Our Life

Tuesday, May 15, 2012

Penulis hampir bisa merasakan keterkejutan anda ketika membaca judul “Wanita Muslimah yang Mengajari Suaminya”!? Rasa takjub itu mungkin berasal dari keadaan yang menyedihkan yang banyak dijumpai oleh kaum Muslimin sekarang ini.
Wanita Muslimah sekarang ini, tidak dapat mengajari suaminya karena:
1. Mereka tidak memiliki ilmu yang akan diajarkan kepada suaminya, titik.
2. Sang suami tidak ingin belajar dari isterinya (betapa memalukannya isteriku mengajariku!)
3. Salah satu atau keduanya terlalu sibuk untuk sekedar duduk bersama dan mempelajari agama Allah.
4. Salah satu atau keduanya tidak tertarik atau hanya sedikit sekali tertarik untuk mempelajari agama Islam.
Namun kaum Muslimin di masa lalu sangat berbeda dengan kaum Muslimin di zaman sekarang ini. Ada saat-saat dimana keduanya, suami dan isteri, duduk bersama dengan kecintaan yang sama akan ilmu mengenai agama ini. Orang-orang yang mengenal ilmu-ilmu Islam akan mengetahuibahwa para ulama terdahulu sedemikian bersemangat menempuh perjalanan selama berbulan-bulan hanya untuk mendapatkan satu hadits Nabi Saw. Bagi laki-laki seperti mereka, memiliki isteri seorang ulama adalah salah satu anugerah terbesar di dunia ini dan sumber penghargaan dan penghormatan. Betapa kejinya ketika seseorang memberi label kepada paraulama Islam sebagai patriarki dan misogenis (laki-laki yang membenci wanita). Sungguh sayang, seiring perputaran dunia, kebodohan menyebar; para Modernist (yang darinya bercabang kaum Feminis) mengajak pada penafsiran kembali ayat-ayat Allah, hadits Nabi s dan hukum-hukum Islam secara keseluruhan, dengan mengatakan bahwa Islam yang kita kenal hari ini adalah buah dari pemikiran, pendapat dan ide-ide kaum laki-laki. Bagi mereka yang merasa malu untuk belajar dari isterinya, Bagi mereka yang berkata bahwa wanita Muslimah tidak memiliki peran dalam menyebarkan ilmu, Bagi mereka yang mengatakan bahwa Islam adalah agama yang misogenis dan patriarki, Dan bagi para wanita yang berusaha untuk merubah ajaran Islam dan mengatakannya andocentric.(sesuatu yang berpusatpada laki-laki).
Penulis menantang anda untuk terus membaca Artikel ini.

Kisah Puteri Sa’id bin al-Musayyib
Sekarang saya mempersembahkan kepada anda keteladanan cucu dari sahabat yang mulia, Abu Hurairah r.a. Abu Hurairah menikahkan puterinya dengan Sa’id bin al-Musayyib . Dari perkawinan yang diberkahi ini, Sa’id bin Musayyib dikaruniai seorang puteri yang shalihah dan cerdas. Ketika tiba waktunya untuk menikahkan puterinya, Sa’id bin al-Musayyib memilihkan baginya salah seorang muridnya bernama Abdullah; Abdullah dipilih dari yang lainnya karena keikhlasannya dalam menuntut ilmu sangat jelas. Kecintaan Abdullah terhadap ilmu dapat dilihat keesokan harinya setelah menikah dengan puteri Sa’id bin al-Musaayib,ia mengenakan pakaiannya hendak keluar, lalu isteri yang baru dinikahinya bertanya: “Hendak kemana engkau?”
Dia menjawab: “Hendak menghadiri majelis Sa’id bin al-Musayyib untuk belajar.” Isterinya berkata, “Duduklah, saya akan mengajarimu ilmu Sa’id bin al-Musayyib.”(Abu Nu’aim, Hilyatul Aulia, ii 167-68.) Kemudian puteri Sa’id bin al-Musayyib mengajarinya ilmu. Selama satu bulan Abdullah tidak menghadiri halaqah Sa’id bin al-Musayyib karena ilmu yang telah dipelajari wanita muda yang cantik ini melalui ayahnya (yang kemudian disampaikan kepadanya) telah memadai. Sangat penting untuk bertanya kepada diri kita sendiri – jika para wanita Muslimah benar-benar memiliki ilmu ini melebih suaminya pada masa sekarang ini, apakah hal tersebut akan menambah penghormatan dan ketaatan mereka terhadap
suaminya, ataukah ilmu ini akan menjadi sumber banyak persoalan rumah tangga? Keutamaan para wanita ini adalah ilmu yang mereka miliki hanya menambah bagi mereka ketaatan dan penghargaan kepada suami mereka. Perkataan berikut dari suami dari ulama wanita ini cukup untuk memahami betapa cinta yang dimiliki sang suami kepadanya karena ilmu dan ketaatannya:
“Dia lah termasuk wanita yang paling cantik dan paling hafal Kitabullah, dan paling mengetahui tentang
Sunnah Nabi saw, dan yang paling tahu hak-hak suaminya.”(Sumber :Abu Nu’aim, Hilyatul Aulia, ii 167-68)
Semoga Allah menjadikan para ibu, saudari, dan puteri- puteri (Muslimah) mendapatkan posisi yang demikian di mata suami-suami mereka, dengan ilmu, ketaatan dan kecintaan mereka terhadap agama ini.

Kisah Fatimah bint Muhammad ibn Ahmad
Sekarang kita akan mengunjungi salah seorang Faqihah besar di masanya. Dia dikenal akan keilmuannya terhadap madzhab Hanafi, dan dia tidak lain adalah puteri dari seorang ulama
dan ulama fiqh besar, Muhammad ibn Ahmad ibn Abu Ahmad Alauddin as-Samarqandi v, yang kitabnya Tufathu Fuqaha sangat dikenal oleh para ulama dan penuntut ilmu. Dia tidak saja belajar fiqih dari ayahnya, namun dia juga menghafal kitab ayahnya Tufathul Fuqaha. Menjadi seorang ahli fiqih bukan perkara mudah, seseorangharus menguasai ayat-ayat Al-Qur’an, hadits-hadits Nabi dan prinsip-prinsip madzhab yang dijadikan landasan hukum.
Bahkan mereka harus memiliki ilmu mengenai keadaan dan kebutuhan dunia di masanya. Ilmu yang dimiliki wanita ini melebihi suaminya, yang berkonsultasi dengannya mengenai pendapatnya, khususnya ketika suaminya keliru dalam memberikan fatwa. Namanya adalah Fatimah bint Muhammad bin Ahmad rahimahallah, dan ayahnya menikahkannya dengan Alauddin Abu Bakar bin Mas’ud al- kasani , yang sangat dikenal dalam bidang ushul dan furu’. Dia menulis komentar atas Tufathul Fuqaha berjudul Bada’ias-Sana’i, dan menunjukkannya kepada Syaikhnya (ayah Fatimah), yang merasa senang dengannya dan menerimanya sebagai mahar bagi puterinya, meskipun dia telah menolak pinangan dari beberapa raja di Bizantium. Para fuqaha dimasanya berkata, “Dia membuat komentar atas at-Tufat dan menikahi anaknya.”
Sebelum menikah, Fatimah biasa mengeluarkan fatwa bersama ayahnya, dan fatwa tersebut ditulis dengan tulisan tangannya dan ayahnya. Setelah dia menikah dengan penulis al-Bada’i, fatwa tertulis dengan tulisan tangannya, ayahnya dan suaminya. Bila suaminya membuat kesalahan dia akan memperbaikinya. Ibnu al-Adim berkata:
“Ayahku meriwayatkan bahwa dia (Fatimah) biasa menukil madzhab Hanafi dengan sangat baik.
Suaminya, al-Kasani, kadang-kadang ragu dan keliru dalam berfatwa; maka dia memberitahukan pendapat
yang benar dan menjelaskan alasan kesalahannya.”(Sumber: Abd Qadir al-Quraishy, al-Jawahir al-Mudiyyah fi TabaqatHanafiyyah, iv)
Heran? Akan tetapi kita akan melihat ada banyak yang semisal Fatimah bint Muhammad rahimahallah, yang mengikuti jejaknya di abad berikutnya.
Kesimpulan:
Untuk ringkasnya, Penulis hanya menyebutkan beberapa contoh para wanita yang mengajari suami mereka. Namun demikian, sangat penting bagi kita untuk mengingat bahwa rumah seorang Muslim – khususnya pada hari dan di masa itu – adalah tempat pribadi dan karenanya bagaimana mereka belajar bersama dan apa yang mereka pelajari tidak diuraikan secara terperinci. Beberapa contoh yang diberikan (di sini) merupakan isyarat yang jelas, bagaimana para wanita memberikan kontribusi yang besar untuk menyebarkan ilmu- ilmu keislaman, meskipun dari kediaman pribadi mereka.
Saudari-saudariku, mari kita kembalikan warisan dari para ibu pendahulu kita dan berlomba dengan suami-suami kita dalam memperoleh ilmu, sebagaimana Allah berfirman:
“...maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan...”
(QS Al-Ma’idah [5] : 48)
Share

0 Comments:

Post a Comment

<< Home