Our Life

Wednesday, October 26, 2016

#15 Learn Surat Al-Humazah with Correct Tajweed




Tafsir Surat Al-Humazah, ayat 1-9

وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ (1) الَّذِي جَمَعَ مَالًا وَعَدَّدَهُ (2) يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ (3) كَلَّا لَيُنْبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ (4) وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْحُطَمَةُ (5) نَارُ اللَّهِ الْمُوقَدَةُ (6) الَّتِي تَطَّلِعُ عَلَى الْأَفْئِدَةِ (7) إِنَّهَا عَلَيْهِمْ مُؤْصَدَةٌ (8) فِي عَمَدٍ مُمَدَّدَةٍ (9)
Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya dan mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya, sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Hutamah. Dan tahukan kamu apakah Hutamah itu? (Yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan, yang (membakar) sampai ke hati. Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka, (sedangkan mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang.
Al-hammaz dan al-lammaz, bedanya: Kalau yang pertama melalui ucapan, sedangkan yang kedua melalui perbuatan. Makna yang dimaksud ialah tukang mencela orang lain dan menjatuhkan mereka. Penjelasan mengenai maknanya telah disebutkan di dalam tafsir firman-Nya:
هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ
yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur hasutan. (Al-Qalam:11)
Ibnu Abbas mengatakan bahwa humazah lumazah artinya tukang menjatuhkan orang lain lagi pencela. Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan bahwa al-humazah mengejek di hadapan, sedangkan lumazah mengejek dari belakang.
Qatadah mengatakan bahwa humazah lumazah mencela orang lain dengan lisan dan matanya, dan suka mengumpat serta menjatuhkan orang lain. Mujahid mengatakan bahwa humazah dengan tangan dan mata, sedangkan lumazah dengan lisan. Hal yang sama telah dikatakan oleh Ibnu Zaid.
Malik telah meriwayatkan dari Zaid ibnu Aslam, bahwa makna yang dimaksud ialah memakan daging orang lain, yakni mengumpat. Kemudian sebagian dari ulama mengatakan bawah orang yang dimaksud ialah Al-Akhnas ibnu Syuraiq, dan pendapat yang lain mengatakan selain dia. Mujahid mengatakan bahwa makna ayat ini umum.
Firman Allah Swt.:
{الَّذِي جَمَعَ مَالا وَعَدَّدَهُ}
yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. (Al-Humazah: 2)
Yakni menghimpun sebagiannya dengan sebagian yang lain dan menghitung-hitung jumlahnya, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
وَجَمَعَ فَأَوْعى
Serta mengumpulkan (harta benda), lalu menyimpannya. (Al-Ma'arrij: 18)
Demikianlah menurut As-Saddi-dan Ibnu Jarir.
Muhammad ibnu Ka'b telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:menghimpun harta dan menghitung-hitungnya. (Al-Humazah: 2) Yaitu di siang hari terlena dengan harta bendanya dan merasa asyik dengannya; dan apabila malam hari tiba, maka ia tidur bagaikan bangkai yang telah membusuk.
Firman Allah Swt.:
{يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ}
dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. (Al-Humazah: 3)
Manusia itu mengira bahwa dengan mengumpulkan harta, maka hidupnya di dunia ini akan kekal, maka disanggah oleh firman selanjutnya:
{كَلا}
Sekali-kali tidak! (Al-Humazah: 4)
Yakni perkara yang sebenarnya tidaklah seperti yang mereka kira dan mereka dugakan. Kemudian disebutkan oleh firman selanjutnya keadaan yang sebenarnya, yaitu:
{لَيُنْبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ}
Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Hutamah. (Al-Humazah: 4)
Sesungguhnya orang yang menghimpun harta dan yang menghitung-hitungnya itu akan dicampakkan ke dalam Hutamah. Dan Hutamah adalah nama lain dari neraka, dinamakan demikian karena ia meremukredamkan orang yang dimasukkan ke dalamnya. Untuk itulah maka disebutkan dalam firman berikutnya:
{وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْحُطَمَةُ نَارُ اللَّهِ الْمُوقَدَةُ الَّتِي تَطَّلِعُ عَلَى الأفْئِدَةِ}
Dan tahukah kamu apa Hutamah itu? (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan, yang (membakar) sampai ke hati. (Al-Humazah: 5-7)
Sabit Al-Bannani mengatakan bahwa api neraka Hutamah membakar mereka sampai ke hatinya, sedangkan mereka dalam keadaan tetap hidup. Dan bilamana azab mencapai puncaknya, maka mereka hanya dapat menjerit dan menangis merasakan sakitnya yang tiada terperikan. Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi mengatakan bahwa api neraka Hutamah membakar semua anggota tubuh penghuninya; dan apabila api itu sampai ke hatinya dan mencapai batas tenggorokannya, maka kembalilah api itu ke tubuhnya.
Firman Allah Swt.:
{إِنَّهَا عَلَيْهِمْ مُؤْصَدَةٌ}
Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka. (Al-Humazah: 8)
Yakni bila mereka semua telah berada di dalamnya, maka pintunya ditutup rapat, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam tafsir surat Al-Balad.
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Siraj, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Harzad, telah menceritakan kepada kami Syuja' ibnu Asyras, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Asim, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw. sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka. (Al-Humazah: 8) Artinya, ditutup rapat.
Hadis ini telah diriwayatkan oleh Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Abdullah ibnu Asad, dari Ismail ibnu Khalid, dari Abu Saleh dan dianggap sebagai perkataan Abu Hurairah tidak sampai kepada Nabi Saw.
Firman Allah Swt.:
{فِي عَمَدٍ مُمَدَّدَةٍ}
(sedangkan mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang. (Al-Humazah: 9)
Atiyyah Al-Aufi mengatakan bahwa tiang-tiang itu dari besi.
As-Saddi mengatakan dari api.
Syabib ibnu Bisyr telah meriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: (sedangkan mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang. (Al-Humazah: 9) Yakni pintu-pintu yang diberi palang.
Qatadah mengatakan di dalam qiraat Abdullah ibnu Mas'ud, bahwa sesungguhnya mereka di dalamnya dikunci semua pintunya dengan palang-palang yang panjang.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa mereka dimasukkan ke dalam pasungan, sedangkan di leher mereka ada belenggunya, lalu ditutup rapatlah semua pintunya. Qatadah mengatakan bahwa kami berbincang-bincang bahwa mereka diazab di dalam neraka. Dan pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.
Abu Saleh telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: (sedangkan mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang. (Al-Humazah: 9) Yaitu belenggu-belenggu yang berat.
Demikianlah akhir tafsir surat Al-Humazah, segala puji bagi Allah atas limpahan karunia-Nya.

Para Pengumpul Harta dan Neraka Huthomah

Di bulan Ramadhan ini, sangat baik sekali jika kita kembali merenungkan ayat-ayat yang biasa kita baca atau kita hafal. Kita memulai dari beberapa surat dalam Juz ‘Amma, saat ini akan diulas tafsiran dari surat Al Humazah. Di mana diterangkan mengenai akibat bagi para pencela lagi pengumpat, juga akibat dari orang yang hanya gemar mengumpulkan harta tanpa memperhatikan kewajibannya dan juga akan diterangkan kengerian neraka Huthomah.

Allah Ta’ala berfirman,

وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ (1) الَّذِي جَمَعَ مَالًا وَعَدَّدَهُ (2) يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ (3) كَلَّا لَيُنْبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ (4) وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْحُطَمَةُ (5) نَارُ اللَّهِ الْمُوقَدَةُ (6) الَّتِي تَطَّلِعُ عَلَى الْأَفْئِدَةِ (7) إِنَّهَا عَلَيْهِمْ مُؤْصَدَةٌ (8) فِي عَمَدٍ مُمَدَّدَةٍ (9)

1. Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela,

2. yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung,

3. dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya,

4. sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthomah.

5. Dan tahukah kamu apa Huthomah itu?

6. (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan,

7. yang (membakar) sampai ke hati.

8. Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka,

9. (sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang. (QS. Al Humazah: 1-9)

Pengumpat Lagi Pencela

Mengenai kata “هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ”, para ulama berselisih pendapat apakah kedua kata tersebut bermakna sama ataukah berbeda.

Jika bermakna beda, ada 7 pendapat mengenai makna kedua kata tersebut:

1. Humazah bermakna menggibahi (menjelek-jelekkan di belakang), sedangkan lumazah bermakna menjelek-jelekkan. Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas.

2. Humazah bermakna mencela manusia di hadapannya, sedangkanlumazah berarti menjelekkan manusia di belakangnya. Inilah pendapat Al Hasan Al Bashri, ‘Atho’ dan Abul ‘Aliyah.

3. Humazah bermakna mencela manusia. Adapun lumazah bermakna mencela nasab manusia. Demikian pendapat Mujahid.

4. Humazah berarti mengejek dengan mata dan lumazah berarti mengejek dengan lisan. Inilah pendapat Qotadah.

5. Humazah berarti mencela dengan tangan ditambah memukul danlumazah berarti mencela dengan lisan sebagaimana pendapat Ibnu Zaid.

6. Humazah berarti mencela dengan lisan, sedangkan lumazah berarti mencela dengan mata. Demikian pendapat Sufyan Ats Tsauri.

7. Humazah berarti mencela manusia di belakangnya, sedangkan lumazahberarti mencela manusia di hadapannya. Inilah pendapat Maqotil.

Sedangkan jika humazah bermakna sama dengan lumazah, maka maknanya adalah menjelek-jelekan di belakang dan membenci orang lain. (Dinukil dari Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi). Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di memilih tafsiran, humazah dimaksudkan untuk orang yang menjelek-jelekkan dengan isyarat dan perbuatannya. Sedangkan lumazahdimaksudkan untuk orang yang menjelek-jelekkan dengan perkataannya.

Berarti ayat “celakalah humazah dan lumazah” menunjukkan ancaman keras pada orang yang suka mencela dan menjelek-jelekkan orang lain. Karena “وَيْلٌ” itu sendiri bermakna celaka atau ancaman keras.

Pengumpul Harta

Mengenai ayat,

الَّذِي جَمَعَ مَالًا وَعَدَّدَهُ

yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung”, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menerangkan bahwa di antara sifat humazah danlumazah adalah hanya mengumpulkan harta saja, menghitung-hitungnya dan begitu tamak padanya. Namun mereka tidak punya semangat untuk menginfakkannya di jalan kebaikan atau jalan menjalin hubungan kekerabatan atau yang lainnya.

Harta Dapat Mengekalkan di Dunia?

Karena kebodohannya, mereka menyangka bahwa harta bisa mengekalkan mereka di dunia. Oleh karena itu, usaha dan kerja kerasnya hanyalah ingin terus menambah subur harta yang mereka sangka bahwa harta tadi bisa menambah umur mereka. Padahal sifat pelit (kikir) malah mengurangi umur dan menghancurkan kehidupannya di dunia. Yang sungguh menambah umur hanyalah dengan amalan kebajikan. Demikian keterangan Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengenai ayat,

يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ

Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya.

Tidak Seperti yang Mereka Angankan

Mereka menyangka bahwa harta bisa mengekalkan di dunia, padahal tidak seperti yang mereka angankan. Allah Ta’ala berfirman,

كَلَّا لَيُنْبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ

Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthomah.” Maksud ayat ini adalah “tidak seperti yang mereka sangkakan karena sungguh mereka (yang hanya sibuk dengan mengumpulkan dan menghitung-hitung harta) akan dilemparkan di huthomah. Dan huthomahadalah salah satu dari nama neraka yang sifatnya memecahkan segala yang nanti masuk di dalamnya.” Na’udzu billah … Demikian keterangan dari Ibnu Katsir. Sedangkan Ibnul Jauzi dalam Zaadul Masiir menerangkan bahwa huthomah disebut demikian karena segala sesuatu akan hancur atau pecah ketika di lempar di dalamnya. Gambarannya, tulang bisa patah setelah daging luarnya dilahap.

Adapun ayat tersebut diulang dengan,

وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْحُطَمَةُ

Dan tahukah kamu apa Huthomah itu?”, maksudnya adalah untuk menunjukkan besarnya dan ngerinya neraka tersebut. Demikian keterangan dari Syaikh As Sa’di dalam kitab tafsirnya.

Sifat-Sifat Huthomah

Setelahnya disebutkan beberapa sifat huthomah.

نَارُ اللَّهِ الْمُوقَدَةُ (6) الَّتِي تَطَّلِعُ عَلَى الْأَفْئِدَةِ (7) إِنَّهَا عَلَيْهِمْ مُؤْصَدَةٌ (8) فِي عَمَدٍ مُمَدَّدَةٍ (9)

(yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan, yang (membakar) sampai ke hati.  Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka, (sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang” (QS. Al Humazah: 1-9)

Huthomah adalah api yang dinyalakan, di mana api tersebut berbahan bakar manusia dan batu. Sebagaimana Allah Ta’ala sebutkan dalam ayat lainnya,

وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

Api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS. At Tahrim: 6).

Nyala api itu tersebut kemudian membakar sampai di hati. Ini menunjukkan kerasnya siksa karena yang dibakar adalah jasad dan akan menjalar sampai ke qolbu (jantung).

Kengerian panasnya huthomah tersebut ditambah dengan tertutupnya neraka tadi dan orang yang telah masuk di dalamnya tidak bisa keluar.

Mengenai ayat “فِي عَمَدٍ مُمَدَّدَةٍ”, sebagaimana dikatakan oleh ‘Athiyah Al ‘Aufiy bahwa maksudnya ada tiang dari besi. Sedangkan As Sudi berpendapat bahwa ada tiang dari api. Dan tiang tersebut dibentangkan. Artinya di sini, huthomah adalah neraka yang tertutup dan terdapat tiang di belakang pintu yang dibentangkan dan jika seseorang itu berusaha keluar, maka ia akan kembali lagi ke dalamnya. Sebagaimana Allah Ta’alaberfirman,

كُلَّمَا أَرَادُوا أَنْ يَخْرُجُوا مِنْهَا أُعِيدُوا فِيهَا

Setiap kali mereka hendak keluar daripadanya, mereka dikembalikan ke dalamnya” (QS. As Sajdah: 20). Inilah keterangan dari Ibnu Katsir dan As Sa’di dalam kitab tafsirnya.

نعوذ بالله من ذلك، ونسأله العفو والعافية

Na’udzu billah min dzalik, kita berlindung kepada Allah dari kengerian neraka. Kita meminta pada Allah pemaafan dan keselamatan.

Wallahu waliyyut taufiq.

 

@ APO Bengkel, Jayapura, Papua, 2 Ramadhan 1433 H

www.rumaysho.com

JUM’AT : SIFAT KHUTBAH JUM’AT

Pembukaan Khutbah Jumat Sesuai Sunnah Tata Cara Khutbah Tata Cara Khutbah Jumat Sesuai Sunnah Hadits Tentang Khutbah Jumat Tata Cara Khutbah Jumat

SIFAT KHUTBAH JUM’AT

Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim Al Atsari

Sesungguhnya khutbah Jum’at merupakan kesempatan yang sangat besar untuk berdakwah dan membimbing manusia menuju keridhaan Allah. Hal itu, jika khutbah dimanfaatkan sebaik-baiknya, dengan menyampaikan materi yang dibutuhkan oleh hadirin menyangkut masalah agama mereka, dengan ringkas, tidak panjang lebar, dan dengan cara yang menarik serta tidak membosankan, sebagaimana dicontohkan telah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

KEDUDUKAN KHUTBAH JUM’AT
Diantara bukti yang menunjukkan pentingnya khutbah Jum’at adalah sebagai berikut.

Pertama : Perintah Allah untuk segera mendatangi shalat Jum’at dan khutbahnya, dan larangan berjual-beli serta mu’amalah lainnya pada saat itu.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرُُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Hai, orang-orang yang beriman. Apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Alloh dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” [Al-Haaqqah/62 : 9]

Kedua : Perintah untuk mendengarkan khutbah, dan gugurnya pahala shalat Jum’at bagi orang yang berbicara saat khutbah berlangsung. Disebutkan dalam hadits Abu Hurairah, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ أَنْصِتْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ

“Jika engkau berkata kepada kawanmu “diamlah!”, pada hari Jum’at dan imam sedang berkhutbah, maka engkau telah mengatakan perkataan sia-sia” [HR Bukhari, no. 934; Muslim, no. 851]

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,”Hadits ini dijadikan dalil larangan terhadap seluruh macam perkataan pada saat khutbah, dan demikian itu pendapat mayoritas ulama’ terhadap orang yang mendengar khutbah.” [Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari]

Ketiga : Makmum dilarang melakukan segala perkara yang melalaikan dari mendengar khutbah. Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا

“Barangsiapa berwudhu, lalu dia melakukan wudhu itu sebaik-baiknya, lalu dia mendatangi (khutbah) Jum’at, lalu mendengarkan dan diam, maka diampuni (dosanya) yang ada antara Jum’at itu dengan Jum’at lainnya, ditambah tiga hari. Dan barangsiapa menyentuh kerikil (yakni mempermainkannya, Pen.), maka dia telah berbuat sia-sia” [HR Muslim, no. 857; Abu Dawud, no. 105; Tirmidzi, no. 498; Ibnu Majah, no. 1090]

Imam An Nawawi berkata,”Pada hadits di atas terdapat larangan menyentuh kerikil dan permainan lainnya pada saat khutbah. Di dalamnya terdapat isyarat, agar hati dan anggota badan (hadirin) tertuju kepada khutbah. Dan yang dimaksudkan dengan “berbuat sia-sia” di sini, yaitu perbuatan batil, tercela, dan tertolak.” [Syarh Muslim, karya An Nawawi]

Keempat : Malaikat mendengarkan khutbah Jum’at. Disebutkan dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا كَانَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ كَانَ عَلَى كُلِّ بَابٍ مِنْ أَبْوَابِ الْمَسْجِدِ مَلَائِكَةٌ يَكْتُبُونَ الْأَوَّلَ فَالْأَوَّلَ فَإِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ طَوَوُا الصُّحُفَ وَجَاءُوا يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ

“Jika hari Jum’at, pada setiap pintu dari pintu-pintu masjid terdapat malaikat-malaikat yang menulis orang pertama (yang hadir), kemudian yang pertama (setelah itu). Jika imam telah duduk (di mimbar untuk berkhutbah), mereka melipat lembaran-lembaran (catatan keutamaan amal) dan datang mendengarkan dzikir (khutbah)”. [HR Muslim, no: 24, 850]

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Yang dimaksudkan dengan melipat lembaran-lembaran, adalah melipat (menutup) lembar catatan keutamaan-keutamaan yang berkait dengan bersegera menuju masjid, bukan lainnya, seperti: (lembaran yang mencatat pahala) mendengarkan khutbah, mendapati shalat, dzikir, do’a, khusyu’, dan semacamnya; karena sesungguhnya hal itu pasti ditulis oleh dua malaikat penjaga”. [Fathul Bari, 2/448, Darul Hadits, Kairo, penjelasan hadits no. 881]

Dari keterangan-keterangan di atas jelaslah, bahwa khutbah Jum’at memiliki kedudukan yang agung dalam syari’at Islam, sehingga sepantasnya seorang khatib melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Seorang khathib harus memahami aqidah yang shahihah (benar), sehingga dia tidak sesat dan menyesatkan orang lain. (Seorang khatib seharusnya) memahami fiqih, sehingga mampu membimbing manusia dengan cahaya syari’at menuju jalan yang lurus. (Seorang khatib harus) memperhatikan keadaan masyarakat, kemudian mengingatkan mereka dari penyimpangan-penyimpangan dan mendorong kepada ketaatan.

Seorang khathib sepantasnya juga seorang yang shalih, mengamalkan ilmunya, tidak melanggar larangan, sehingga akan memberikan pengaruh kebaikan kepada para pendengar. Wallahu a’lam.

TATA-CARA KHUTBAH JUM’AT
Kita meyakini, bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suri teladan terbaik dalam beragama dan beribadah kepada Allah. Oleh karenanya, hendaknya kita mencontoh Beliau dalam berkhutbah. Dan pasti, cara khutbah Nabi adalah yang paling baik dan utama. Berikut adalah petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara ringkas dalam menyampaikan khutbah Jum’at:

Pertama : Khathib naik mimbar, lalu mengucapkan salam kepada hadirin.
Kedua : Kemudian duduk, menanti adzan selesai, sambil menirukan adzan.
Ketiga : Kemudian berdiri untuk berkhutbah dan membukanya dengan:

• Hamdalah (bacaan alhamdulillah).
• Sanjungan kepada Allah,
• Syahadatain,
• Bacaan shalawat Nabi,
• Bacaan ayat-ayat taqwa,
• Dan perkataan amma ba’d.

Semua ini dapat dilihat pada contoh khutbah yang akan kami sampaikan insya Allah.

Keempat : Khathib berkhutbah dengan berdiri, menghadapkan wajah kepada jama’ah.
Kelima : Duduk diantara dua khutbah, dengan tidak berbicara pada saat duduknya.
Keenam : Khutbah hendaklah sebentar, shalat lebih panjang, namun keduanya itu sedang.
Ketujuh : Khathib hendaklah menjiwai khutbahnya.
Kedelapan: Berkhutbah dengan perkataan yang jelas dan tidak berbicara cepat.
Kesembilan : Jika ada keperluan, boleh menghentikan khutbahnya sementara. Seperti mengingatkan shalat tahiyatul masjid bagi orang yang baru datang, menegur hadirin yang ramai, dan semacamnya.
Kesepuluh : Jika berdo’a, mengisyaratkan dengan jari telunjuk.
Kesebelas : Setelah selesai berkhutbah, mengimami shalat.

Adapun Dalil-Dalil Hal Di Atas Adalah Sebagai Berikut:
Pertama : Khathib naik mimbar, lalu mengucapkan salam kepada hadirin, sebagaimana disebutkan dalam hadits Jabir bin Abdullah,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا صَعِدَ الْمِنْبَرَ سَلَّمَ

“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika telah naik mimbar biasa mengucapkan salam”. [HR Ibnu Majah, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah].

Bagaimana bentuk mimbar Rasulullah? Hal ini disebutkan dalam banyak hadits shahih, antara lain:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ وَكَانَ مِنْبَرُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَصِيرًا إِنَّمَا هُوَ ثَلَاثُ دَرَجَاتٍ

“Dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Dan mimbar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pendek. Mimbar Beliau hanyalah tiga tingkat”. [HR Ahmad, 1/268-269. Dihasankan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al Washabi dalam kitab Al Jauhar Fi ‘Adadi Darajatil Mimbar, hlm. 61-64]

Dalam hadits lain disebutkan, bahwa mimbar Nabi itu dua tingkat, kemudian yang ke tiga tempat duduknya. [HR Ibnu Khuzaimah, no. 1777, dan lainnya. Lihat kitab Al Jauhar Fi ‘Adadi Darajatil Mimbar, hlm. 55-56].

Sesungguhnya tidak ada perselisihan antara kedua hadits itu, karena mimbar tersebut ada tiga tingkat, tingkat ke dua untuk berdiri, dan tingkat ke tiga untuk duduk, wallahu a’lam.

عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلَى الزَّوْرَاءِ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ الزَّوْرَاءُ مَوْضِعٌ بِالسُّوقِ بِالْمَدِينَةِ

“Dari Saib bin Yazid, dia berkata: “Dahulu adzan yang pertama pada hari Jum’at ketika imam telah duduk di atas mimbar. Itu pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Ketika Utsman Radhiyallahu ‘anhu (menjadi Khalifah), dan orang-orang telah banyak, ia menambah adzan yang ketiga di Zaura”. Abu Abdullah (yaitu Imam Bukhari) berkata,”Zaura adalah satu tempat di pasar di kota Madinah.” [HR Bukhari, no. 912]

Adapun khathib menirukan adzan, disebutkan dalam hadits di bawah ini:

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ قَالَ سَمِعْتُ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَهُوَ جَالِسٌ عَلَى الْمِنْبَرِ أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ قَالَ مُعَاوِيَةُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَقَالَ مُعَاوِيَةُ وَأَنَا فَقَالَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَقَالَ مُعَاوِيَةُ وَأَنَا فَلَمَّا أَنْ قَضَى التَّأْذِينَ قَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى هَذَا الْمَجْلِسِ حِينَ أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ يَقُولُ مَا سَمِعْتُمْ مِنِّي مِنْ مَقَالَتِي

“Dari Abu Umamah Sahl bin Hunaif, dia berkata: Aku mendengar Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang sedang duduk di atas mimbar, ketika muadzin berkata “Allahu Akbar, Allahu Akbar”, Mu’awiyah berkata “Allahu Akbar, Allahu Akbar”. Muadzin berkata “Asyhadu alla ilaha illallah”, Mu’awiyah berkata: “Dan saya”. Muadzin berkata “Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah”, Mu’awiyah berkata: “Dan saya”. Setelah muadzin menyelesaikan adzannya, Mu’awiyah berkata: “Wahai, manusia. Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah n di atas tempat duduk ini -ketika muadzin beradzan-, Beliau mengatakan apa yang kamu dengar dariku, yaitu perkataanku”. [HR Bukhari, no. 914].

Kedua : Kemudian berdiri untuk berkhutbah dan membukanya dengan: hamdalah, sanjungan kepada Allah, syahadatain, shalawat, bacaan ayat-ayat taqwa, dan perkataan amma ba’d. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh banyak hadits, diantaranya hadits Abdullah. Dia mengatakan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kami khutbah hajat (yaitu):

الْحَمْدُ لِلَّهِ (نَحْمَدُهُ وَ) نَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا (وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا) مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ (وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ) وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ ( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا ) (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ ) ( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا ) (أَمَّا بَعْدُ)

“Dari Abdullah, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajari kami khutbah untuk keperluan: “Alhamdulillah…,” artinya Segala puji bagi Allah (kami memujiNya), mohon pertolongan kepadaNya, dan memohon ampunan kepadaNya. Serta kami memohon perlindungan kepadaNya dari kejahatan jiwa kami dan dari keburukan amalan kami.

Barangsiapa yang diberikan petunjuk oleh Allah, tidak ada seorangpun yang menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan, maka tidak ada yang memberinya petunjuk.

Saya bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi, kecuali Allah (semata, tidak ada sekutu bagiNya), dan saya bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan utusanNya.

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepadaNya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. [Ali Imran:102]

Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. [An Nisa’:1]

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa menta’ati Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar. [Al Ahzab: 70, 71]. (Amma ba’du).[HR Ahmad dan lainnya. Syaikh Al-Albani mengumpulkan sanad-sanad hadits ini di dalam sebuah kitab kecil dengan judul Khutbah Hajah]

Setelah memaparkan sanad-sanad hadits khutbah hajah, Syaikh Al Albani berkata dalam penutup kitab kecil beliau “Khutbah Hajah”: “Dari hadits-hadits yang telah lalu, menjadi jelas bagi kita bahwa khutbah ini (yaitu, perkataan innal hamda lillah…) digunakan untuk membuka seluruh khutbah-khutbah, baik khutbah nikah, khutbah Jum’at, atau lainnya”.[Khutbah Hajah, hlm. 31, karya Syaikh Al-Albani]

Walaupun membuka khutbah Jum’at dengan khutbah hajah sebagaimana di atas hukumnya bukan wajib, namun pastilah merupakan keutamaan, karena diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan dari khutbah hajah itu kita mengetahui bahwa khutbah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibuka dengan: hamdalah, pujian kepada Allah, syahadatain, bacaan ayat-ayat taqwa, dan perkataan amma ba’d.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Tidaklah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah, kecuali Beliau membuka dengan hamdalah, membaca syahadat dengan dua kalimat syahadat, dan menyebut dirinya sendiri dengan nama diri beliau”. [Zadul Ma’ad, 1/189]

Tentang membaca syahadat di dalam khutbah, ditegaskan juga dalam hadits lain, sebagaimana hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ خُطْبَةٍ لَيْسَ فِيهَا تَشَهُّدٌ فَهِيَ كَالْيَدِ الْجَذْمَاءِ

“Tiap-tiap khutbah yang tidak ada tasyahhud (syahadat) padanya, maka khutbah itu seperti tangan yang terpotong” [HR Abu Dawud, kitab Al-Adab, Bab : Di dalam Khutbah. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Dawud]

Membaca shalawat di dalam khutbah merupakan sunnah dan keutamaan, sebagaimana dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu dalam khutbahnya. Disebutkan dalam riwayat di bawah ini:

عَنْ عَوْنِ بْنِ أَبِي جُحَيْفَةَ قَالَ كَانَ أَبِي مِنْ شُرَطِ عَلِيٍّ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ وَكَانَ تَحْتَ الْمِنْبَرِ فَحَدَّثَنِي أَبِي أَنَّهُ صَعِدَ الْمِنْبَرَ يَعْنِي عَلِيًّا رَضِي اللَّهُ عَنْهُ فَحَمِدَ اللَّهَ تَعَالَى وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَصَلَّى عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ خَيْرُ هَذِهِ الْأُمَّةِ بَعْدَ نَبِيِّهَا أَبُو بَكْرٍ وَالثَّانِي عُمَرُ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ وَقَالَ يَجْعَلُ اللَّهُ تَعَالَى الْخَيْرَ حَيْثُ أَحَبَّ

Dari ‘Aun bin Abi Juhaifah, dia berkata: Dahulu bapakku termasuk pengawal Ali Radhiyallahu ‘anhu, dan berada di bawah mimbar. Bapakku bercerita kepadaku bahwa Ali Radhiyallahu ‘anhu naik mimbar, lalu memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menyanjungNya, dan bershalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan berkata: “Sebaik-baik umat ini setelah Nabinya adalah Abu Bakar, yang kedua adalah Umar Radhiyallahu a’nhuma“. Ali Radhiyallahu juga berkata: “Alloh menjadikan kebaikan di mana Dia cintai” [Riwayat Ahmad di dalam Musnad-nya, 1/107, dan dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir]

Ketiga : Khathib berkhutbah dengan berdiri dan menghadapkan wajah kepada jama’ah, dan jama’ah menghadap wajah kepada khathib. Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ قَائِمًا ثُمَّ يَجْلِسُ ثُمَّ يَقُومُ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berkhutbah dengan berdiri pada hari Jum’at, kemudian Beliau duduk, kemudian Beliau berdiri” [HR Muslim, no. 861]

Imam Bukhari berkata: “Bab: Imam menghadap kepada kaum (jama’ah), dan orang-orang menghadap kapada imam ketika dia berkhutbah. Ibnu Umar dan Anas menghadap kepada imam”.

Ibnul Mundzir mengatakan: “Aku tidak mengetahui perselisihan diantara ulama tentang hal itu”. [Fathul Bari, 2/489. Penerbit: Darul Hadits, Kairo].

Ibnu Hajar mengatakan: “Diantara hikmah makmum menghadap kepada imam, yaitu bersiap-siap untuk mendengarkan perkataannya, dan melaksanakan adab terhadap imam dalam mendengarkan perkataannya. Jika makmum menghadapkan wajah kepada imam, dan menghadapkan kepada imam dengan tubuhnya, hatinya, dan konsentrasinya, hal itu lebih mendorong untuk memahami nasihatnya dan mencocoki imam terhadap apa yang telah disyari’atkan baginya untuk dilaksanakan”. [Fathul Bari, 2/489. Penerbit: Darul Hadits, Kairo].

Keempat : Duduk diantara dua khutbah, tidak berbicara ketika duduknya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Jabir, dia berkata,

رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ قَائِمًا ثُمَّ يَقْعُدُ قَعْدَةً لَا يَتَكَلَّمُ

“Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah berdiri, lalu duduk sebentar, Beliau tidak berbicara”. [HR Abu Dawud, dihasankan oleh Al Albani].

Kelima : Khutbah hendaklah sebentar, shalat lebih panjang, namun keduanya itu sedang.

قَالَ أَبُو وَائِلٍ خَطَبَنَا عَمَّارٌ فَأَوْجَزَ وَأَبْلَغَ فَلَمَّا نَزَلَ قُلْنَا يَا أَبَا الْيَقْظَانِ لَقَدْ أَبْلَغْتَ وَأَوْجَزْتَ فَلَوْ كُنْتَ تَنَفَّسْتَ فَقَالَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ طُولَ صَلَاةِ الرَّجُلِ وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ فَأَطِيلُوا الصَّلَاةَ وَاقْصُرُوا الْخُطْبَةَ وَإِنَّ مِنَ الْبَيَانِ سِحْرًا

“Abu Wa’il berkata: ’Ammar berkhutbah kepada kami dengan ringkas dan jelas. Ketika dia turun, kami berkata,”Hai, Abul Yaqzhan (panggilan Ammar). Engkau telah berkhutbah dengan ringkas dan jelas, seandainya engkau panjangkan sedikit!” Dia menjawab,”Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,’Sesungguhnya panjang shalat seseorang, dan pendek khutbahnya merupakan tanda kefahamannya. Maka panjangkanlah shalat dan pendekanlah khutbah! Dan sesungguhnya diantaranya penjelasan merupakan sihir’.” [HR Muslim, no. 869].

Dalam hadits lain disebutkan, dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

كُنْتُ أُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَتْ صَلَاتُهُ قَصْدًا وَخُطْبَتُهُ قَصْدًا

“Aku biasa shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka shalat Beliau sedang, dan khutbah Beliau sedang”. [HR Muslim, no. 866].

Adapun ukuran panjang shalat Jum’at dapat dilihat dari kebiasaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau biasa membaca surat Al A’la dan Al Ghasyiyah, atau Al Jumu’ah dan Al Munafiqun. Sehingga khutbah Jum’at hendaklah tidak lebih lama dari itu. Dari An Nu’man, dia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْعِيدَيْنِ وَفِي الْجُمُعَةِ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca di dalam shalat dua hari raya dan shalat Jum’at dengan: Sabbihisma Rabbikal a’la dan Hal ataaka haditsul ghasyiyah”. [HR Muslim, no. 878].

قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ بِهِمَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ

“Abu Hurairah berkata,”Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca keduanya (surat Al A’la dan Al Ghasyiyah) pada hari Jum’at”. [HR Muslim, no. 862].

Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad Al ‘Ablaani berkata,”Memanjangkan khutbah merupakan cacat yang seharusnya ditinggalkan oleh para khathib. Mereka lebih mengerti daripada yang lain, bahwa pengunjung masjid pada shalat Jum’at ada pemuda, ada orang tua pikun yang tidak mampu menahan wudhu’ dan kesucian sampai waktu yang lama, ada orang yang memiliki kebutuhan lain, ada orang yang lemah, orang sakit, dan ada orang-orang yang memiliki halangan. Sehingga memanjangkan khutbah akan sangat menyusahkan mereka. Selain itu, memanjangkan khutbah akan membangkitkan kebosanan, bahkan kejengkelan terhadap khathib dan khutbahnya. Sebagaimana dikatakan (dalam pepatah): Sebaik-baik perkataan adalah yang ringkas dan jelas, dan tidak panjang lebar yang membosankan.” [Imamatul Masjid, hlm. 95-96].

Ketika membicarakan tentang sunnah memendekkan khutbah Jum’at, Syaikh Ahmad bin Muhammad Alu Abdul Lathif Al Kuwaiti berkata: “Wahai, khathib yang membuat orang menjauhi dzikrullah (khutbah), karena engkau memanjangkan perkataan! Tahukah engkau, bahwa diantara sunnah khutbah Jum’at adalah meringkaskannya dan tidak memanjangkannya. Dan sesungguhnya memanjangkan khutbah Jum’at menyebabkan para hadirin lari (tidak suka), menyibukkan fikiran, dan tidak puas dengan tuntunan Nabi Pilihan (Muhammad) n serta para pendahulu umat ini yang baik-baik”. [Al ‘Ujalah Fi Sunniyyati Taqshiril Khutbah, hlm. 6].

Kalau kita memperkirakan lama khutbah Jum’ah yang baik, mungkin sekitar 15 menit. Wallahu a’lam.

Keenam : Khathib hendaklah menjiwai khutbahnya.

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلَا صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ يَقُولُ صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ

“Dari Jabir bin Abdullah, dia berkata,”Kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika berkhutbah, kedua matanya memerah, suaranya tinggi, dan kemarahannya sungguh-sungguh. Seolah-olah Beliau memperingatkan tentara dengan mengatakan:’ Musuh akan menyerang kamu pada waktu pagi’, ‘Musuh akan menyerang kamu pada waktu sore’.” [HR Muslim, no. 867].

Imam Nawawi berkata,”Hadits ini dijadikan dalil, bahwa khathib disukai yang membesarkan perkara khutbah (yakni serius dan sungguh-sungguh dalam masalah khutbah, Pen.), meninggikan suaranya, membesarkan perkataannya. Dan hal itu (hendaklah) sesuai dengan tema yang dia bicarakan, yang berupa targhib (dorongan kepada kebaikan) dan tarhib (ancaman terhadap keburukan). Dan kemungkinan kemarahan Beliau yang sungguh-sungguh yaitu ketika Beliau memperingatkan perkara yang besar dan urusan yang penting.” [Al Minhaj, 6/155-156. Dinukil dari kitab Hadyun Nabi Fi Khutbatil Jum’ah, hlm. 16, Syaikh Dr. Anis bin Ahmad bin Thahir].

Ketujuh : Berkhutbah dengan perkataan yang jelas, pelan-pelan, dan tidak berbicara dengan cepat, sebagaimana hadits A’isyah Radhiyallahu ‘anha,

…لَمْ يَكُنْ يَسْرُدُ الْحَدِيثَ كَسَرْدِكُمْ

“… Beliau tidak berbicara cepat sebagaimana engkau berbicara cepat.”[HR
Bukhari, Muslim].

Dalam riwayat lain, disebutkan:

وَلَكِنَّهُ كَانَ يَتَكَلَّمُ بِكَلاَمٍ بَيِّنٍ فَصْلٍ, يَحْفَظُهُ مَنْ جَلَسَ إِلَيْهِ

“Tetapi Beliau berbicara dengan pembicaraan yang terang, jelas, orang yang duduk bersama Beliau dapat menghafalnya”. [HR Tirmidzi di dalam Asy Syamail, no. 191].

Dalam riwayat lain, disebutkan:

…يَفْهَمُهُ كُلُّ مَنْ سَمِعَهُ

“Setiap orang yang mendengarnya akan memahaminya” [HR Abu Dawud]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memperbanyak perkataan dalam khutbahnya, juga tidak mengiringkan perkataan mengikuti lainnya, sehingga perkataan itu masuk ke perkataan lainnya. Beliau tidak tergesa-gesa dalam menyampaikan khutbah. Bahkan Beliau melambatkan perkataan dan tidak terburu-buru dalam mengeluarkannya. Metode ini, jelas memberikan kemampuan para pendengar untuk memahami khutbah dan mencapai tujuannya. [Hadyun Nabi Fi Khutbatil Jum’ah, hlm. 36, Syaikh Dr. Anis bin Ahmad bin Thahir]

Kedelapan : Jika ada keperluan, khatib boleh menghentikan khutbahnya sementara. Seperti mengingatkan orang yang hadir tentang shalat tahiyatul masjid, menegur hadirin yang ramai, dan semacamnya. Sebagaimana dalam hadits Jabir, bahwa Sulaik masuk masjid pada hari Jum’at sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhutbah, lalu ia duduk. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,

يَا سُلَيْكُ قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا ثُمَّ قَالَ إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا

“Hai, Sulaik! Berdirilah, lalu shalatlah dua raka’at, dan ringkaskanlah dua raka’at itu.” Kemudian Beliau bersabda,”Jika salah seorang diantara kamu datang, pada hari Jum’at, ketika imam sedang berkhutbah, hendaklah dia shalat dua raka’at, dan hendaklah dia meringkaskan dua raka’at itu.” [HR Muslim, no. 875/59].

Begitu juga Khalifah Umar Radhiyallahu ‘anhu pernah menegur seorang sahabat yang datang terlambat, sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat, yang artinya: Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, bahwa ketika Umar bin Al Khaththab sedang berdiri dalam khutbah pada hari Jum’at, tiba-tiba ada seorang laki-laki -dari Muhajirin yang awal diantara sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam – masuk (masjid). Maka Umar menegurnya,”Jam berapa sekarang?” Laki-laki itu menjawab,”Aku disibukkan, sehingga aku tidak pulang kepada keluargaku sampai aku mendengar adzan, lalu aku tidak menambah kecuali sekedar berwudhu.” Maka Umar mengatakan,”Dan berwudhu’ saja? Padahal engkau telah mengetahui, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu memerintahkan mandi.” [HR Bukhari, no. 878].

Kesembilan : Jika berdo’a, mengisyaratkan dengan jari telunjuk.

عَنْ عُمَارَةَ ابْنِ رُؤَيْبَةَ قَالَ رَأَى بِشْرَ بْنَ مَرْوَانَ عَلَى الْمِنْبَرِ رَافِعًا يَدَيْهِ فَقَالَ قَبَّحَ اللَّهُ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ بِيَدِهِ هَكَذَا وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ الْمُسَبِّحَةِ

“Dari ‘Umarah bin Ruaibah, dia melihat Bisyr bin Marwan di atas mimbar sedang mengangkat kedua tangannya. Maka ‘Umarah berkata: “Semoga Allah memburukkan dua tangan itu! Sesungguhnya aku telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah lebih dari mengisyaratkan dengan tangannya begini”. Dia mengisyaratkan dengan jari telunjuknya”. [HR Muslim, no. 874]

Di dalam riwayat Ahmad disebutkan, bahwa perbuatan itu dilakukan ketika berdo’a dalam khutbah.

Tentang khathib berdo’a di atas mimbar ini, Syaikh Dr. Anis bin Ahmad bin Thahir berkata: (Termasuk penyimpangan para khathib, yaitu) mendo’akan kebaikan untuk orang-orang tertentu setiap Jum’at, dan selalu menetapi hal itu seperti (menetapi) Sunnah. Adapun mendo’akan kebaikan untuk kaum muslimin semuanya, dan untuk penguasa secara khusus terus-menerus, maka ini perkara yang disyari’atkan, tidak terlarang. Telah diriwayatkan dari Abu Musa, bahwa jika ia berkhutbah, ia memuji Allah, menyanjungNya, memohonkan shalawat kepada Allah untuk Nabi, dan mendo’akan kebaikan untuk Abu Bakar dan Umar. Ibnu Qadamah berkata: ”Khathib disukai mendo’akan kebaikan untuk mukminin dan mukminat serta untuk dirinya dan hadirin. Jika dia mendo’akan kebaikan untuk penguasa kaum muslimin, maka itu merupakan kebaikan … Karena jika penguasa kaum muslimin baik, padanya juga terdapat kabaikan kaum muslimin. Maka do’a kebaikan untuk penguasa kaum muslimin, merupakan do’a kebaikan untuk kaum muslimin, dan itu disukai, bukan makruh”. [Al Mughni, 3/181. Dinukil dari Hadyun Nabi Fi Khutbatil Jum’ah, hlm. 16].

Kesepuluh : Setelah selesai berkhutbah, kemudian mengimami shalat. Dalam hadits Abu Hurairah , Nabi bersabda:

إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ أَنْصِتْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ

“Jika engkau berkata kepada kawanmu “diamlah!”, pada hari Jum’at, sementara imam sedang berkhutbah, maka engkau telah mengatakan perkataan sia-sia”. [HR Bukhari, no. 934; Muslim, no. 851].

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “sementara imam sedang berkhutbah” ini menunjukkan, bahwa imam shalat adalah khathib Jum’at. Dan ini merupakan kebiasaan kaum muslimin sejak dahulu, sehingga kita tidak sepantasnya menyelisihinya. Wallahu a’lam bish shawab.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VIII/1425H/2004M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Khutbah Jumat Sesuai Sunnah Cara Berkhutbah Contoh Khutbah Jumat Hadist Tentang Khutbah Larangan Ketika Khotbah Muslim.or.id



Sumber: https://almanhaj.or.id/2618-jumat-sifat-khutbah-jumat.html