Nama dan Nasabnya
Beliau adalah Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir Al-Ghalib. Nama panggilan beliau adalah Abu Ja'far.
Kelahiran beliau
Menurut pendapat yang kuat, beliau dilahirkan pada tahun 225 H, di
daerah Amal, yaitu suatu daerah yang subur di salah satu daerah di
Thabaristan.
Sanjungan para Ulama terhadapnya
Al-Khatib Al-Baghdadi berkata: "Muhammad bin Jarir bin Yazid bin
Katsir Al-Ghalib adalah salah satu dari para imam yang perkataannya
dijadikan sandaran hukum, pendapat dan pengetahuannya sering dijadikan
sebagai rujukan. Imam Ath-Thabari menguasai banyak ilmu, yang tidak satu
pun ulama di masanya seperti dia. Dia mampu menghafal Al-Qur an
sekaligus qira'atnya (cara membacanya) dan mengetahui makna beserta
hukum-hukum yang dikandungnya. Dia juga menguasai hadits-hadits dan
jalur-jalur periwayatannya, sehingga dia dapat memilah-milah mana yang
termasuk hadits-hadits yang shahih dan mana yang tidak shahih, mana yang
Nasikh dan mana yang mansukh. Imam Ath-Thabari juga mengetahui tentang
atsar para shahabat dan peradaban manusia". (Tarikh Baghdad: 2/163)
Ibnu Suraij berkata: "Muhammad bin Jarir Ath-Thabari adalah ulama ahli fikih dunia".
Yaqut Al-Hawawi berkata: "Abu Ja'far Ath-Thabari adalah seorang
ulama ahli hadits dan ahli fiqih. Dia adalah ulama yang sudah ma'ruf dan
masyhur mengetahui qira'ah dan sejarah".
Imam Ibnu Katsir berkata: "Abu Ja'far Ath-Thabari satu dari sekian banyak ulama yang mempraktikkan kitab Allah ta'ala Al-Qur an dan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam".
Kehidupan Ilmiahnya
Ia memulai perjalanan menutut ilmu pasca tahun 240 H. Banyak
menjelajah bumi, bertemu dengan para tokoh mulia, menyodorkan bacaan
al-Qur annya kepada al-‘Abbas bin al-Walid, kemudian pindah darinya
menuju Madinah Munawwarah, kemudian ke Mesir, Ray dan Khurasan. Lalu
akhirnya menetap di Baghdad.
Ath-Thabari mendengar dari sejumlah Syaikh, sejumlah perjalanan
dilakukannya ke sekian banyak ibukota-ibukota dunia Islam yang berjaya
dengan para ulama dan ilmunya, salah satunya, Mesir.
Guru-guru beliau
Guru-guru beliau sebagai mana yang disebutkan Oleh imam Adz-Dzahabi adalah:
1. Muhammad bin Abdul Malik bin Abi Asy-Syawarib
2. Ismail Bin Musa As-Sanadi
3. Ishaq bin Abi Israel
4. Muhammad bin Abi Ma'syar
5. Muhammad bin Hamid Ar-Razi
6. Ahmad bin Mani'
7. Abu Kuraib Muhammad Ibnul A'la
8. Ash-Shan'ani
9. Bundar
10. Muhammad bin Al-Mutsanna, dan selain mereka.
Murid-murid beliau
Adapun diantara murid-murid beliau adalah:
1. Abu Syuaib bin Abdillah bin Al-Hasan bin Al-Harani.
2. Abul Qasim Ath-Thabrani
3. Ahmad bin Kamil Al-Qadhi
4. Abu Bakar Asy-Syafi'i
5. Abu Ahmad Ibnu Adi
6. Mukhallad bin Ja'far Al-Baqrahi
7. Abu Mammad Ibnu Zaid Al-Qadhi
8. Ahmad bin Al-Qasim Al-Khasysyab
9. Abu Amr Muhammad bin Ahmad bin Hamdan
10. Abu Ja'far bin Ahmad bin Ali Al-Katib, dan selain mereka.
Karya-Karyanya
Ath-Thabari termasuk ulama pada masanya yang paling produktif dalam
menelurkan karya tulis. Di antara karya tulisnya yang paling populer
adalah tafsirnya yang bernama Tafsir ath-Thabari dan kitab Tarikh
al-Umam Wa al-Muluk. Diriwayatkan darinya, bahwa ia pernah berkata,
“Tiga tahun lamanya, aku memohon pilihan terbaik kepada Allah dan
meminta pertolonganNya atas penulisan karya tafsir yang aku niatkan,
sebelum aku mengerjakannya, lantas Dia memberikan pertolonganNya
kepadaku.”
Al-Hakim berkata, “Dan aku mendengar Abu Bakar bin Balwaih berkata,
‘Abu Bakar bin Khuzaimah berkata kepadaku, ‘Telah sampai ke telingaku
bahwa engkau telah menulis tafsir dari Muhammad bin Jarir.’ Aku berkata,
‘Benar, aku menulis darinya secara dikte.’ Ia berkata, ‘Seluruhnya.?’
Aku berkata, ‘Ya.’ Ia berkata, ‘Tahun berapa.?’ Aku menjawab, ‘Dari
tahun 283 H hingga 290 H.’ Ia berkata, ‘Lalu Abu Bakar meminjamnya
dariku, kemudian mengembalikannya setelah sekian tahun, kemudian ia
berkata, ‘Aku telah melihat isinya, dari awal hingga akhirnya. Aku tidak
mengetahui di muka bumi ini ada orang yang paling berilmu dari Muhammad
bin Jarir.’”
Sebagian ulama berkata, “Andaikata seorang laki-laki bepergian ke
China hingga mendapatkan tafsir Muhammad bin Jarir, maka pastilah tidak
akan banyak.”
Karyanya yang lain adalah:
1. Dzail Al-Mudzil
2. Ikhtilaf Ulama Al-Amshar Fil Ahkam Syarai Al-Islam, yang lebih dikenal dengan nama Ikhtilaf Al-Fuqaha.
3. Lathif Al-Qaul Fi Ahkam Syar'i Al-Islam, fiqih Ibnu Jarir
4. Basith Al-Qaul Fi Ahkam Al-Islam
5. Adab Al-Qudhah, dan selainya masih sangat banyak.
Metodenya Dalam Penulisan
Diriwayatkan dari Abu Sa’id ad-Dinuri, orang yang mendiktekan kepada
Ibn Jarir, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari memberitahukan
kepada kami tentang aqidahnya, di antaranya, “Cukuplah bagi seseorang
untuk mengetahui bahwa Rabbnya adalah Dzat yang meninggi di atas ‘Arsy;
siapa yang melebihi dari itu, maka ia telah berbuat sia-sia dan merugi.”
Ini adalah tafsir imam ini tentang ayat-ayat sifat yang penuh dengan
perkataan-perkataan ulama Salaf dalam menetapkannya, bukan menafikan
atau menakwilkannya. Bahwa sifat itu tidaklah menyerupai sifat-sifat
para makhluk sama sekali.
Beberapa Momentum Dalam Hidupnya
Diceritakan, pernah al-Muktafi (khalifah) ingin menahan wakaf yang
sudah disepakati oleh para ulama, lalu ia menghadirkan Ibnu Jarir untuk
itu, lalu ia mendiktekan sebuah kitab berkenaan dengan itu. Setelah itu,
ia diberi hadiah namun ditolaknya. Lantas ada yang mengatakan
kepadanya, “Harus diambil untuk memenuhi kebutuhanmu.” Lalu ia berkata,
“Mintalah kepada Amirul Mukminin agar melarang meminta-minta pada hari
Jum’at.” Lalu Amirul Mukminin pun melakukannya. Demikian pula, pernah
seorang menteri memintanya agar mengarang sebuah buku tentang fiqih,
lalu ia pun mengarang untuknya sebuah buku ringan, lalu ia diberi uang
sejumlah 1000 dinar namun ditolaknya.
Ath-Thabari tidak mau menerima jabatan karena takut mengalihkannya
dari menuntut ilmu. Di samping alasan lainnya, yaitu bahwa ketika itu
sudah menjadi kebiasaan ulama menjauhi kekuasaan.
Al-Maraghi meriwayatkan, “Tatkala al-Khaqani memangku jabatan
menteri, ia memerintahkan agar memberikan kepada Abu Ja’far ath-Thabari
uang yang banyak, namun ia tidak mau menerimanya. Lalu sang menteri
menawarkan jabatan Qadhi kepadanya tetapi ia menolaknya, lalu menawarkan
kepadanya jabatan ketua al-Mazhalim (semacam lembaga pengaduan atas
tindakan zhalim), akan tetapi ia tetap menolaknya. Karena penolakannya
itu, sahabat-sahahabatnya mencercanya seraya berkata, “Kamu dapat pahala
menjalani jabatan ini, dapat menghidupkan sunnah.” Mereka pun
mendesaknya agar menerima jabatan ‘prestisius’ itu. Mereka membawanya
bersama mereka untuk menghadap guna menerima jabatan itu, namun mereka
malah dihardiknya, seraya berkata, “Sungguh, aku sebelumnya mengira
andai menerima jabatan itu, kalian justeru akan melarangku.” Perawi
mengatakan, “Lalu kami pun berpaling darinya karena merasa malu.”
Wafatnya
Abu Muhammad al-Firghani berkata, “Abu Bakar ad-Dinuri menceritakan
kepadaku, ia berkata, ‘Tatkala waktu shalat Zhuhur tiba pada hari Senin
di mana Ibnu Jarir wafat di akhir waktunya, ia meminta air untuk
memperbarui wudhunya, ada yang mengatakan kepadanya, ‘Sebaiknya kamu
shalat jamak ta`khir saja (shalat Zhuhur dilakukan pada waktu Ashar
dengan menggabungkannya dengan shalat Ashar).’ Namun ia menolak dan
tetap shalat Zhuhur secara tersendiri dan Ashar juga pada waktunya
secara sempurna dan demikian indahnya. Saat kematian akan menjemputnya,
hadir sejumlah orang, di antara mereka ada Abu Bakar bin Kamil. Lantas
ada yang berkata kepadanya sebelum ruhnya keluar, ‘Wahai Abu Ja’far,
engkau adalah hujjah antara kami dan Allah Subhanahu WaTa'ala dalam
keberagamaan kami, tidakkah ada sesuatu yang engkau akan wasiatkan
kepada kami dari perkara agama ini, dan sebagai bukti yang karenanya
kelak kami berharap dapat selamat saat kami kembali kepadaNya.?’ Ia
berkata, ‘Hal yang aku jadikan agamaku kepada Allah dan aku wasiatkan
adalah apa yang sudah valid (dalil yang shahih) di dalam buku-buku
karyaku; amalkanlah ia…’ Dan perkataan-perkataan seperti itu. Ia lalu
memperbanyak bersyahadat, berzikir kepada Allah Subhanahu WaTa'ala,
mengusap tangannya ke wajahnya, menutup matanya dengan tangannya sendiri
dan membentangkannya, lalu ruhnya pun meninggalkan dunia yang fana
ini.”
Ahmad bin Kamil berkata, “Ibnu Jarir wafat, malam Ahad, dua hari
sebelum habis bulan Syawwal tahun 110 H, dan dikuburkan di kediamannya
di ‘Rahbah Ya`qub’ (alias Baghdad).” Ia berkata, “Beliau tidak merubah
ubannya di mana bulu-bulu hitam masih banyak. Matanya kecoklatan lebih
cenderung kehitaman, tubuhnya kurus panjang dan lebar. Para pelayat dan
pengantar jenazahnya tidak terhitung jumlahnya, hanya Allah Yang Maha
Tahu.” (Abu Hafshoh)
(Sumber: Diringkas dari kitab “Min A’lamis Salaf”
karya, Syaikh Ahmad Farid, edisi indonesia : “60 Bigrafi Ulama Salaf dan
dari artikel berjudul, ”al-Imam ath-Thabari, Imam al-Mu`arrikhin Wa
al-Mufassirin)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home