Our Life

Tuesday, December 20, 2016

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al Hasyr (bagian kedua)

Firman Allah: wa may yuuqa syuhha nafsiHii fa ulaa-ika Humul muflihuun (“Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”) maksudnya, barangsiapa yang bersih dari sifat kikir, maka dia benar-benar beruntung dan berhasil.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda: “Jauhilah kedhaliman oleh kalian karena kedhaliman itu adalah kegelapan pada hari kiamat. Dan jauhilah sifat kikir dari kalian, karena sifat kikir ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian, membawa mereka kepada pertumpahan darah di antara mereka, dan penghalalan hal-hal yang haram bagi mereka.”
Hadits riwayat Muslim dari al-Qa’anbi, dari Dawud bin Qais dengan lafadznya.

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Anas bin Malik, dari Rasulullah saw. beliau bersabda: “Terbebas dari sifat kikir orang yang menunaikan zakat, menjamu tamu dan memberi pada saat musibah.”

Dan firman Allah: walladziina jaa-uu mim ba’diHim yaquuluuna rabbanaghfirlanaa wa li-ikhwaaninalladziina sabaquunaa bil iimaani wa laa taj’al fii quluubinaa ghillal lilladziina aamanuu rabbanaa innaka ra-uufur rahiim (“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka [Muhajirin dan Anshar], mereka bedoa: ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Mahapenyantun lagi Mahapenyayang.’”)

Mereka ini adalah kelompok ketiga, orang-orang fakir dari mereka berhak mendapatkan harta fa’i, setelah kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Yaitu kelompok [orang] yang mengikuti mereka dengan baik. Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surah at-Taubah yang artinya: “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama [masuk Islam] di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridla kepada mereka dan mereka pun ridla kepada Allah.” (at-Taubah: 100)

Dengan demikian, orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik adalah orang-orang yang mengikuti jejak langkah mereka yang baik dan sifat-sifat mereka yang luhur, yang senantiasa mendoakan mereka dengan sembunyi-sembunyi dan terang-terangan. Itulah sebabnya, di dalam ayat ini Allah Ta’ala berfirman: walladziina jaa-uu mim ba’diHim yaquuluuna (“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka [Muhajirin dan Anshar], mereka berdoa.”) yakni berkata: “Rabbanaghfirlanaa wa li-ikhwaaninalladziina sabaquunaa bil iimaani wa laa taj’al fii quluubinaa ghillan (“Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami,”) yakni murka dan hasad. lilladziina aamanuu rabbanaa innaka ra-uufur rahiim (“Terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Mahapenyantun lagi Mahapenyayang.’”)

Betapa bagusnya kesimpulan Imam Malik dari ayat ini, bahwa kaum Rafidhah [sempalan paham Syi’ah] yang telah mencaci maki para Shahabat Nabi tidak berhak mendapatkan harta fa’i ini, karena dalam diri mereka tidak terdapat sifat-sifat yang ada pada orang-orang yang telah dipuji Allah, yaitu orang-orang yang mengatakan: “Rabbanaghfirlanaa wa li-ikhwaaninalladziina sabaquunaa bil iimaani wa laa taj’al fii quluubinaa ghillal lilladziina aamanuu rabbanaa innaka ra-uufur rahiim (“Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Mahapenyantun lagi Mahapenyayang.”)”

Ismail bin ‘Ulayyah meriwayatkan dari ‘Aisyah, ia berkata: “Kalian telah diperintahkan memohon ampunan bagi para shahabat Muhammad saw. tetapi kalian justru mencaci-maki mereka. Sesungguhnya aku pernah mendengar Nabi kalian bersabda: “Umat ini tidak akan binasa, sehingga orang-orang terakhir dari mereka melaknat para pendahulunya.” (HR al-Baghawi).

tulisan arab alquran surat al hasyr ayat 11-17“11. Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang munafik yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahli kitab: “Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya Kamipun akan keluar bersamamu; dan Kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk (menyusahkan) kamu, dan jika kamu diperangi pasti Kami akan membantu kamu.” dan Allah menyaksikan bahwa Sesungguhnya mereka benar-benar pendusta. 12. Sesungguhnya jika mereka diusir, orang-orang munafik itu tidak akan keluar bersama mereka, dan Sesungguhnya jika mereka diperangi, niscaya mereka tidak akan menolongnya; Sesungguhnya jika mereka menolongnya, niscaya mereka akan berpaling lari ke belakang; kemudian mereka tidak akan mendapat pertolongan. 13. Sesungguhnya kamu dalam hati mereka lebih ditakuti daripada Allah. yang demikian itu karena mereka adalah kaum yang tidak mengerti. 14. mereka tidak akan memerangi kamu dalam Keadaan bersatu padu, kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok. permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah belah. yang demikian itu karena Sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengerti. 15. (mereka adalah) seperti orang-orang Yahudi yang belum lama sebelum mereka telah merasai akibat buruk dari perbuatan mereka, dan bagi mereka azab yang pedih. 16. (Bujukan orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan) shaitan ketika Dia berkata kepada manusia: “Kafirlah kamu”, Maka tatkala manusia itu telah kafir, Maka ia berkata: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu, karena Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb semesta alam”. 17. Maka adalah kesudahan keduanya, bahwa Sesungguhnya keduanya (masuk) ke dalam neraka, mereka kekal di dalamnya. Demikianlah Balasan orang-orang yang zalim.” (al-Hasyr: 11-17)

Allah memberitakan tentang orang-orang munafik seperti ‘Abdullah bin Ubay dan lain-lain ketika mereka mengirim seorang utusan kepada Bani an-Nadhir untuk menjanjikan bantuan kepada mereka. Allah berfirman: alam taraa ilalladziina naafaquu yaquuluuna li-ikhwaaniHimulladziina kafaruu min aHlil kitaabi la-in ukhrijtum lanakhrujanna ma’akum wa laa nuthii’u fiikum ahadan abadaw wa ing quutiltum lananshurunnakum (“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang munafik yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahli Kitab: ‘Sesungguhnya jika kamu diusir, niscaya kamipun akan keluar bersamamu, dan kami selama-lamanya tidak patuh kepada siapapun untuk [menyusahkan]mu, dan jika kamu diperangi pasti kami akan membantumu.’”)

Allah berfiman: wallaaHu yasyHadu innaHum lakaadzibuun (“Dan Allah menyaksikan bahwa sesungguhnya mereka benar-benar pendusta.”) maksudnya mereka bohong dalam hal bantuan yang akan mereka berikan itu. Boleh jadi mereka telah mengatakan sesuatu, namun mereka tidak bermaksud melaksanakan ucapan itu. Atau karena tidak terjadi dari mereka apa yang telah mereka ucapkan itu. Oleh karena itu, Allah berfirman: wa la in quutiluu laa yanshuruunaHum (“Dan sesungguhnya jika mereka diperangi, niscaya mereka tidak akan menolongnya.”) yaitu tidak mau ikut berperang bersama mereka. Wa la in nasharuuHum (“Sesungguhnya jika mereka menolongnya.”) yakni ikut berperang bersama mereka, layuwalluunnal adbaara tsumma laa yunsharuun (“niscaya mereka akan berpaling lari ke belakang, kemudian mereka tidak akan mendapat pertolongan.”) ini merupakan berita yang berdiri sendiri. Dan setelah itu Allah berfirman: la antum asyaddu raHbatan fii shuduuriHim minallaaHi (“Sesungguhnya kamu dalam hati mereka lebih ditakuti daripada Allah”) maksudnya mereka lebih takut kepada kalian daripada takut kepada Allah. Hal ini seperti firman-Nya yang artinya: “Tiba-tiba sebagian dari mereka [golongan munafik] takut kepada manusia seperti takutnya kepada Allah, bahkan takutnya lebih sangat dari itu.” (an-Nisaa’: 77).

Oleh karena itu Allah berfirman: dzaalika bi annaHum qaumul laa yafqaHuun (“Yang demikian itu karena mereka adalah kaum yang tidak mengerti.”) firman Allah selanjutnya: laa yuqaatiluunakum jamii’an illaa fii quram muhash-shanatin aw miw-waraa-i judur (“Mereka tidak akan memerangimu dalam keadaan bersatu padu, kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng atau dari balik tembok.”) yakni karena sifat pengecut dan kegundahan hati mereka, mereka tidak mampu menghadapi tentara Islam, baik dengan perang tanding atau berhadapan langsung, tetapi dengan berlindung di dalam benteng, atau dari balik tembok-tembok dalam keadaan terkepung; mereka tidak akan berperang karena terpaksa guna mempertahankan diri.

Dan setelah itu Allah berfirman: ba’suHum bainaHum syadiid (“Permusuhan antara sesama mereka adalah sangat berat.”) maksudnya permusuhan di antara sesama mereka sungguh sangat dahsyat. Oleh karena itu Allah berfirman: tahsabuHum jamii’aw wa quluubuHum syattaa (“Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah.”) maksudnya engkau lihat mereka berkumpul, sehingga engkau mengira mereka bersatu padu, padahal mereka itu berada dalam perpecahan yang amat sangat.
Ibrahim an-Nakha’i mengemukakan: “Yakni Ahlul Kitab dan orang-orang munafik.”

Dzaalika bi annaHum qaumul laa ya’qiluun (“Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengerti.”)

Setelah itu Allah berfirman: kamatsalil ladziina ming qabliHim qariiban dzaaquu wa baala amriHim wa laHum ‘adzaabun aliim (“[mereka] seperti orang-orang Yahudi yang belum lama sebelum mereka telah merasa akibat buruk dari perbuatan mereka dan bagi mereka adzab yang pedih.”) Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Mereka adalah orang-orang sebelum mereka, yaitu orang-orang Yahudi Bani Qainuqa’.” Demikian pula menurut Qatadah dan Muhammad bin Ishaq.

Dan firman Allah: kamatsalisy syaithaani idz qaala lil insaanikfur falammaa kafara qaala innii barii-um mingka (“[Bujukan orang-orang munafik itu] seperti [bujukan] syaithan ketika ia berkata kepada manusia: ‘Kafirlah kamu.’ Maka tatkala manusia itu kafir, ia berkata: ‘Sesungguhnya aku berlepas diri darimu.’”) yaitu perumpamaan orang-orang Yahudi ketika ditipu oleh orang-orang munafik yang telah menjanjikan akan memberikan bantuan kepada mereka, dan ucapa orang-orang munafik kepada mereka: “Jika kamu diperangi, maka kami akan membantumu.” Namun tatkala benar terjadi dan mereka terkepung serta diperangi, orang-orang munafik itu berlepas diri dan membiarkan mereka hancur binasa, maka perumpamaan seperti ini seperti perumpamaan syaitan yang telah membujuk manusia untuk kafir –kita berlindung kepada Allah darinya-. Tetapi setelah masuk ke dalam bujukannya, syaitan itu berlepas diri seraya berkata: inii akhaafullaaHa rabbal ‘aalamiin (“Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb semesta alam.”)

Sebagian ahli tafsir menuturkan kisah tentang sebagian ahli ibadah dari kalangan bani Israil sebagai contoh saja dari perumpamaan di atas, bukan berarti inilah yang dimaksud dengan perumpamaan tersebut, tetapi kisah ini juga termasuk peristiwa-peristiwa serupa yang merupakan bagian darinya. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abu Ishaq, ia berkata: Aku pernah mendengar ‘Abdullah bin Nuhaik menuturkan bahwa ‘Ali ra. berkata: Sesungguhnya ada seorang rahib telah beribadah selama 60 tahun dan syaitan pun hendak menggodanya namun tidak pernah berhasil dan membuatnya kelelahan. Maka syaitan itu menggunakan seorang wanita dan membuatnya gila. Wanita itu mempunyai beberapa orang saudara, lalu syaitan berkata kepada mereka: “Pergilah kalian kepada pendeta ini, karena ia bisa mengobatinya.” Maka saudara-saudaranya itu mendatangi rahib itu. Kemudian si rahib pun mengobatinya, dan wanita itu tinggal bersamanya.
Pada suatu hari ketika si rahib berada di tempat wanita, hatinya pun tertarik oleh wanita itu, lalu menggaulinya hingga akhirnya wanita itupun hamil. Kemudian rahib itu mendatangi wanita itu dan membunuhnya. Ketika saudara-saudara wanita itu datang, syaitan pun berkata kepada si rahib: “Aku adalah shahabatmu. Sesungguhnya engkau telah membuatku kelelahan. Aku yang telah membuatmu seperti ini. Karena itu taatilah aku, niscaya aku akan menyelamatkan dirimu dari apa yang kuperbuat terhadapmu. Bersujudlah kepadaku sekali saja.” maka rahib itupun sujud kepadanya. Setelah ia bersujud, syaitan itu berkata: “Sesungguhnya aku berlepas diri darimu, sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb semesta alam.” Dan itulah makna firman Allah: kamatsalisy syaithaani idz qaala lil insaanikfur falammaa kafara qaala innii barii-um mingka innii akhaafullaaHa rabbal ‘aalamiin. (“[Bujukan orang-orang munafik itu] seperti [bujukan] syaithan ketika ia berkata kepada manusia: ‘Kafirlah kamu.’ Maka tatkala manusia itu kafir, ia berkata: ‘Sesungguhnya aku berlepas diri darimu. Karena sesungguhnya aku takut kepada Rabb semesta alam.’”)
Kemudian rahib itu pun ditangkap lalu dibunuh.’”

Hal senada juga diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Thawus dan Muqatil bin Hayyan.
Terkenal di kalangan banyak orang bahwa rahib yang taat beribadah itu bernama Barshish. wallaaHu a’lam.

Kisah di atas bertolak belakang dengan kisah Juraij, seorang ahli ibadah. Juraij dituduh oleh seorang wanita pelacur bahwa ia telah berzina dengan dirinya, dan mengaku bahwa kehamilannya itu hasil hubungannya dengan Juraij. Kemudian ia melaporkan hal tersebut kepada pihak yang berwajib, lalu Juraij diperintahkan untuk keluar dari tempat ibadahnya, dan tempat ibadahnya itu dirusak. Juraij berkata: “Mengapa kalian berbuat demikian?” maka mereka berkata: “Wahai musuh Allah, engkau telah melakukan ini dan itu terhadap wanita ini.” Maka Juraij berkata: “Sabarlah.” Kemudian ia mengambil anak wanita itu yang masih sangat kecil, lalu berkata: “Hai si kecil, siapakah ayahmu?” “Ayahku seorang penggembala,” jawab si anak tersebut.

Sebenarnya wanita itu berzina dengan seorang penggembala kambing hingga ia hamil. Dan setelah bani Israil mengetahui kebenaran tersebut, maka merekapun mengagungkan Juraij dan memberikan hormat kepadanya. Mereka berkata: “Kami akan membangun kembali tempat ibadahmu itu dari emas.” Tetapi Juraij berkata: “Tidak, tetapi bangun kembali bangunan itu dari tanah seperti semula.”

Dan firman Allah: fa kaana ‘aaqibataHumaa annaHumaa finnaari khaalidiina fiiHaa (“Maka adalah kesudahan keduanya, bahwa sesungguhnya keduanya [masuk] ke dalam neraka, mereka kekal di dalamnya.”) maksudnya [kesudahan] akhir bagi orang yang memerintahkan kepada kekufuran dan pelakunya itu sendiri adalah di dalam neraka jahanam, mereka kekal di dalamnya. Wa dzaalika jazaa-udh dhaalimiin (“Demikianlah balasan orang-orang yang dhalim.”) yakni balasan bagi setiap orang yang berbuat kedhaliman.

tulisan arab alquran surat al hasyr ayat 18-20“18. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. 19. dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. mereka Itulah orang-orang yang fasik. 20. tidaklah sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni jannah; penghuni-penghuni jannah Itulah orang-orang yang beruntung.” (al-Hasyr: 18-20)

Imam Ahmad meriwayatkan dari al-Mundzir bin Jarir, dari ayahnya, ia berkata: Kami pernah bersama Rasulullah saw. di permulaan siang. Lalu ada suatu kaum yang mendatangi beliau dalam keadaan tidak beralaskan kaki, tidak berpakaian, membungkus diri dengan kulit macan atau sejenis mantel dengan menyandang pedang. Kebanyakan mereka berasal dari Mudharr, bahkan seluruhnya berasal dari suku Mudharr. Maka [raut] wajah Rasulullah saw. pun berubah ketika melihat keadaan mereka yang demikian miskin itu. Kemudian beliau masuk, lalu keluar lagi dan memerintahkan Bilal mengumandangkan adzan. Maka Bila mengumandangkan adzan kemudian iqamah.

Lalu beliau mengerjakan shalat, setelah itu beliau berkhutbah: “Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu…’ sampai akhir ayat.- lalu beliau membaca ayat yang terdapat dalam surah al-Hasyr: ‘Dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk esok hari.’ Seseorang menyedekahkan sebagian dari dinar, dirham, pakaian, satu sha’ gandum dan satu sha’ kurma..’ –hingga akhirnya beliau mengatakan-: “…meskipun hanya dengan satu belah kurma.”

Kemudian ada seorang dari kaum Anshar yang datang membawa satu kantong, hampir saja telapak tangannya tidak mampu mengangkatnya, bahkan memang tidak mampu. Lalu orang-orang mengikuti sehingga aku melihat dua tumpukan dari makanan dan pakaian, sehingga aku melihat wajah Rasulullah saw. berseri-seri bagaikan disepuh emas. Kemudian beliau bersabda: “Barang siapa yang memulai suatu sunnah yang baik dalam Islam, maka baginya pahala sunah yang baik itu dan pahala orang-orang yang melakukan sesudah dirinya tanpa mengurangi dari pahala baik itu sedikitpun. Dan barangsiapa memulai suatu sunnah yang buruk dalam Islam, maka baginya dosa sunnah yang buruk itu dan dosa orang-orang yang melakukannya tanpa mengurangi dari dosa mereka sedikitpun.”
Hadits tersebut diriwayatkan pula oleh Muslim saja [tanpa al-Bukhari] melalui penuturan Syu’bah dengan sanad seperti tersebut.

Dengan demikian firman Allah Ta’ala: yaa ayyuHal ladziina aamanut taqullaaHa (“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah.”) merupakan perintah untuk senantiasa bertakwa kepada-Nya, dan itu mencakup pelaksanaan semua perintah-Nya, dan meninggalkan semua larangan-Nya.

Dan firman Allah: wal tandhur nafsum maa qaddamat lighad (“dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok,”) maksudnya hisablah diri kalian sebelum dihisab oleh Allah. Dan lihatlah apa yang telah kalian tabung untuk diri kalian sendiri berupa amal shalih untuk hari kemudian dan pada saat bertemu dengan Rabb kalian. wattaqullaaHa (“dan bertakwalah kepada Allah”) merupakan penegasan kedua. innallaaHa khabiirum bimaa ta’maluun (“Sesungguhnya Allah Mahamengetahui apa yang kamu kerjakan.”) maksudnya ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah mengetahui seluruh perbuatan kalian dan keadaan kalian. Tidak ada sedikitpun yang tersembunyi dari-Nya, baik perkara kecil maupun besar.

Dan firman Allah Ta’ala: walaa takuunuu kalladziina nasullaaHa fa ansaaHum anfusaHum (“dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa terhadap diri mereka sendiri.”) yakni janganlah kalian lupa berdzikir kepada Allah sehingga Allah pun menjadikan kalian lupa berbuat untuk kepentingan kalian sendiri yang bermanfaat bagi kalian di akhirat kelak, karena sesungguhnya balasan itu sesuai dengan amal perbuatan. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman: ulaa-ika Humul faasiquun (“Mereka itulah orang-orang yang fasik.”) yakni orang-orang yang keluar dari ketaatan kepada Allah, yang binasa pada hari kiamat, dan merugi pada hari pembalasan kelak. Sebagaimana firman Allah yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalikanmu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (al-Munaafiquun: 9).

Firman-Nya lebih lanjut: laa yastawii ash-haabunnaari wa ash-haabul jannaH (“Tidak sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga.”) maksudnya para penghuni surga dan penghuni neraka itu tidak akan sama di hadapan hukum Allah pada hari kiamat kelak. Dan dalam ayat-ayat lain terdapat dalil yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala memuliakan orang-orang yang baik dan menghinakan orang-orang yang jahat. Oleh karena itu, di sini Allah Ta’ala berfirman: ash-haabul jannati Humul faa-izuun (“Para penghuni surga itulah orang-orang yang beruntung.”) yakni orang-orang yang selamat dan terbebas dari adzab Allah swt.

tulisan arab alquran surat al hasyr ayat 21-24“21. kalau Sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir. 22. Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. 23. Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, yang Maha Suci, yang Maha Sejahtera, yang Mengaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha perkasa, yang Maha Kuasa, yang memiliki segala Keagungan, Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. 24. Dialah Allah yang Menciptakan, yang Mengadakan, yang membentuk Rupa, yang mempunyai asmaaul Husna. bertasbih kepadanya apa yang di langit dan bumi. dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (al-Hasyr: 21-24)

Dalam firman-Nya ini, Allah mengagungkan perkara al-Qur’an dan menjelaskan kedudukannya yang tinggi. Karena itu seyogyanya seluruh hati manusia tunduk kepadanya dan tidak terpecah belah mendengarnya, karena di dalamnya terdapat janji yang benar dan ancaman yang keras: lau anzalnaa Haadzal qur-aana ‘alaa jabalil lara-aitaHuu khaasyi’am mushaddi’am min khsy-yatillaaH (“Dan sekiranya Kami menurunkan Al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah.”)

Yakni jika gunung yang perkasa dan keras, seandainya ia memahami makna al-Qur’an ini, lalu merenungkannya, niscaya ia akan tunduk terpecah belah karena rasa takut kepada Allah. Lalu apakah patut bagi kalian, wahai sekalian umat manusia, bila hati kalian tidak bersikap lunak, tunduk dan patuh karena rasa takut kepada Allah, padahal kalian dapat memahami perintah Allah dan merenungkan Kitab-Nya? oleh karena itu Allah berfirman: wa tilkal amtsaalu nadl-ribuHaa linnaasi la’allaHum yatafakkaruun (“Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.”) dengan demikian, Allah memerintahkan umat manusia jika turun al-Qur’an kepada mereka supaya mereka mengambilnya dengan rasa takut yang mendalam lagi penuh ketundukan.

Di dalam hadits mutawathir telah ditegaskan, bahwa Rasulullah saw. dibuatkan sebuah mimbar. Sebelumnya ketika berkhutbah beliau berdiri di sisi batang kurma yang ada di dalam masjid. Tatkala mimbar itu pertama kali dipasang, datanglah beliau untuk berkhutbah lalu melewati batang pohon kurma menuju mimbar. Pada saat itu batang kurma tersebut merintih seperti anak kecil, dan berhenti setelah mendengar dzikir dan wahyu di sisinya.
Menurut sebagian riwayat hadits, al-Hasan al-Bashri berkata setelah mengutip hadits ini: “Maka kalian lebih berhak untuk merindukan Rasulullah saw. daripada batang kurma ini.”

Demikian pula ayat suci ini, seandainya gunung-gunung yang tuli itu mendengar dan memahami firman Allah Ta’ala, pasti akan tunduk dan terpecah belah karena takut kepada-Nya. Lalu bagaimana dengan kalian, padahal kalian telah mendengar dan memahami firman-firman-Nya? Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Padahal di antara batu-batuan itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang terbelah, lalu keluarlah mata air darinya dan di antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah.” (al-Baqarah: 74).

Selanjutnya firman Allah: HuwallaaHulladzii laa ilaaHa illaa Huwa ‘aalimul ghaibi wasy syaHaadati Huwar rahmaanur rahiim (“Dialah Allah yang tidak ada ilah [yang haq] selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Dialah yang Mahapemurah lagi Mahapenyayang.”) Allah Ta’ala memberitahukan bahwa tidak ada ilah yang haq selain Dia, karena itu tidak ada Rabb melainkan Dia semata, dan tidak ada sembahan bagi alam semesta alam kecuali Dia. segala sembahan selain Dia adalah bathil. Dan bahwasannya Dia Mahamengetahui segala yang ghaib dan yang tampak. Artinya, Dia mengetahui seluruh ciptaan ini baik yang tampak oleh pandangan kita maupun yang tidak tampak. Tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya baik di muka bumi ini maupun di langit, kecil maupun besar, bahkan semut kecil yang berada di kegelapan sekalipun.

Dan firman-Nya: Huwar rahmaanur rahiim (“Dia Yang Mahapemurah lagi Mahapenyayang”) penafsiran ayat ini telah dikemukakan di surah al-Faatihah. Artinya, Dia adalah Rabb yang mempunyai sifat rahmat yang sangat luas dan mencakup seluruh makhluk. Jadi Dia adalah yang Mahapemurah di dunia dan akhirat, juga Mahapenyayang di kedua alam tersebut. Allah telah berfirman: wa rahmatii wasi’at kulla syai-in (“Dan Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.”) (al-A’raaf: 156).

Kemudian firman-Nya: HuwallaaHulladzii laa ilaaHa illaa Huwal maliku (“Dia lah Allah yang tidak ada ilah [yang haq] selain, Dia, Raja.”) yakni yang menguasai segala sesuatu, mengendalikan semuanya tanpa ada rintangan dan halangan. Dan firman-Nya: al-kudduus (“Yang Mahasuci”) Wahb bin Munabbih mengatakan: “Yakni Ath-ThaHir [Yang Mahabersih].” Mujahid dan Qatadah mengemukakan: “Yakni al-Mubaarak [Yang Mahasuci].” Ibnu Juraij mengatakan: “Disucikan oleh para Malaikat yang mulia.” As salaam (“Yang Mahasejahtera”) yakni selamat dari segala macam aib dan kekurangan, karena keesempurnaan-Nya dalam dzat, sifat dan perbuatan-Nya.

Dan firman-Nya: almu’minu (“Yang mengaruniai keamanan”) adh-Dhahhak menuturkan dari Ibnu ‘Abbas, ia mengatakan: “Yakni memberikan rasa aman kepada makhluk-Nya bahwa Dia tidak mendhalimi mereka.” Qatadah mengatakan: “Dia mengaruniai rasa aman melalui firman-Nya bahwa Dia adalah benar.” Ibnu Zaid mengatakan: “Yakni membenarkan hamba-hamba-Nya yang beriman dalam keimanan mereka kepada-Nya.”

Firman-Nya lebih lanjut: almuHaiminu (“Yang Mahamemelihara”) Ibnu ‘Abbas dan beberapa ulama mengatakan: “Al-Muhaimin, yakni yang memantau seluruh amal perbuatan makhluk-Nya. Artinya, Dia mengawasi mereka. Sebagaimana firman-Nya: wallaaHu ‘alaa kulli syai-ing syaHiid (“Dan Allah Mahamenyaksikan segala sesuatu.”)(al-Buruuj: 9)

Firman-Nya: al’aziizu (“Yang Mahaperkasa”) yakni atas segala sesuatu dengan menguasai dan menundukkannya. Karenanya, Dia tidak dapat dicapai oleh siapapun karena keperkasaan, keagungan, kemuliaan dan kebesaran-Nya. Oleh karena itu, Allah berfirman: aljabbaarul mutakabbir (“Yang Mahakuasa, Yang memiliki segala keagungan.”) yakni tidak patut kebesaran itu kecuali bagi-Nya, dan tidak ada keagungan kecuali karena keagungan-Nya. sebagaimana dijelaskan dalam hadits shahih: “Keagungan adalah kain kebesaran-Ku, dan kebesaran [kesombongan] adalah selendang-Ku. Barangsiapa yang melepaskan salah satu dari keduanya dari diri-Ku, pasti Aku akan mengadzabnya.” (Sunan Abi Dawud, Sunan Ibnu Majah dan Musnad al-Imam Ahmad)

Menurut Qatadah: “Aljabbar, yaitu yang mencukupi makhluk-Nya sesuai dengan kehendak-Nya.” sedangkan Ibnu Jarir mengungkapkan: “Aljabbaar, yakni yang mengurus seluruh urusan makhluk-Nya dan mengaturnya untuk kebaikan mereka.” Qatadah berkata: “Al-Mutakabbir, yakni Yang Mahaagung dari segala keburukan.”

Setelah itu Allah berfirman: SubhaanallaaHi ‘ammaa yusyrikuuna (“Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”

Firman Allah selanjutnya: HuwallaaHul khaaliqul baari-ul mushawwir (“Dialah Allah, Yang Menciptakan, Yang mengadakan, Yang Membentuk rupa.”) al-Khalq berarti menetapkan. Sedangkan al-Bar-u berarti melaksanakan dan melahirkan apa yang telah ditetapkan ke alam wujud. Dan tidak setiap yang menetapkan dan menyusunnya mampu untuk melaksanakan dan mewujudkannya kecuali Allah.

Seorang penyair memuji orang lain seraya mengungkapkan: “Dan engkau tentu melaksanakan apa yang telah engkau tetapkan, sedangkan sebagian kaum ada yang menetapkan kemudian tidak dapat melaksanakan.” Maksudnya, engkau mampu melaksanakan apa yang telah engkau tetapkan, sementara orang lain tidak mampu melaksanakan apa yang diinginkannya. Dengan demikian, kata al-Khalq berarti menetapkan, sedangkan al-Faryu berarti melaksanakan.

Firman Allah: alkhaaliqul baari-ul mushawwir (“Yang menciptakan, Yang Mengadakan, Yang membentuk rupa.”) yaitu Rabb yang jika menghendaki sesuatu, maka Dia cukup hanya mengucapkan, “Jadilah.” Maka jadilah sesuai bentuk yang dikehendaki-Nya dan rupa yang diinginkan-Nya. sebagaimana firman-Nya: fii ayyi shuuratim maa syaa-a rakkabaka (“Dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, dia menyusun tubuhmu.” (al-Infithaar: 8).

Oleh karena itu, Dia menyebut al-Mushawwir, yakni yang melaksanakan apa yang hendak diwujudkan menurut bentuk yang dikehendaki.

Dan firman Allah selanjutnya: laHul asmaa-ul husnaa (“Yang mempunyai nama-nama yang paling baik.”) penafsiran ayat ini telah disampaikan dalam pembahasan sebelumnya dalam surah al-A’raaf. Dan berikut ini dikemukakan hadits yang terdapat dalam kitab ash-Shahihain, dari Abu Hurairah ra. dari Rasulullah saw.: “Sesungguhnya Allah Ta’ala mempunyai sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu. Barangsiapa dapat menghitungnya [menghafal dan mengamalkannya] maka dia akan masuk surga. Dan Allah itu ganjil, menyukai yang ganjil.”


Dan telah dikemukakan dalam hadits riwayat at-Tirmidzi dan Ibnu Majah, juga dari Abu Hurairah ra. dan setelah sabda beliau: “Allah itu ganjil, menyukai yang ganjil.” Menurut redaksi at-Tirmidzi terdapat tambahan-tambahan (dikatakan bahwa riwayat Asma-ul husna seperti ini dalam Musnad hadits adalah mudraj [perkataan rawi yang bersambung dengan bagian hadits sehingga seolah-olah itu bagian dari hadits, padahal bukan]):

“Dia menyukai yang ganjil, (ia menambahkan): dialah Allah, yang tidak ada ilah [yang berhak diibadahi] melainkan hanya Dia semata, ar-Rahmaan ar-Rahiim [Yang Mahapemurah, lagi Mahapenyayang], al-Malik [Raja], al-Quddus [Yang Mahasuci], as-Salaam [Yang Mahamemberi keselamatan], al-Mu’min [Yang Mahamemberi keamanan], al-Muhaimin [Yang Mahamemelihara], al-‘Aziiz [Yang Mahamulia], al-Jabbar [Yang Mahakuasa untuk memaksakan kehendak-Nya terhadap seluruh makhluk], al-Mutakabbir [Yang Mempunyai segala kebesaran dan keagungan], al-Khaaliq [Yang Menciptakan], al-Baari’ [Yang Mengadakan], al-Mushawwir [Yang Memberi bentuk dan rupa], al-Ghaffar [Yang Mahapengampun], al-QaHHar [Yang Mahaperkasa], al-WaHHab [Yang Mahapemberi], ar-Razzaaq [Yang Mahapemberi rizky], al-Fattaah [Yang Mahapemberi keputusan], al-‘Aliim [Yang Mahamengetahui], al-Qaabidh [yang menyempitkan rizky], al-Baasith [Yang Melapangkan rizky], al-Khaafidh [Yang merendahkan], ar-Raafi’ [Yang Meninggikan], al-Mu’izz [Yang Memuliakan], al-Mudzill [Yang Menghinakan], as-Samii’ [Yang Mahamendengar], al-Bashiir [Yang Mahamelihat], al-Hakam [Yang Menetapkan keputusan atas segala ciptaan-Nya], al-‘Adl [Yang Mahaadil], al-Lathiif [Yang Mahalembut terhadap hamba-Nya], al-Khabiir [Yang Mahamengetahui], al-Haliim [Yang Mahapenyantun], al-‘Adhiim [Yang Mahaagung], al-Ghafuur [Yang Mahapengampun], asy-Syakuur [Yang Mahamensyukuri], al-‘Aliyy [Yang Mahatinggi], al-Kabiir [Yang Mahabesar], al-Hafidz [Yang Mahamemelihara], al-Muqiit [Yang berkuasa memberi setiap makhluk rizkynya, Yang Menjaga dan Melindungi], al-Hasiib [Yang Memberi kecukupan dengan kadar yang tepat], al-Jaliil [Yang Mahamulia, Yang Mahaagung], al-Kariim [Yang Mahapemurah], ar-Raqiib [Yang Mahamengawasi], al-Mujiib [Yang Mahamengabulkan, memperkenankan], al-Waasi’ [Yang Mahaluas], al-Hakiim [Yang Mahabijaksana], al-Waduud [Yang Mahapengasih], al-Majiid [Yang Mahamulia, Mahaterpuji], al-Baaits [Yang menghidupkan kembali, membangkitkan], asy-Syahiid [Yang Mahamenyaksikan], al-Haqq [Yang Mahabenar], al-Wakiil [Pemelihara, Pelindung], al-Qawiyy [Yang Mahakuat], al-Matiin [Yang Mahakokoh], al-Waliyy [Yang Melindungi], al-Hamiid [Yang Mahaterpuji], al-Muhshiyy [Yang Mengumpulkan/mencatat amal perbuatan], al-Mubdi’ [Yang Menciptakan [makhluk] dari permulaan], al-Mu’iid [Yang Menghidupkan kembali], al-Muhyiy [Yang Menghidupkan], al-Mumiit [Yang Mematikan], al-Hayy [Yang Mahahidup], al-Qayyum [Yang terus-menerus mengurus [makhluk-Nya]], al-Waajid [Yang Mengadakan], al-Majiid [Yang Mahaagung], al-Waahid [Yang satu, tunggal], al-Ahad [Yang Mahaesa], al-Fard [Yang Tunggal], ash-Shamad [Yang Mahasempurna, bergantung kepada-Nya segala sesuatu], al-Qaadir [Yang Berkuasa], al-Muqtadir [Yang Mahaberkuasa], al-Muqaddim [Yang Mendahulukan], al-Mu-akhkhir [Yang Mengakhirkan], al-Awwal [Yang awal, yang telah ada sebelum segala sesuatu], al-Akhir [Yang Akhir, Yang tetap ada setelah segala sesuatu musnah], adh-Dhahir [Yang tidak ada sesuatu pun di atas-Nya], al-Baathin [Yang tidak ada sesuatupun menghalangi-Nya], al-Waaliy [Penolong], al-Muta’aaliy [Yang Mahatinggi], al-Barr [Yang Melimpahkan kebaikan], at-Tawwab [Yang Mahamenerima taubat], al-Muntaqim [Yang Mahabelas kasihan], Maalikul Mulk [Raja segala raja], Dzul Jalaali wal Ikraam [Yang Mempunyai keagungan dan kemuliaan], al-Muqsith [Yang Mahaadil], al-Jamii’ [Yang Menghimpun Manusia pada hari kiamat], al-Ghaniyy [Yang Mahakaya], al-Mughni [Yang Menjadikan kaya], al-Maani’ [Yang Menahan], adh-Dharr [Yang Mencelakakan], an-Naafi’ [Yang Memberikan manfaat], an-Nuur [Yang Menerangi], al-Haadi [Yang memberi petunjuk], al-Badii’ [Yang Menciptakan], al-Baaqi [Yang Kekal], al-Waarits [Yang Mewariskan], ar-Rasyiid [Yang Memberi Petunjuk], ash-Shabuur [Yang Mahasabar].”

Sedangkan menurut redaksi Ibnu Majah, terdapat penambahan dan pengurangan, juga ada perbedaan dalam penyusunannya. Dan hal itu telah dikemukakan secara panjang lebar pada pembahasan surah al-A’raaf ayat 180.

Dan firman Allah: yusabbihu laHuu maa fis samaawaati wal ardli (“Bertasbihlah kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi.”) sebagaimana firman-Nya pula: wa im ming syai-in illaa yusabbihu bihamdiHi (“Dan sesungguhnya tidak ada sesutupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya.”)(al-Israa’: 44)

Dan firman-Nya : wa Huwal ‘aziiz (“dan Dialah Yang Mahaperkasa”) artinya tidak ada yang dapat melawan dan mengalahkan-Nya. Alhakiim (“Lagi Mahabijaksana”) yakni, dalam syariat dan ketetapan-Nya.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Mu’qil bin Yasar, Nabi saw. bersabda: “Barangsiapa ketika bangun pagi mengucapkan tiga kali: a’uudzubillaaHis samii’il ‘aliimi minasy syaithaanir rajiim [Aku berlindung kepada Allah Yang Mahamendengar lagi Mahamengetahui dari syaitan yang terkutuk], lalu membaca tiga ayat dari akhir surah al-Hasyr, maka Allah menugaskan kepadanya tujuh puluh ribu malaikat untuk mendoakannya hingga sore hari. Dan jika ia meninggal pada hari itu, maka ia wafat sebagai syahid. Dan barangsiapa mengucapkannya pada sore hari, maka ia juga mendapatkan kedudukan yang sama.”

Demikian hadits riwayat at-Tirmidzi. Ia mengatakan: “Hadits ini gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalur ini.”

Selesai.

Tulisan ini copas dari blog alquranmulia.wordpress.com

0 Comments:

Post a Comment

<< Home