Our Life

Wednesday, October 23, 2013

Copas dari blog sebelah

Kini aku membuat detak waktu itu bergetar mundur. Mengenang masa dimana aku belajar  untuk mengerti arti keyakinan dan keteguhan. Aku merekamnya dalam latar suasana oranye di saat lembayung senja mengintip malu.
Sore itu manusia masih terbuai dengan kekhusuyu’an menghadap Rabb Yang Maha Hidup, Allah, satu – satunya Ilah yang berhak disembah. Meletakkan wajah di tanah  hanya untuk tuhan – tuhan palsu yang tidak mampu sekedar membunuh lalat yang hadir di depan batang hidungnya sendiri adalah bentuk ketidakadilan yang agung. Bagaimana dikatakan tidak adil? Sementara dia menghinakan dirinya sendiri untuk bersujud pada selain Allah, bersamaan dengan itu ia telah meletakkan ibadah yang sakral kepada yang tidak berhak mendapatkannya.
Hatiku tersenyum tenang karena Allah telah mengutus Rasulnya untuk membebaskan manusia dari peribadahan kepada makhluk menuju peribadahan kepada Allah Sang Khalik. Hingga aku kini bisa melihat manusia berbondong – bondong berdo’a, meminta kepada Allah Yang Maha Pemurah.
Sore itu aku selesai memandu acara Kajian Fiqih Wanita tentang pernikahan dan cinta. Aku tidak tahu bagaimana kondisi remaja berumur 15 tahun seperti diriku menanggapi masalah cinta, tetapi setidaknya aku sudah cukup dewasa untuk sekedar menyerap ilmu tentang pernikahan kala itu. Meskipun aku sebenarnya masih berusaha memahami perasaan – perasaan kakak – kakakku yang sedang kasmaran, serta bagaimana wajahnya bersemu merah saat mendengar kata “khitbah”.
Terlepas dari itu, tugasku sebagai MC pun sudah selesai. Aku termasuk salah satu anggota pengurus sebuah masjid di kawasan Jakarta Selatan. Dulunya aku belajar mengaji disana, ketika umurku sedikit membesar aku dipersilahkan membimbing adik – adikku yang lain. Secara terencana kami mengadakan Kajian Fiqih itu pada tanggal 23 Mei 2012. Ketika itu aku sudah mulai mengenakan secarik kain untuk menutup wajahku. Tak ada motif aneh – aneh, hanya  ingin membuktikan kepada Rabbku bahwa aku mencintai rasulnya dan ingin mendapatkan cinta Rabbku. Meskipun sebenarnya cintaku pada nabiku pun belum seberapa. Seperempat atom pun tidak, mungkin. Aku tak mampu menebak hatiku, dia berada diantara dua jemari Allah. Mudah bagi Allah untuk mengubahnya nanti atau saat ini. Ya Rabb, teguhkan aku diatas agamamu.
Aku memang sudah berencana menggunakan cadar sejak merangkak ke kelas 3 SMP. Tetapi baru terealisasi saat aku hendak hengkang dari sekolahku tercinta menuju sebuah pesantren yang menuntunku untuk memahami sunnah nabiku dengan lebih baik. Kala itu kekaguman menyelimuti hatiku saat melihat muslimah mengenakan cadar. Dalam benakku mereka terlihat sangat anggun sekali. Bajunya itu seperti gaun indah dari surga. Mereka terlihat begitu mempesona dan berharga. Tentunya hanya Allah yang dapat membeli mereka, bukan dengan rupiah. Tapi dengan surga, insya Allah.
Sebelum – sebelumnya, aku juga memiliki presepsi aneh dengan mereka yang bercadar. Aku termakan oleh isu media. Dan aku sedikit meremehkan mereka : Ekstrim, golongan fanatik, atau istri teroris. Siapa yang menjamin media dapat bersikap objektif dalam melihat persoalan? Sampai suatu ketika Allah menakdirkanku untuk mengikuti Daurah tentang Manhaj Ahlu Sunnah di bogor. Satu hal yang membuatku terpikat adalah keramahan dan senyum manisnya yang menyejukkan untuk saudarinya. Aku kemudian membandingkannya dengan wanita – wanita lain yang mengumbar kecantikannya , awalnya kupikir itu keren, setelah ini aku melihat wanita yang menjaga kecantikannya untuk keluarga dan saudarinya lebih terhormat.
Sepenggal Kisah Tentang Cadar“Kakak… Kenapa bercadar?” kataku penasaran di sebuah ruangan yang mereka sebut sebagai kamar, tetapi lebih terlihat seperti ruang kelas. Kupikir aku makhluk terkecil dalam komunitas ini, oleh sebab itu sekalian saja kupanggil semuanya dengan sebutan “Kakak”
“Dulu, sahabat – sahabat wanita Nabi saat turun ayat Hijab (Al – Ahzab ayat 59) mereka merobek kain yang ada di rumah mereka untuk dipakai menjadi jilbab.” Kira – kira begitulah jawaban kakak itu.
Aku tidak begitu mengingat secara jelas obrolan kami ketika itu. Tetapi kupikir kakak itu menjelaskan hadis dari Ibunda Orang Mukmin, Aisyah Radiallahu ‘anha ini “Mudah-mudahan Allah merahmati wanita-wanita Muhajirin yang pertama-tama, ketika turun ayat ini: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka.” (QS. Al Ahzab: 31), mereka merobek selimut mereka lalu mereka berkerudung dengannya.” (HR. Bukhari, Abu Dawud, Ibnu Jarir, dan lainnya). Kemudian Ibnu Hajar menjelaskan : “Perkataan : lalu mereka berkerudung dengannya” maksudnya mereka menutupi wajah mereka.
Mulai saat itu, hancurlah karang paradigma aneh yang bersemayam di otakku. Ternyata mereka tidaklah fanatik! Tampaknya, kita terburu – buru mengambil kesimpulan sebelum meneliti dan menimbang. Itulah mengapa, Allah, dalam surat Al-Hujurot ayat 6, menyuruh kita untuk memahami sebuah persoalan terlebih dahulu baru mengambil sikap.
 “Wahai orang – orang yang beriman, jika ada seorang fasiq datang kepadamu dengan membawa berita, maka carilah berita itu supaya kamu (tidak) menimpakan tuduhan kepada suatu kaum dengan kebodohan, akibatnya kamu akan menyesal terhadap apa yang kamu perbuat.”
Mengenakan cadar bagiku merupakan hadiah terindah dari sekian hadiah terindah lainnya yang Allah berikan padaku. Karena saat aku mengungkapkan niatku kepada ibuku, aku tidak mendapatkan penolakkan berarti. Aku beruntung memiliki ibu yang bersikap toleran seperti dirinya. Aku lebih beruntung dari saudari – saudariku yang lain ketika hendak mengenakan hijab ini. Itulah mengapa aku begitu percaya diri dan menganggap bagiku ini perkara mudah. Tak pernah terbesit di pikiranku bahwa kain mungil ini akan membawa presepsi salah pada masyarakat sekitarku, khususnya adik – adik TPA yang aku ajari.
Mereka berteriak “TERORIS… TERORIS… TERORIS…!”
Tentu saja aku tersentak kaget. Aku masih ingat saat aku ikut bermain lompat tali dan tertawa menikmati masa kecil bersama mereka. Masih tersimpan manis di memori ingatanku saat aku merayunya agar ia mau mengerjakan sholat dengan baik. Juga kenakalan mereka yang membuatku tersenyum dan menahan sabar. Aku masih ingat itu! Benar, mereka adik –adikku yang telah kudidik dengan kasih sayang, ku berikan nasehat – nasehat tentang Keesan Tuhan, kini melontarkan perkataan itu. Dadaku terasa panas, air mataku ingin keluar. Tak ingin dibilang cengeng, aku menahannya.
“Idih, lebay banget, dah! Kakak – kakak yang lain aja nggak pake kayak gituan, tuh!”
“Bukannya di Indonesia dilarang pakai cadar, ya?”
“Kakak kayak kuntilanak!” (Seketika aku berpikir bahwa kunti itu bajunya putih bukan ungu!)
“Kayak Ninja…! Hahah.”
“Kakak kayak orang gila, dah!”
Itu adalah ungkapan jujur yang jika saja Allah tidak merahmatiku, mungkin akan membuatku tersungkur dengan mata terbelalak. Tetapi aku berusaha tersenyum di balik cadarku. Meskipun mereka tidak melihat bahwa aku tersenyum, setidaknya mataku menyiratkan hal demikian.
Setelah kejadian itu aku menuliskan surat untuk adik – adikku tercinta. Yang sampai saat ini belum ku berikan. Entah, aku hanya mampu mengucapkan, “Cadar itu sunnah nabi, sayang. Kalau kita menggunakan cadar mendapat pahala jika tidak juga tak apa – apa. Tapi yang pasti menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan adalah wajib.”
Tetapi ku rasa, inilah saat yang tepat untuk mengungkapkan kegalauanku pada mereka. Semoga mereka membacanya.
“Teruntuk adik – adikku tersayang….
“Siapa yang membenci sunnahku, maka dia bukan golonganku” itulah saba Rasul kita.
Aku tidak memaksa kalian untuk berhenti mengolok – olokku. Apalah hargaku ini. Aku hanyalah manusia biasa yang tak lepas dari kesalahan.  Tetapi, aku benar – benar takut saat engkau mengolok – olok sunnah nabimu sendiri. Aku takut itu akan membawa petaka bagimu.
Adikku, apa yang kakakmu kenakan saat ini bukanlah ajang memamerkan diri, menganggap diri sok suci, bukan! Semua ini kakak lakukan karena Allah semata dan berusaha mencintai sunnah nabi yang suci. Dan dengan ini kakak ingin kalian juga terbiasa untuk mencintai Nabi kalian sendiri sehingga kita bisa dicinta oleh Allah.
Adikku, jika kalian ingin mengejekku itu terserah kalian. Tetapi yang perlu kalian ingat bahwa setiap apa yang kita perbuat dicatat oleh malaikat untuk dilaporkan kepada Allah, hakim yang paling adil. Entah itu kebaikan atau keburukan.
Tetapi yang kakak mohon kepada kalian, tolong hargai sunnah nabi kalian. Karena jika tidak, kakak takut perkataan yang menurut kalian sepele itu membuat kalian keluar dari agama yang lurus ini.
Semoga Allah mengampuni dosaku yang tak terhitung dan merhamati kita semua. Amin”
Tiba – tiba saja, ustadzah yang mengisi kajian Fiqih Wanita mengelus pundakku setelah shalat magrib selesai dilaksanakan. “Sing istiqamah ya, ndok…” Kata- kata itu masih terngiang – ngiang dalam benakku bersamaan dengan menghitamnya awa
Istiqamah dan perputaran waktu seperti sebuah garis yang berbanding terbalik. Semakin sering jarum jam mengulang putarannya, semakin sulit mempertahankan keistiqamahan agar tidak terus mengempis dan terus mengempis.  Berapa banyak orang yang keluar dari lingkaran keimanannya karena tak sanggup memegang bara kesitiqamahan di tangannya.  Sungguh tidak ada daya dan upaya melainkan atas pertolongan Allah. Entahlah! Aku sendiri masih ragu, mungkinkah aku dapat melakukannya?n dan bergulirnya malam.
Mungkin! Jika niat karena Allah Ta’ala.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home