong (takabbur) dan mengganggu orang lain. Mereka menyerukan kepada anda agar menjalin silaturahim dengan orang yang memutus hubungan dengan anda. Maksudnya adalah berlaku baik terhadap orang yang berlaku buruk kepada anda; memberi kepada orang yang bakhil kepada anda. Anda keluarkan pemberian, berupa pemberian sukarela, hadiah dan lain-lain, kepada orang pelit terhadap anda. Perbuatan seperti itu termasuk ihsan; dan anda juga memaafkan orang yang menzhalimi anda, baik pada harta, darah ataupun kehormatan, karena sikap seperti itu dapat menimbulkan rasa cinta kasih dari pelaku kezhaliman itu dan mendatangkan pahala dari Allah Subhanahu waTa’ala.
Ahlus Sunnah memerintahkan apa yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu waTa’ala, seperti memberikan hak kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Mereka mengajak untuk berbakti kepada ibu dan bapak (kedua orang tua) dengan cara patuh kepada mereka di dalam masalah yang tidak berupa kemaksiatan, berbuat baik kepada mereka dalam bentuk ucapan dan perbuatan; bersilaturrahim, yakni berbuat baik kepada kaum kerabat dekat, baik terhadap tetangga dengan mengorbankan kebaikan dan tidak mengganggu mereka; dan berbuat ihsan kepada anak-anak yatim, dengan cara mengelola dan membina keadaan mereka dan harta mereka serta berbelas kasih kepada mereka. Juga berbuat ihsan kepada kaun dhu'afa (fakir dan miskin) dengan cara memberi sedekah dan bersikap ramah kepada mereka; berbuat ihsan kepada musafir, ramah kepada apa saja yang dimiliki, termasuk kepada hewan ternak sendiri. Ramah atau bersikap lembut itu lawan dari sikap kasar.
Ahlus Sunnah mencegah sikap membangga-banggakan diri, sombong dan zhalim. Maksud membangga-banggakan diri dan sombong adalah membangga-banggakan kehormatan dan kelebihan, seperti kedudukan dan keturunan. Zhalim artinya, penganiayaan terhadap orang lain dan melecehkannya, seperti mereka lebih mulia daripada orang lain dan menganggap remeh mereka serta menyakiti mereka dengan haq ataupun tidak haq. Sebab, orang yang melecehkan orang lain dengan haq, maka ia telah berbangga diri; dan jika melecehkan dengan cara tidak haq maka ia telah berbuat zhalim. Kedua-duanya tidak boleh dilakukan.
Ahlus Sunnah sangat mengajak kepada akhlak yang mulia, yaitu akhlak yang terpuji dan melarang akhlak yang buruk dan rendahan.
Semua apa yang dikatakan dan dikerjakan oleh Ahlus Sunnah dan apa yang mereka perintahkan dan apa yang mereka larang sebagaimana tersebut di atas dan hal-hal yang tidak disebutkan, semuanya mereka ambil dari al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, mereka sama sekali tidak mengada-ada (melakukan bid'ah) dari sisi mereka sendiri dan tidak bertaklid kepada siapa-siapa, sebab Allah Subhanahu waTa’ala telah berfirman,
Artinya:"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukanNya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri." (An-Nisa’: 36).
Hadits-hadits yang semakna dengan ayat di atas sangat banyak sekali, di antaranya adalah yang telah tersebut di atas.
Keunggulan Ahlus Sunnah wal jama'ah yang Teragung:
Yaitu bahwa jalan mereka adalah al-Islam. Islamlah madzhab dan jalan mereka menuju Allah Subhanahu waTa’ala di saat terjadi iftiraq (perpecahan) sebagaimana telah diberitakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang akan terjadi pada umat ini; mereka konsisten kepada Islam dan mereka menjadi golongan yang selamat (firqah Najiyah) di antara firqah-firqah yang ada, dan mereka pulalah jamaah yang konsisten berpegang teguh kepada ajaran yang dianut oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya, yaitu Islam yang murni dari segala noda syirik dan bid'ah. Maka dari itu mereka berhak menyandang julukan "Ahlus Sunnah wal Jama'ah", dan di antara mereka ada orang-orang yang shiddiq yang benar-benar telah mencapai peringkat kejujuran dan keimanan, ada syuhadayang gugur di jalan Allah Subhanahu waTa’ala dan orang-orang shalih yang banyak mempunyai amal shalih. Di antara mereka juga ada yang sebagai tokoh-tokoh panutan, lentera terang di kegelapan malam yang mempunyai banyak kelebihan dan keunggulan.
Jadi, di dalam Ahlus Sunnah terdapat para tokoh ulama terkemuka yang mempunyai segala sifat terpuji, baik secara teori (ilmu) maupun amalan. Terdapat pemuka-pemuka agama di dalam Ahlus Sunnah, seperti empat tokoh panutan terkemuka (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi'i dan Imam Ahmad rahimahumullaah) berserta lain-lainnya. Merekalah golongan yang mendapat pertolongan Allah (ath-Tha'ifah al-Manshurah). Maksudnya: Ahlus Sunnahlah ath-Tha'ifah al-Manshurah yang disebut di dalam hadits, "Akan tetap ada segolongan dari umatku..." yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim.
Akhirnya, kami memohon kepada Allah Subhanahu waTa’ala semoga Dia membela agamaNya dan meninggikan kalimahNya dan mengalahkan musuh-musuhnya. Semoga shalawat dan salam tetap terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, keluarga dan para sahabat beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam.