Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Muthaffifiin (Orang-orang yang Curang)
Surah Makkiyyah; Surah ke 83: 36 ayat
“BismillaaHir rahmaanir rahiim.
1. kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, 2. (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, 3. dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. 4. tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa Sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, 5. pada suatu hari yang besar, 6. (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?” (al-Muthaffifiin: 1-6)
An-Nasa-i dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, dia menceritakan bahwa setelah Nabi saw. sampai di Madinah, mereka [penduduk Madinah] adalah yang paling buruk dalam hal timbangan, sehingga Allah menurunkan ayat: wailul lil muthaffifiin (“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang.”) oleh karena itu, merekapun memperbaiki timbangan setelah itu. Dan yang dimaksud dengan at-tathfiif disini adalah kecurangan dalam timbangan dan takaran, baik dengan menambah jika minta timbangan dari orang lain, maupun mengurangi jika memberikan timbangan kepada mereka. Oleh karena itu, Allah menafsirkan al-muthaffifiin sebagai orang-orang yang Dia janjikan dengan kerugian dan kebinasaan, yaitu al-wail (kecelakaan besar), dengan firman-Nya: alladziina idzaktaaluu ‘alannaasi (“[yaitu] orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain.”) yakni dari orang-orang. Yastaufuun (“mereka minta dipenuhi.”) yaitu mereka mengambil hak mereka secara penuh dan bahkan berlebih. Wa idzaa kaaluuHum aw wajanuuHum yukhsiruun (“Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.”) yakni mereka mengurangi. Dan pendapat yang terbaik menjadi “kaaluu” dan “wazanuu” sebagai muta’addi dan “Hum” menempati nashab. Dan ada juga di antara para ahli tafsir yang menjadikan “Hum” sebagai dhamir untuk mempertegas dhamir yang tidak terlihat kata “kaaluu” dan “wazanuu”, dan maf’ul (obyek) dihilangkan untuk menunjukkan pembicaraan padanya. Dan keduanya mempunyai makna yang berdekatan. Dimana Allah telah memerintahkan untuk menimbang dan menakar secara sempurnya, Dia berfirman: wa auful kaila idzaa kiltum wazinuu bil qisthaasil mustaqiimi dzaalika khairuw wa ahsanu ta’wiilan (“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar dan timbanglah dengan neraca yang benar. Yang demikian itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akitabnya.”) (al-Israa’: 35)
Dan Allah telah membinasakan kaum Nabi Syu’aib dan menghancurkan mereka karena mereka telah berbuat curang kepada orang lain dalam hal timbangan dan takaran. Kemudian Dia berfirman seraya mengancam mereka: alaa yadhunnu ulaa-ika annaHum mab’uutsuuna liyaumin ‘adhiim (“Tidakkah orang-orang itu yakin bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar?”) maksudnya, apakah orang-orang itu tidak merasa takut akan hari kebangkitan dan berdiri di antara Rabb yang mengetahui segala rahasia dan tidak tampak, pada hari yang sangat mengerikan, banyak yang menakutkan, dan banyak pula yang menyeramkan. Orang yang merugi pada hari itu akan dimasukkan ke neraka yang sangat panas.
Firman Allah: yauma yaquumun naasu lirabbil ‘aalamiin (“[yaitu] hari [ketika] manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam.”) maksudnya, mereka berdiri dalam keadaan telanjang kaki dan tidak berbusana, tidak pula disunat, dalam keadaan yang sangat sulit, menyusahkan, lagi sempit, bagi orang-orang yang suka berbuat dosa, dan atas perintah Allah mereka akan dicekam oleh berbagai hal yang dapat melemahkan kekuatan dan indera mereka. Imam Malik meriwayatkan dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar, bahwa Nabi saw. bersabda: “Pada hari ummat manusia berdiri menghadap kepada Rabb seru sekalian alam, sehingga ada salah seorang di antara mereka yang tenggelam dalam keringatnya sampai pertengahan dua telinganya.” (HR Bukhari dan Muslim)
“7. sekali-kali jangan curang, karena Sesungguhnya kitab orang yang durhaka tersimpan dalam sijjin, 8. tahukah kamu Apakah sijjin itu? 9. (ialah) kitab yang bertulis. 10. kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan,11. (yaitu) orang-orang yang mendustakan hari pembalasan. 12. dan tidak ada yang mendustakan hari pembalasan itu melainkan Setiap orang yang melampaui batas lagi berdosa,13. yang apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata: “Itu adalah dongengan orang-orang yang dahulu” 14. sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.15. sekali-kali tidak, Sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari (rahmat) Tuhan mereka. 16. Kemudian, Sesungguhnya mereka benar-benar masuk neraka. 17. Kemudian, dikatakan (kepada mereka): “Inilah azab yang dahulu selalu Kami dustakan.” (al-Muthaffifiin: 7-17)
Dengan haq Allah berfirman: Kallaa inna kitaabal fujjaari lafii sijjiin (“Sesungguhnya kitab orang yang durhaka tersimpan dalam sijjin.”) maksudnya, sesungguhnya tempat kembali dan tempat tinggal mereka adalah neraka sijjin. Kata sijjin merupakan wazan fa’iil dari kata as-sijn yang berarti tempat yang sempit. Sebagaimana muncul kata fasiiq, syafiib dan lain-lain semisalnya. Oleh karena itu urusannya menjadi besar, dimana Allah Ta’ala berfirman: wa maa adraaka maa sijjiin (“Tahukah kamu apakah sijin itu?”)
Maksudnya hal itu merupakan suatu masalah yang sangat besar, penjara yang kekal abadi dan adzab yang sangat pedih. Kemudian ada beberapa orang yang mengemukakan: “Sijjiin ini berada di lapisan bumi ke tujuh.” Dan yang benar, kata sijjin itu diambil dari kata as-sijn yang berarti tempat yang sempit (penjara). Karena setiap makhluk ciptaan yang berada lebih rendah maka akan lebih sempit, dan setiap yang lebih tinggi akan lebih luas. Masing-masing dari tujuh lapis langit lebih lebih luas dan lebih tinggi daripada yang berada di bawahnya. Demikian juga bumi, dimana setiap lapisan lebih luas daripada lapisan yang lebih rendah sehingga sampai pada lapisan yang paling bawah dan tempat yang paling sempit sampai ke pusat di pertengahan bumi yang ketujuh, yang menyatukan kesempitan dan bagian bawah, sebagaimana yang difirmankan Allah: wa idzaa ulquu minHaa makaanan dloyyiqam muqarraniina da-‘au Hunaalika tsubuuran (“Dan apabila mereka dilemparkan ke tempat yang sempit di neraka itu dengan dibelenggu, mereka di sana mengharapkan kebinasaan.”)(al-Furqaan: 13)
Firman Allah: kitaabum maarquum (“Kitab yang bertulis.”) penggalan ayat ini bukan merupakan penafsiran bagi firman-Nya: wa maa adraaka maa sijjiin (“Tahukah kamu apa sijjin itu?”) melainkan ia merupakan penafsiran bagi apa yang telah dituliskan bagi merekap berupa tempat kembali ke neraka sijjin, yakni tercatat dan tertulis, tidak ada pengurangan atau penambahan di dalamnya bagi seorang pun. Demikian yang dikemukakan oleh Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi.
(bersambung ke bagian 2)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home