Friday, January 29, 2016
Wednesday, January 13, 2016
Sup ayam sederhana
Tuesday, January 12, 2016
Belajar di Waktu Pagi
Ada keutamaan belajar di waktu pagi terutama ba’da Shalat Shubuh, yaitu mengkaji Al-Qur’an atau ilmu lainnya.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَه
“Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah membaca Kitabullah dan saling mengajarkan satu dan lainnya melainkan akan turun kepada mereka sakinah (ketenangan), akan dinaungi rahmat, akan dikeliling para malaikat dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di sisi makhluk yang dimuliakan di sisi-Nya.” (HR. Muslim, no. 2699)
Ibnu ‘Abbas pernah ditanya, “Amalan apa yang paling afdhal?”
Jawab Ibnu ‘Abbas, “Dzikir pada Allah dan suatu kaum yang duduk di rumah Allah lalu saling mempelajari Al-Qur’an. Ketika itu malaikat akan memberikan naungan dengan sayapnya. Orang yang beraktivitas seperti itu adalah tamu Allah selama keadaannya seperti itu sampai mereka beralih pada pembicaraan yang lain.” Hadits ini diriwayatkan secara marfu’ (sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan mawquf (sampai sahabat). Namun yang mawquf itu lebih shahih, yaitu hanya perkataan sahabat.
Yazid Ar-Raqasyi meriwayatkan dari Anas, ia berkata, “Para salaf dahulu setelah Shubuh membuat halaqah-halaqah. Mereka membaca Al-Qur’an. Mereka saling mengajarkan perkara wajib dan sunnah. Juga mereka berdzikir pada Allah.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2: 301)
‘Athiyah meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Tidaklah suatu kaum melaksanakan shalat Shubuh, lalu ia duduk di tempat shalatnya. Mereka saling mempelajari Kitabullah. Keadaan mereka kala itu, menjadikan Allah mengutus malaikat-Nya untuk memintakan ampun untuk mereka sampai mereka berpaling pada pembicaraan yang lain.” Hadits ini menunjukkan akan dianjurkannya bermajelis setelah shalat Shubuh untuk saling mempelajari Al-Qur’an. Namun ‘Athiyah adalah perawi dha’if (lemah). (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2: 301)
Harb Al-Karmani meriwayatkan dengan sanad dari Al-Auza’i bahwa ia ditanya tentang belajar setelah Shubuh. Ia berkata, telah menceritakan kepadanya Hassan bin ‘Athiyyah, bahwa yang pertama kali mempelopori majelis Qur’an setelah shubuh di Masjid Damaskus adalah Hisyam bin Isma’il Al-Makhzumi pada saat khilafah ‘Abdul Malik bin Marwan. Praktik yang ada seperti itu, yaitu belajar di pagi hari setelah Shubuh. (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2: 301)
Ada juga sanad dari Sa’id bin ‘Abdul ‘Aziz dan Ibrahim bin Sulaiman, mereka berdua biasa mengkaji Al-Qur’an setelah shalat Shubuh di Beirut. Al-Auza’i yang di masjid tidak mengingkari mereka.
Intinya, hadits yang disebutkan di atas menyebutkan tentang anjuran berkumpul untuk mempelajari Al-Qur’an secara umum, tidak khusus setelah Shubuh saja. Bisa pula dalil yang digunakan adalah dalil tentang keutaman dzikir karena Al-Qur’an adalah sebaik-baik dzikir. Demikian ungkapan dari Ibnu Rajab Al-Hambali dalam Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2: 302-303.
Nafi’ pernah bertanya kepada Ibnu ‘Umar tentang sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
اللَّهُمَّ بَارِكْ لأُمَّتِى فِى بُكُورِهَا
“Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya.” (HR. Abu Daud, no. 2606, Tirmidzi, no. 1212, Ibnu Majah, no. 2236. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Ibnu Umar menjawab, “Dalam menuntut ilmu dan shaf pertama.” (Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam Al-Jami’ li Akhlaq Ar-Rawi wa Aadab As-Sami’, 1: 150 dan As-Sam’aany dalam Adab Al-Imla’ wa Al-Istimla’, 1: 129)
Semoga manfaat, hanya Allah yang memberi hidayah.
Referensi:
Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Cetakan kesepuluh, tahun 1432 H. Ibnu Rajab Al-Hambali. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
—
Selesai disusun di pagi hari @ Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 22 Safar 1437 H
Tidak Tahu, Pasti Dimaafkan? | Nggak Tahu Itu Ada Masalah
Bisakah orang yang tidak tahu alias bodoh pada suatu amalan dihukumi dosa? Apakah setiap tindakan tidak tahu pasti dimaafkan?
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin pernah ditanya tentang hal ini, “Kebanyakan kami dengar bahwa seseorang bisa diberi uzur karena kebodohan. Kalau memang ada uzur karena tidak tahu, apa syaratnya bisa dikatakan sebagai uzur dalam masalah hukum syari’at?”
Syaikh Muhammad rahimahullah menjawab bahwa bodoh (jahel) –semoga Allah berkahi yang bertanya- artinya tidak memiliki ilmu.
Terkadang seseorang diberi uzur ketika tidak tahu dalam hal lampau, bukan saat ini. Contoh hadits Bukhari-Muslim dari sahabat Abu Hurairah bahwa ada seseorang yang shalat tanpa thuma’ninah (artinya: cepat-cepat). Lalu ia datang menghampiri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil mengucapkan salam. Kemudian Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallammengatakan padanya,
“Ulangilah shalatmu karena engkau sebenarnya belum shalat.” Seperti itu terjadi berulang sampai tiga kali. Lantas orang itu berkata pada Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, “Demi yang mengutusmu dengan membawa kebenaran, sebelumnya aku tidak pernah melakukan seperti ini. Ajarkanlah aku (bagaimana shalat yang benar).”
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengajarkan dia, namun untuk shalat yang sudah berlalu tidak diperintahkan untuk diqadha’. Karena dahulu ia tidak tahu (jahel). Ia hanya diperintah untuk mengulangi shalat saat ini saja.
Misalnya, ada seseorang tidak menunaikan shalat di masa silam karena ia berada di pelosok yang jauh misalnya, tidak ada tempat untuk bertanya, maka shalatnya yang dulu-dulu tidak perlu diqadha’ karena dia adalah orang yang diberi maaf.
Adapun di negeri yang memiliki ulama, lalu ia luput dari suatu pelajaran, maka seperti itu tidaklah ada uzur ketika bodoh (tidak tahu).
Masalah seperti ini sering didapati pada permasalah pada wanita yang sebenarnya telah haidh. Dahulu ia menyangka bahwa disebut baligh itu ketika sudah mencapai usia 15 tahun. Lantas ia meninggalkan puasa karena menganggap dirinya belum baligh. Setelah itu ia bertanya, lalu dihukumilah ia telah baligh (dewasa). Misalnya sekitar dua atau tiga tahun tidak berpuasa, apakah puasanya mesti diqadha’?
Di sini mesti dilihat, apakah ia hidup di negeri yang ada tempat untuk bertanya pada ahli ilmu, berarti ia orang yang lalai, tetap ada qadha’.
Adapun jika ia berada di tempat yang jauh dari ulama, seperti orang-orang nomaden, maka ia tidak ada kewajiban qadha’. Kondisi ini menunjukkan ia mendapatkan uzur karena tidak ada rujukan baginya untuk bertanya. Juga ilmu syar’i belum tertanam di negeri tersebut. Ia dimaafkan dalam kondisi ini.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا
“Dan Kami tidak akan meng’azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. Al-Isra’: 15)
Juga dalam ayat,
وَمَا كَانَ رَبُّكَ مُهْلِكَ الْقُرَى حَتَّى يَبْعَثَ فِي أُمِّهَا رَسُولًا يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِنَا وَمَا كُنَّا مُهْلِكِي الْقُرَى إِلَّا وَأَهْلُهَا ظَالِمُونَ
“Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman.” (QS. Al-Qashash: 59)
Sumber:
Silsilah Liqa’at Al-Bab Al-Maftuh, Liqa’ Al-Bab Al-Maftuh no. 19, Pelajaran Ushul Al-Fiqh wa Qawa’iduhu.
Moga Allah terus menambahkan kita ilmu yang bermanfaat.
—
@ Makkah Al-Mukarramah, 23 Rabi’ul Awwal 1437 H
Al-Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal
Rumaysho.Com, Channel Telegram @RumayshoCom, @DarushSholihin, @UntaianNasihat, @RemajaIslam
Sudah Manfaatkah Ilmu Kita?
Kita sudah banyak belajar, namun kadang ilmu yang kita pelajari tidak membekas atau tidak manfaat. Bagaimana kita bisa tahu kalau ilmu tersebut bermanfaat?
Beberapa hal berikut bisa sebagai indikasi kalau ilmu yang kita pelajari selama ini bermanfaat.
Pertama:
Ilmu tersebut semakin membuat kita takut pada Allah. Allah Ta’alaberfirman,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (QS. Fathir: 28)
Ibnul Qayyim menyatakan, “Ayat tersebut menunjukkan dua hal: (1) yang takut pada Allah hanyalah ulama, (2) tidaklah disebut alim (orang berilmu) kecuali punya rasa takut pada Allah. Yang takut pada Allah hanyalah ulama. Semakin hilang ilmu, semakin hilang rasa takut. Jika rasa takut hilang, maka ilmu pun akan makin redup.” (Syifa’ Al-‘Alil, 2: 949)
Kedua:
Ilmu tersebut mendorong kita untuk semakin semangat melakukan ketaatan dan semakin semangat menjauhi maksiat.
Sebagian ulama salaf berkata, “Siapa yang takut pada Allah, maka dialah ‘alim, seorang yang berilmu. Siapa yang bermaksiat pada Allah, dialah jahil (orang yang jauh dari ilmu).”
Ketiga:
Ilmu yang manfaat akan mengantarkan pada sifat qana’ah (selalu merasa cukup) dan zuhud pada dunia.
Al-Hasan Al-Bashri pernah berkata, “Sesungguhnya orang yang berilmu adalah orang yang zuhud pada dunia dan semangat mencari akhirat. Ia paham akan urusan agamanya dan rutin melakukan ibadah pada Rabbnya.”
Keempat:
Tawadhu’ (rendah hati) dan mudah menerima kebenaran dari siapa pun, lalu ingin menerapkan kebenaran tersebut.
Kelima:
Benci pujian dan enggan menyucikan diri sendiri, juga tidak suka ketenaran. Jika ia disanjung lalu menjadi populer bukan karena keinginan dan pilihannya, ia pun takut dengan rasa takut yang besar, takut akan akibat jeleknya.
Keenam:
Ilmu yang dipelajari tidak jadi kebanggaan dan kesombongan di hadapan lainnya. Ia tahu bahwa para salaf dahulu lebih mulia dan ia pun selalu berprasangka baik padanya.
Wallahu Ta’ala a’lam.
Sudahkah ilmu kita membuahkan hal-hal di atas sehingga dapat disebut ilmu itu manfaat? Semoga …
Dinukil dari bahasan Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam, 10: 475-476.
اللَّهُمَّ انْفَعْنِى بِمَا عَلَّمْتَنِى وَعَلِّمْنِى مَا يَنْفَعُنِى وَزِدْنِى عِلْمًا
[Allahummanfa’nii bimaa ‘allamtanii wa ‘allimnii maa yanfa’unii, wa zidnii ‘ilmaa]
“Ya Allah, berilah manfaat pada ilmu yang telah Engkau ajarkan padaku, ajarilah aku hal-hal yang bermanfaat untukku, dan tambahkanlah aku ilmu.” (HR. Ibnu Majah, no. 251 dan Tirmidzi, no. 3599, shahih)
Referensi:
Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Marram. Cetakan pertama, tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Fauzan Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
—
Selesai disusun di Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 19 Safar 1437 H
Mati Saat Menuntut Ilmu
Di antara tanda husnul khatimah adalah mati saat menuntut ilmu.
# MATI SAAT MENUNTUT ILMU
قال الحافظ ابن عبد البر رحمه الله:
“من مات طالباً للعلم
فهو من علامات حسن الخاتمة”.
لأنه مات على طاعة عظيمة
Al-Hafizh Ibnu ‘Abdil Barr berkata:
Siapa yang mati dalam keadaan menuntut ilmu, maka ia berada dalam tanda husnul khatimah (mati yang baik) karena ia telah mati dalam ketaatan yang sangat besar.
(Diambil dari status telegram Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid: @almunajjid)
—
Terus semangat dalam menuntut ilmu.
Channel Telegram @UntaianNasihat.
Ketenangan Jiwa dalam Majelis Ilmu | Faeddah Islam
Semua ingin raih ketenangan jiwa. Meskipun mencari dengan mengeluarkan biaya besar. Sehingga ada yang mencarinya lewat lantunan musik. Ada yang mencarinya lewat night club. Ada yang mencarinya di berbagai tempat rekreasi di pinggir pantai. Apakah mereka dapat ketenangan sebenarnya?
Tidak, itu ketenangan semu. Ketenangan hakiki hanya didapati dengan iman. Ketenangan seperti itu didapati hanya dalam majelis ilmu syar’i.
Cobalah rasakan ketenangan lewat majelis ilmu kala Al-Qur’an disenandungkan, kala hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disuarakan. Silakan rasakan kenikmatan yang berbeda.
Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
“Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah membaca Kitabullah dan saling mengajarkan satu dan lainnya melainkan akan turun kepada mereka sakinah (ketenangan), akan dinaungi rahmat, akan dikeliling para malaikat dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di sisi makhluk yang dimuliakan di sisi-Nya.” (HR. Muslim, no. 2699)
Ada empat keutamaan yang disebutkan bagi orang yang duduk di rumah Allah dan mempelajari kitab Allah:
Pertama: Akan raih ketenangan.
Sebagaimana disebutkan saat dibacakan surat Al-Kahfi. Disebutan oleh Al-Barra’ bin ‘Azib, ia berkata,
بَيْنَمَا رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – يَقْرَأُ ، وَفَرَسٌ لَهُ مَرْبُوطٌ فِى الدَّارِ ، فَجَعَلَ يَنْفِرُ ، فَخَرَجَ الرَّجُلُ فَنَظَرَ فَلَمْ يَرَ شَيْئًا ، وَجَعَلَ يَنْفِرُ ، فَلَمَّا أَصْبَحَ ذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « تِلْكَ السَّكِينَةُ تَنَزَّلَتْ بِالْقُرْآنِ »
“Ada seseorang yang sedang membaca (surat Al-Kahfi). Di sisinya terdapat seekor kuda yang diikat di rumah. Lantas kuda tersebut lari. Pria tersebut lantas keluar dan melihat-lihat ternyata ia tidak melihat apa pun. Kuda tadi ternyata memang pergi lari. Ketika datang pagi hari, peristiwa tadi diceritakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau bersabda, “Ketenangan itu datang karena Al-Qur’an.” (HR. Bukhari, no. 4839 dan Muslim, no. 795)
Imam Nawawi rahimahullah menyatakan, “Itulah yang menunjukkan keutamaan membaca Al-Qur’an. Al-Qur’an itulah sebab turunnya rahmat dan hadirnya malaikat. Hadits itu juga mengandung pelajaran tentang keutamaan mendengar Al-Qur’an.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 74)
Kedua: Akan dinaungi rahmat Allah.
Dalam Al-Qur’an juga disebutkan,
إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ
“Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A’raf: 56)
Dalam hadits Salman, ada yang berdzikir pada Allah, lantas Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam lewat ketika itu, beliau pun bersabda, “
مَا كُنْتُمْ تَقُوْلُوْنَ ؟ فَإِنِّي رَأَيْتُ الرَّحْمَةَ تَنْزِلُ عَلَيْكُمْ ، فَأَحْبَبْتُ أَنْ أُشَارِكَكُمْ فِيْهَا
“Apa yang kalian ucapkan? Sungguh aku melihat rahmat turun di tengah-tengah kalian. Aku sangat suka sekali bergabung dalam majelis semacam itu.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 1: 122. Al-Hakim menshahihkannya dan disepakati oleh Imam Adz-Dzahabi).
Ketiga: Malaikat akan mengelilingi majelis ilmu.
Tanda bahwasanya malaikat ridha dan suka pada orang-orang yang berada dalam majelis ilmu.
وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ
“Sesungguhnya malaikat meletakkan sayapnya sebagai tanda ridha pada penuntut ilmu.” (HR. Abu Daud, no. 3641; Ibnu Majah, no. 223; At-Tirmidzi, no. 2682. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if. Sedangkan Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini). Maksudnya, para malaikat benar-benar menghormati para penuntut ilmu. Atau maksudnya pula malaikat turun dan ikut dalam majelis ilmu. (Tuhfah Al-Ahwadzi, 7: 493)
Keempat: Akan disebut oleh Allah di sisi makhluk-makhluk mulia.
Coba kalau kita di dunia ini disanjung-sanjung di hadapan presiden atau tokok terkemuka, kita pasti merasa seperti berada di atas. Pujian bagi penuntut ilmu lebih dari itu. Karena mereka disanjung-sanjung di hadapan makhluk yang mulia.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, Allah Ta’ala berfirman,
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى وَأَنَا مَعَهُ حِينَ يَذْكُرُنِى فَإِنْ ذَكَرَنِى فِى نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِى نَفْسِى وَإِنْ ذَكَرَنِى فِى مَلإٍ ذَكَرْتُهُ فِى مَلإٍ خَيْرٍ مِنْهُ
“Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku pada-Ku. Aku bersamanya kala ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam dirinya, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di suatu kumpulan, maka aku akan menyebut-nyebutnya di kumpulan yang lebih baik daripada itu.” (HR. Muslim, no. 2675)
Tak inginkah kita mendapatkan ketenangan jiwa dan keutamaan seperti dikemukakan dalam hadits di atas. Cobalah meraihnya dalam majelis ilmu syar’i, bukan pada majelis warung kopi, bukan majelis yang penuh dengan kesia-siaan.
Moga Allah memberkahi waktu dan umur kita dalam kebaikan.
Referensi Utama:
Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Cetakan kesepuluh, tahun 1432 H. Ibnu Rajab Al-Hambali. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
—
Senin saat hujan mengguyur Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang, 1 Rabi’uts Tsani 1437 H, 04: 09 PM
Oleh Al-Faqir Ila Maghfirati Rabbihi: Muhammad Abduh Tuasikal
Rumaysho.Com, Channel Telegram @RumayshoCom, @DarushSholihin, @UntaianNasihat, @RemajaIslam
Monday, January 11, 2016
Sekedar Curahan Hati...
Suaminya meninggal mendadak di Tanajib.
Peristiwa ini mengingatkanku pada Sita teman mengajiku dengan sister Sophia Samour.
Kepergian suami Shazia mirip dengan kepergian suami Sita.
Ma syaa Allah Shazia begitu yakin Allah akan menolongnya dan anak-anaknya.
Yang ia pikirkan dan harapkan dari teman-temannya adalah doa untuk suaminya.
Ma syaa Allah laa hawla wa laa quwwata illah billah.
Carlos adalah teman kakak...
Waktu di Dhahran Tower kami tetangga sebelah...
Hari ini Carlos bilang ke kakak bahwa dia ingat Mohammed
Dia keliatan sedih, dia merasa kalau orang sudah tiada seperti Mohammed maka tak ada lagi yang mengingatnya...semua seperti sudah melupakannya...seolah-olah tak pernah mengenalnya.
Mohammed yang tewas karena asap kebakaran di apartement Radium.
Mohammed yang kini telah dikuburkan di Mekkah seseuai keinginannya ketika masih hidup.
Mohammed yg ayahnya tidak berada di Radium saat itu dan adik terkecilnya masih bias diselamatkan...mengingatkanku pada keluarga Taleeb...hanya Taleeb (ayah) dan Hani Taleeb yang selamat dari kecelakaan. Hanya saja adik Mohammed ketika di hospital menyusul ibu dan kedua kakaknya, meninggal dunia.
Kakak termasuk dalam tim pembuat video graduation class of 2015 in syaa Allah.
Dia mengusulkan untuk menulis nama Mohammed di akhir video
In memorial of Mohammed. Usul itu ia ajukan ke timnya sebelum ngobrol2 ttg Mohammed dengan Carlos tadi.
Diri ini...orang-orang yang kita sayangi, kita kenal...semuanya bukan milik kita...kita semua milik Allah. Kita akan kembali jika pemilik kita memanggil....
Setelah itu kita tiada...
Tak ada lagi di dunia...
Yang hidup....hidup tetap harus berjalan...
Tapi ingatlah...ingatlah akan kematian....jangan lalai
Beramal shalih lah terus...semaksimal mungkin...in syaa Allah...
Semoga mendapat husnul khatimah...
Friday, January 08, 2016
Little house behind the Yawa mosque, Bangkok
Wednesday, January 06, 2016
Shalat di Musholla Pesawat
Menurut kebiasaan, jam segitu sudah menunjukkan masuk shalat shubuh untuk Pulau Jawa. Namun masalahnya pesawat baru memasuki perairan Thailand, sekitar laut Andaman. Pada waktu tersebut, kami sudah dibangunkan oleh teman di samping. Kami lihat ke langit-langit, belum masuk waktu Shubuh.
1. Orang Saudi sangat memperhatikan waktu shalat, sepertinya mereka sudah merasa Shubuh sudah akan masuk karena sebelum waktu shalat tiba, mereka sudah berkumpul untuk menanti.
2. Kami baru tahu ada musholla di dalam pesawat. Ini baru kami temui di pesawat Saudia Airlines, belum di maskapai lainnya.
3. Pilot Saudia sangat memperhatikan kemaslahatan jamaah, sebelum masuk shubuh ia selalu memperhatikan keadaan langit. Lalu ia umumkan mengenai waktu shalat.
4. Sempat terjadi dialog dengan orang Indo yang ikut shalat. Kala itu ia mengambil tayamum dengan debu di dinding pesawat. Orang Saudi sempat menasihati. “Masih ada air dan bisa gunakan sedikit-sedikit saja. Tidak boleh beralih pada tayamum.”
Memang benar, kami juga praktikkan seperti itu selama shalat di pesawat. Air masih ada, dan Insya-Allah masih cukup untuk jamaah 400-an. Tak boleh beralih sama sekali pada tayamum dalam kondisi ada air yang mencukupi seperti itu.
Akhirnya, setelah dinasihati dengan baik dan santun, sambil kami juga menerjemahkan perkataan orang Saudi, orang Indo pun beralih memakai air.
5. Semangat shalat malam walau di pesawat.
6. Mau rela ngantri menunggu gantian menggunakan musholla.
7. Tetap semangat menjaga shalat jamaah meskipun di pesawat.
8. Tetap melakukan shalat dalam keadaan berdiri dan menghadap kiblat sedangkan arah pesawat saat itu ke arah timur.
Semoga bisa jadi pelajaran berharga dan jadi penyemangat kita untuk beribadah.
—
Berbagi cerita saat di Saudia Airlines, Rabu, 25 Rabi’ul Awwal 1437 H
Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal
Channel Telegram @RumayshoCom
Sunday, January 03, 2016
Al Ashr
Ya Allah mudahkanlah aku untuk beramal shalih.
Ya Allah jangan matikan aku jika aku bermaksiat,
Namun cukupkanlah umurku di saat aku tengah beramal shalih.
Ya Allah matikan aku dalam keadaan husnul khatimah....
Friday, January 01, 2016
Melacak Jejak Islam di Benua Indian (copy and paste dari blog orang)
![Image](https://americacontinent.files.wordpress.com/2013/02/1344672177904617120.jpg?w=280)
Menyebut Amerika pikiran kita langsung tertuju ke salah satu negara adidaya bernama United States of America atau Amerika Serikat. Padahal Amerika serikat hanyalah salah satu negara yang di benua raksasa bernama Amerika. Bangsa Eropa menyebut benua ini sebagai benua baru, sedangkan pelaut Islam dari Afrika dan Asia mengenalnya sebagai tanah yang asing. Walau datang lebih telat 700 tahun dari pelaut dan pengembara Islam, bangsa Eropalah yang dikenang sebagai penemu benua ini.
Indian Muslim, Fakta Yang Terlupakan !!
Tidak banyak kisah maupun catatan yang menghubungkan benua Amerika dengan Islam kecuali pada akhir-akhir dekade ini. Sejarah yang lama akhirnya terungkap bahwa tanah asing ini merupakan koloni dagang bangsa Afrika Barat dan Arab yang muslim. Bagai sebuah frame sejarah yang hilang, cerita kedatangan Islam di benua merah hilang tanpa bekas. Sejak bangsa kulit putih datang dan merampas kemerdekaan penduduk pribumi, sejak itu juga Islam kehilangan momentumnya. Apalagi mandat dari Raja Spanyol yang melarang Islam di benua Amerika telah mengubur agama ini. Praktis di Karibia dan Amerika selatan & tengah agama ini tinggal menjadi cerita lama.
Sisa Islam berupaya eksis di jantung Missisippi namun kekauatan bedil sang Inggris dan dilanjutkan adiknya Amerika menenggelamkan Muslim Indian. Namun bekasnya masih bisa dilihat di Arsip Nasional atau Perpustakaan Kongres. Kesepakatan 1987 atau Treat of 1987 mencantumkan bahwa orang Amerika asli menganut sistem Islam dalam bidang perdagangan, kelautan, dan pemerintahan. Arsip negara bagian Carolina menerapkan perundang-undangan seperti yang diterapkan bangsa Moor. Perjanjian seperti Perdamaian dan Persahabatan itu yang ditandatangani di Sungai Delaware di tahun 1787 menanggung tanda tangan dari Abdel-Khak dan Muhammad bin Abdullah, sebuah nama dan identitas muslim.
![Image](https://americacontinent.files.wordpress.com/2013/02/13446722911402273195.jpg?w=281)
Gelombang kedatangan Islam
Kedatangan pemukim Eropa dalam jumlah besar menggeser wilayah koloni bangsa Indian hingga orang Indian terdesak dan kehilangan tanah airnya. Sedangkan di Amerika Latin yang dijajah Spanyol dan Portugis, bangsa Indian kehilangan peradaban besar dan sejumlah emas mereka dijarah. Di Meksiko terdapat komunitas muslim dari suku Indian di Chiapas.
![Image](https://americacontinent.files.wordpress.com/2013/02/13446723891018491018.jpg?w=440)
Gelombang ketiga kedatangan Islam di Amerika terjadi pada abad 19, adalah para pekerja yang dibawa oleh bangsa kolonial seperti Inggris dan Belanda, mereka diperkerjakan di ladang-ladang perkebunan di benua Amerika Selatan bagian utara seperti Guyana dan Suriname. Orang-orang Inggris membawa kuli atau pekerja dari India dan Pakistan yang sebagian dari mereka adalah Muslim, sedangkan orang Belanda mengangkut orang Jawa ke Suriname. Para bekas pekerja ini yang kemudian melahirkan generasi Islam di Guyana dan Suriname.
Gelombang kedatangan Islam keempat yaitu para imigran dari timur tengah khususnya Lebanon, Palestina dan Suriah. Mereka adalah korban yang lari dari amukan perang agama, walau sebagian besar dari mereka beragama Kristen tapi terdapat sebagian kecilnya adalah muslim. Salah satu keluarga muslim yang terkenal adalah keluarga Menem, yang salah satu generasinya menjadi presiden Argentina yaitu Carlos Menem. Carlos Menem kemudian hari berpindah agama ke Katholik agar bisa menjadi calon presiden Argentina. Konstitusi Argentina memang mencantumkan syarat agama sebagai syarat menjadi presiden. Di Argentina sendiri bermukim kurang lebih 3 juta umat Islam, yang mana merupakan tempat tinggal muslim terbesar di Amerika Latin.