Penulis: Syaikh Muhammad bin Fahd bin Abdullah al-Jifan
*Pengantar Syaikh Fauzan*
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Saya telah membaca risalah yang berjudul “Ihyaud Dakwah Fil Bait”
karya Muhammad bin Fahd bin Abdullah Al-Jifan, sebuah karya yang sangat
berbobot dan layak untuk disebarkan kepada masyarakat. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala
memebari manfaat atas terbitnya buku ini dan memberi pahala bagi
penulisnya. Saya mengajak kepada semua kaum muslimin untuk membaca dan
merenungkan serta mengamalkan kebenaran yang ada di dalam buku ini.
Semoga Allah ‘azza wa jalla memberi petunjuk kepada jalan yang lurus dan semoga shalawat dan salam tetap tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga dan para shahabanya.
“Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan”
*Pengantar Penulis*
Nikmat Allah subhanahu wa ta’ala yang paling agung yang dikaruniakan kepada hamba-Nya adalah nikmat hidayah kepada agama hanif
dan sampai kepada jalan yang lurus, sehingga nanti di hari kiamat
meraih kemuliaan dan surga yang penuh dengan kenikmatan. Di antara ayat
yang menjelaskan tentang agungnya kerunia hidayah dan demikian, hanya
taufik dari Allah subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana yang telah dikisahkan Allah tentang orang-orang mukmin yang mengakui keagungan nikmat tersebut. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
![](http:///C:/DOCUME%7E1/bale7/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/13/clip_image001.gif)
“Dan
Kami cabut segala macam dendam yang berada di dalam dada mereka;
mengalir di bawah mereka sungai-sungai dan mereka berkata: ‘Segala
sesuatu bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini. Dan
kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi
kami petunjuk. Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami, membawa
kebenaran’. Dan diserukan kepada mereka: ‘Itulah surga yang diwariskan
kepadamu, disebabkan apa yang dahulu kamu kerjakan.” (Q.S. Al-A’raf: 43)
Imam Ibnu Katsir
[1] ketika menafsirkan ayat ini menukil sebuah hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Setiap
penghuni surga menyaksikan tempatnya di neraka lalu berkata: ‘Jikalau
Allah tidak memberi hidayah kepada kami, niscaya kami akan celaka, maka
bagi-Nya syukur.”
Hidayah
memiliki peran penting dan kedudukan agung. Dan tidak ada yang mampu
menghargai nilai hidayah kecuali orang yang telah merasakannya, dan
tidak ada yang mengetahui cahaya hidayah kecuali orang yang telah
mencicipi pahitnya kesesatan.
Apalagi
ketika mereka melihat orang-orang yang tersesat dan tidak meraih taufik
kepada jalan yang lurus, sehingga mereka merugi di hari akhirat, dan
masing-masing mengungkapkan penyesalan mereka sebagaimana dalam firman
Allah subhanahu wa ta’ala:
“Atau
supaya jangan ada yang berkata: ‘Kalau sekiranya Allah memberi petunjuk
kepadaku tentulah aku termasuk orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Az-Zumar: 57)
Jika
hidayah suatu perkara yang sangat penting, dan jalan yang harus
ditempuh oleh semua hamba yang ingin sukses dan selamat di perkampungan
abadi, yang penuh kenikmatan dan aman dari seluruh perkara yang
menakutkan, apalagi ketika menyaksikan orang yang tersesat dan menjauh
dari jalan Allah subhanahu wa ta’ala, maka nikmat tersebut
semakin perlu kita syukuri, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
Termasuk bagian syukur terhadap hidayah adalah memelihara dan meyebarkan
kepada semua hamba Allah. Bahkan menaruh perhatian serius seperti yang
dilakukan para nabi dan generasi salafush shalih, serta orang-orang yang mengikuti (mereka) secara baik. Sejalan dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Q.S. Asy-syura: 52)
Menjadikan
ayat di atas sebagai motivator dalam menempuh jalan hidupnya. Yang
demikian itu tidak ada pertentangan dengan firman Allah:
“Sesungguhnya
kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi,
tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan
Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk” (Q.S. Al-Qashash: 56)
Sebab, maksud hidayah dalam ayat pertama[2] adalah hidayah dakwah, irsyad (memberi pengarahan) dan al-bayan
(memberi penjelasan). Adapun ayat kedua, adalah hidayah taufik yang
merupakan bentuk nikmat yang paling agung yang diberikan kepada manusia,
dan hidayah ini termasuk kekhususan Allah subhanahu wa ta’ala.
Sesungguhnya
hidayah yang bersifat pengarahan dan penjelasan merupakan tugas utama
para rasul dan para pengikut mereka, serta orang-orang yang meniti jalan
hidup mereka. Maka, hendaknya para da’i melakukan tugas dakwah dengan
baik dab bagus.
Kita sangat kagum dengan kesungguhan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam melaksanakan tugas dakwah dan mengajak orang kepada kebenaran, hingga Allah subhanahu wa ta’ala memberi teguran kepada beliau karena sangat bersemangat dalam mengajak kepada Islam, sebagaimana firman Allah:
“Maka
(apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati
setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada
keterangan ini (Al-Quran).” (Q.S. Al-Kahfi: 6)
Dan Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
” Dan
jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka
bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka
menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?” (Q.S. Yunus: 99)
Di antara ayat yang menunjukkan kesungguhan beliau dalam mengajak hamba Allah kembali kepada kebenaran sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Sungguh
telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa
olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan)
bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (Q.S. At-Taubah: 128)
Begitu juga Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam telah menyifati dirinya dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Jabir radliallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Perumpamaan
bagi kalian seperti seorang yang menyalakan api lalu kutu-kutu dan
kupu-kupu berjatuhan ke dalamnya, sementara orang terseut
menyingkirkannya dari api tersebut dan saya memegang kendali kalian agar
tidak terjatuh ke dalam api namun kalian lepas dari tanganku.” [3]
((Disalin dari Buku Saatnya Hidayah Menyapa Rumahku hal. xv-xxi, judul asli Ihyaud Dakwah Fil Bait,
karya Muhammad bin Fahd bin Abdullah al-Jifan. Penerjemah: Zaenal
Abidin Syamsudin, Lc.. Penerbit: Pustaka Imam Abu Hanifah, Jakarta))
[1] Tafsir Ibnu Katsir
– Abi Al-Fida’ Ismail bin Katsir -188, Ibnu Katsir berkata dari hadits
riwayat An-Nasa’i dan Ibnu Marwadeh dan lafadz dari beliau. Dan hadits di atas dihasankan Albani di dalam Shahih Jami’ no. 4514.
[2] Taisirul ‘Azizil Hamid Syarah Kitab Tauhid, Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab, hal. 299, Maktab Turats Islamy.
[3] H.R. Muslim, Kitabul Fadhail, Bab Syafaqatun Naby ‘Ala Ummatihi.