Tafsir Ibnu Katsir Surah Al Hasyr (bagian pertama)
bismillaaHir rahmaanir rahiim
(“Dengan menyebut Nama Allah Yang Mahapemurah lagi Mahapenyayang.”)
“1. telah bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan bumi; dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. 2. Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan. 3. dan jika tidaklah karena Allah telah menetapkan pengusiran terhadap mereka, benar-benar Allah mengazab mereka di dunia. dan bagi mereka di akhirat azab neraka. 4. yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. 5. apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, Maka (semua itu) adalah dengan izin Allah; dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik.”)
Allah memberitahukan bahwa semua yang ada di langit dan di bumi itu senantiasa bertasbih, memuji, mensucikan, mengerjakan shalat untu-Nya dan mengesakan-Nya. dan firman-Nya: wa Huwal ‘aziiz (“Dan Dialah yang Mahaperkasa.”) maksudnya yang dapat mencegah segala sesuatu: alhakiim (“Lagi Mahabijaksana”) yakni dalam ketetapan dan syariat-Nya.
Firman-Nya: Huwal ladzii akhrajal ladziina kafaruu min aHlil kitaabi (“Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab”) yakni orang-orang Yahudi Bani an-Nadhir. Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas, Mujahid, az-Zuhri, dan beberapa ulama lainnya. Setelah tiba di Madinah, Rasulullah saw. mengadakan perjanjian dan kesepakatan untuk tidak memerangi mereka dan mereka pun tidak memeranginya. Namun mereka melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan mereka yang tidak mungkin mereka tolak dan menurunkan kepada mereka ketetapan-Nya yang tidak mungkin mereka hindari, dengan diusirnya mereka dan dikeluarkan oleh Rasulullah saw. dari benteng-benteng mereka yang sangat kuat, tanpa diperkirakan oleh kaum Muslimin dan mereka sendiri merasa yakin bahwa hal itu tidak berguna sama sekali bagi mereka. Dan datanglah dari Allah swt. yang tidak pernah mereka sangka, bahkan tidak pernah terbersit dalam diri mereka.
Rasulullah saw. mengusir dan menyuruh mereka hengkang dari kota Madinah. Di antara mereka terdapat satu kelompok yang pergi ke Adzri’at, daerah dataran tinggi Syam, tanah tempat dihimpunnya umat manusia, dan di antara mereka ada juga yang pergi ke Khaibar. Mereka pun diusir dari Madinah dan hanya berhak atas apa yang dibawa oleh unta-unta mereka. Maka mereka merusak semua yang ada di rumah-rumah mereka yang tidak mungkin mereka bawa.
Oleh karena itu Allah berfirman: yukhribuuna buyuutaHum bi aidiiHim wa aidil mu’miniina fa’tabiruu yaa ulil abshaar (“Mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang yang beriman. Maka ambillah [kejadian itu] untuk menjadikan pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.”) maksudnya fikirkanlah dan perhatikanlah akibat yang diterima oleh orang-orang yang menentang perintah Allah dan Rasul-Nya serta mendustakan kitab-Nya. Bagaimana mungkin mereka akan terlepas dari siksa-Nya yang menghinakan mereka di dunia dan disertai dengan adzab pedih yang telah disediakan bagi mereka di akhirat.
Jadi firman Allah: Huwal ladzii akhrajal ladziina kafaruu min aHlil kitaabi (“Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab”) maksudnya adalah bani an-Nadhir: min diyaariHim li awwalil hasyr (“Dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran kali yang pertama.”) Ibnu Abi Hatim menuturkan dari Ibnu ‘Abbas ra, ia berkata: “Barangsiapa yang ragu bahwa tanah Mahsyar itu berada di sini, yaitu di Syam [Syria], maka hendaklah ia membaca ayat ini: Huwal ladzii akhrajal ladziina kafaruu min aHlil kitaabi min diyaariHim li awwalil hasyr (“Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab. Dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran kali yang pertama.”)
Firman-Nya lebih lanjut: maa dhanantum ay yakhrujuu (“Kamu tidak menyangka bahwa mereka akan keluar.”) yakni pada masa pengepungan dan blokade terhadap mereka yang berlangsung selama 6 hari, sedang benteng-benteng mereka itu sangat kokoh. Oleh karena itu Allah berfirman: wa dhannuu annaHum maa ni’atuHum hushuunuHum minallaaHi fa ataaHumullaaHu min haitsu laa yahtasibuu (“dan mereka pun yakin bahwa benteng-benteng mereka akan dapat mempertahankan mereka dari [siksaan] Allah, maka Allah mendatangkan kepada mereka [hukuman] dari arah yang mereka tidak sangka-sangka.”) maksudnya, keputusan Allah datang kepada mereka tanpa mereka perhitungkan sebelumnya.
Firman Allah: wa qadzafa fii quluubiHimur ru’b (“dan Allah mencampakkan ketakutan di dalam hati mereka.”) maksudnya kekhawatiran, kegelisahan, dan kecemasan. Bagaimana hal itu tidak terjadi pada mereka, sedang mereka telah dikepung oleh Nabi Muhammad saw. yang diberi kemenangan karena rasa takut yang luar biasa [tertanam pada diri musuhnya] selama satu bulan.
Firman Allah: yukhrijuuna buyuutaHum bi aidiiHim wa aidil mu’miniina (“Mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang yang beriman.”) penafsiran ayat ini telah dikemukakan sebelumnya oleh Ibnu Ishaq, yaitu mereka mencopot semua benda-benda yang mereka anggap bagus dari atap-atap dan pintu-pintu rumah mereka, kemudian mereka membawanya di atas punggung unta-unta mereka.
Fa’tabiruu yaa ulil abshaar (“Maka ambillah [kejadian itu] untuk menjadi pelajaran hai orang-orang yang mempunyai pandangan.”)
Firman Allah: walau laa ang kataballaaHu ‘alaiHimul jalaa-a la’adzdzabaHum fid dun-yaa (“Dan jikalau tidaklah karena Allah telah menetapkan pengusiran terhadap mereka benar-benar Allah akan mengadzab mereka di dunia.”) maksudnya, seandainya Allah tidak menetapkan pengusiran mereka dari negeri dan harta benda mereka, pasti bagi mereka siksaan lain di sisi Allah, berupa pembunuhan, penawanan, dan lain-lain. Demikian yang dikemukakan oleh az-Zuhri dari ‘Urwah, as-Suddi, dan Ibnu Zaid; karena Allah telah menetapkan bagi mereka bahwa Dia akan mengadzab mereka di dunia, selain siksaan yang telah disediakan bagi mereka di akhirat kelak, berupa siksaan yang sangat pedih di dalam neraka jahanam.
Qatadah mengatakan: “Kata aljalaa’ berarti pengusiran orang dari suatu negeri ke negeri lain.”
Firman Allah: wa laHum fil aakhirati ‘adzaabun naar (“Dan bagi mereka di akhirat adzab neraka”) yakni suatu keputusan yang sudah pasti dan tidak dapat diganggu gugat”)
Firman-Nya: dzaalika bi annaHum syaaqqullaaaHa wa rasuulaHu (“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya.”) maksudnya, Allah Ta’ala melakukan hal tersebut kepada mereka dan menguasakan Rasul-Nya dan juga orang mukmin atas mereka, karena mereka menentang Allah dan Rasul-Nya, serta mendustakan apa yang telah diturunkan-Nya kepada para Rasul-Nya yang terdahulu mengenai kabar gembira tentang kedatangan Muhammad saw. padahal mereka mengetahui beritu itu secara persis, sebagaimana mereka mengetahui benar anak-anak mereka.
Wa may yusaaqqillaaHa fa innallaaHa syadiidul ‘iqaab (“Barangsiapa yang menentang Allah, maka sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.”
Dan firman-Nya: maa qatha’tum mil liinatin au taraktumuuHaa qaa-imatan ‘alaa ushuuliHaa fabi-idznillaaHi waliyukhziyal faasiqiin (“Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma [milik orang-orang kafir] atau yang kamu biarkan [tumbuh] berdiri di atas pokoknya, maka [semua itu] dengan izin Allah, dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik.”) al-liin adalah satu macam kurma yang bagus. Abu ‘Ubaidah berkata: “Yaitu jenis kurma yang berbeda dari kurma ‘ajwah dan burni.” Banyak ahli tafsir yang mengatakan: “Kata al-liinah berarti aneka macam kurma selain ‘ajwah.”
Mengenai firman Allah: maa qatha’tum mil liinatin au taraktumuuHaa qaa-imatan ‘alaa ushuuliHaa fabi-idznillaaHi waliyukhziyal faasiqiin (“Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma [milik orang-orang kafir] atau yang kamu biarkan [tumbuh] berdiri di atas pokoknya, maka [semua itu] dengan izin Allah, dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik.”) Imam an-Nasa-i meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Mereka diperintahkan untuk turun dari benteng-benteng mereka dan menebang pohon-pohon kurma mereka. Sehingga terbersit kekhawatiran dalam hati mereka, lalu kaum muslimin berkata: ‘Kita telah menebang sebagian dan kita biarkan sebagian lainnya. Karena itu, kita tanyakan kepada Rasulullah saw. apakah kita akan mendapat pahala dari penebangan ini, dan apakah kita akan berdosa bila kita membiarkannya?’” kemudian Allah menurunkan firman-Nya: maa qatha’tum mil liinatin (“Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma.”)
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, bahwa Rasulullah saw. pernah menebangi dan membakar pohon kurma bani Nadhir. Dalam hadits yang senada juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim dalam kitab ash-Shahihain, dari riwayat Musa bin ‘Uqbah. Dan lafadz Imam al-Bukhari dari Ibnu ‘Umar, ia bercerita: Bani an-Nadhir dan bani Quraidhah telah menyerang Nabi saw., maka beliau mengusir bani Nadhir dan membiarkan bani Quraidhah tetap tinggal di tempat. Tetapi kemudian bani Quraidhah melancarkan peperangan, lalu beliau membunuh kaum laki-laki dari mereka, menawan dan membagikan kaum wanita, anak-anak, dan harta benda mereka kepada kaum muslimin. Kecuali sebagian dari mereka menyusul Nabi saw. lalu beliau memberikan perlindungan kepada mereka dan merekapun menyatakan masuk Islam. Beliau telah mengusir orang-orang Yahudi Madinah seluruhnya, yaitu bani Qainuqa’, mereka adalah sanak famili ‘Abdullah bin Salam; Yahudi bani Haritsah dan semua Yahudi yang ada di Madinah.”
Imam Al-Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dari Qurtaibah, dari al-Laits bin Sa’ad, dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar, bahwa Rasulullah saw. pernah membakar dan menebangi pohon-pohon kurma Bani an-Nadhir, yaitu di Buwairah. Maka Allah swt. dalam peristiwa itu menurunkan ayat: maa qatha’tum mil liinatin au taraktumuuHaa qaa-imatan ‘alaa ushuuliHaa fabi-idznillaaHi waliyukhziyal faasiqiin (“Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma [milik orang-orang kafir] atau yang kamu biarkan [tumbuh] berdiri di atas pokoknya, maka [semua itu] dengan izin Allah, dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik.”)
Imam Al-Bukhari juga meriwayatkan dari Juwairiyah bin Asma’, dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar, bahwa Rasulullah saw. pernah membakar dan menebangi pohon-pohon kurma Bani an-Nadhir, yaitu di Buwairah. Dan mengenai hal tersebut, Hasan bin Tsabit mengungkapkan kepada Juwairiyah:
“Adalah penghinaan terhadap tokoh Bani Lu-ay,
Kebakaran yang menyala-nyala di Buwairah.”
Maka Abu Sufyan bin al-Harits menjawab:
“Semoga Allah melestarikan kebaikannya,
Dan semoga api membakar sekelilingnya.
Kamu akan tahu, siapakah di antara kami yang terputus
Darinya [Buwairah],
Dan kalian juga akan tahu, di bumi kami manakah
Yang menyengsarakan?”
Demikianlah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari. Dalam masalah ini, Ibnu Ishaq telah menyebutkan sya’ir yang cukup banyak, yang di dalamnya terdapat etika, nasehat, hikmah, dan pelajaran yang berkenaan dengan kisah tersebut.
Ibnu Ishaq mengatkan: “Peristiwa bani an-Nadhir terjadi setelah peristiwa Uhud dan Sumur Ma’munah.” Dan Imam al-Bukhari menceritakan dari az-Zuhri, dari ‘Urwah, bahwa ia mengatakan: “Peristiwa Bani an-Nadhir terjadi enam bulan setelah perang Badar.”
7. apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.” (al-Hasyr: 7)
Firman Allah ini menjelaskan tentang makna fa’i, sifat dan hikmahnya. Fa’i adalah segala harta benda yang dirampas dari orang-orang kafir tanpa melalui peperangan dan tanpa mengerahkan kuda maupun unta. Seperti harta benda Bani Nadhir ini, dimana kaum Muslimin memperolehnya tanpa menggunakan kuda maupun unta, artinya mereka dalam hal ini tidak berperang terhadap musuh dengan menyerang atau menyerbu mereka, tetapi para musuh itu dihinggapi rasa takut yang telah Allah timpakan ke dalam hati mereka karena wibawa Rasulullah saw. Kemudian Allah memberikan harta benda yang telah mereka tinggalkan untuk Rasul-Nya. oleh karena itu beliau mengatur pembagian harta benda yang diperoleh dari Bani Nadhir sekehendak hati beliau, dengan mengembalikannya kepada kaum Muslimin untuk dibelanjakan dalam sisi kebaikan dan kemaslahatan yang telah disebutkan Allah dalam ayat-ayat ini.
Allah berfirman: wa maa afaa allaaHu ‘alaa rasuuliHii minHum (“Dan apa saja harta rampasan [fa’i] yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya [dari harta benda] mereka.”) yakni bani an-Nadhir: fa maa au jaftum ‘alaiHi min khailiw walaa rikaabiw wa laakinnallaaHa yusallithu rusulaHuu ‘alaa may yasyaa-u wallaaHu ‘alaa kulli syai-ing qadiir (“Maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kuda pun dan [tidak pula] seekor unta pun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”) artinya, Dia Mahakuasa, tidak dapat dikalahkan dan dihalangi oleh siapapun, bahkan Dia-lah Yang Mahamengalahkan segala sesuatu.
Kemudian Allah berfirman: maa afaa allaaHu ‘alaa rasuuliHii min aHlil quraa (“Apa saja harta rampasan [fa’i] yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota.”) yakni semua kota yang telah ditaklukkan secara demikian, maka hukumnya disamakan dengan hukum-hukum harta rampasan perang Bani an-Nadhir. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman: falillaaHi wa lir rasuuli wa lidzil qurbaa wal yataamaa wal masaakiini wabnis sabiili (“Adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang [sedang] dalam perjalanan.”) dan seterusnya dan ayat setelahnya. Demikianlah pihak-pihak yang berhak menerima harta fa’i.
Imam Ahmad meriwayatkan, Sufyan bin ‘Amr dan Ma’mar memberitahu kami dari az-Zuhri, dari Malik bin Aus bin al-Hadatsan, dari ‘Umar ra, ia berkata: “Harta bani an-Nadhir termasuk yang telah Allah berikan kepada Rasul-Nya, dengan tidak usah terlebih dahulu dari kaum Muslimin untuk mengerahkan kuda dan untanya. Oleh karena itu, harta rampasan itu hanya khusus untuk Rasulullah, beliau nafkahkan untuk keluarganya sebagai nafkah untuk satu tahun. Dan sisanya beliau manfaatkan untuk kuda-kuda perang dan persenjataan di jalan-Nya.”
Demikian hadits yang diriwayatkan Ahmad di sini secara ringkas. Diriwayatkan juga oleh sekelompok ahli hadits di dalam kitab-kitab mereka kecuali Ibnu Majah dari hadits Sufyan, dari ‘Amr bin Dinar, dari az-Zuhri.
Dan pihak-pihak yang memperoleh bagian harta fa’i seperti yang disebutkan di dalam ayat di atas merupakan pihak-pihak yang disebutkan pada seperlima ghanimah. Dan semua sudah dijelaskan di dalam surah al-Anfaal.
Firman-Nya: kailaa yakuuna duulatam bainal aghniyaa-i mingkum (“Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”) yakni Kami jadikan pihak-pihak yang memperoleh bagian harta fa’i ini agar tidak hanya dimonopoli oleh orang-orang kaya saja, lalu mereka pergunakan sesuai kehendak dan hawa nafsu mereka, serta tidak mendermakan harta tersebut kepada fakir miskin sedikitpun.
Dan firman-Nya: wa maa aataakumur rasuulu fakhudzuuHu wa maa naHaakum ‘anHu fantaHuu (“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah ia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.”) yakni apapun yang beliau perintahkan kepada kalian maka kerjakanlah, dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah. Karena beliau hanyalah memerintahkan kepada kebaikan dan melarang keburukan.
Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: “Allah melaknat kaum wanita yang membuat tato dan minta dibuatkan tato, yang mencabuti rambutnya, dan memperlihatkan kecantikannya, dan mereka yang merubah ciptaan Allah swt.” tatkala ucapan ini sampai kepada seorang wanita dari kalangan Bani Asad yang bernama Ummu Ya’qub, ia pun mendatanginya dan berkata: “Telah sampai kepadaku berita bahwa engkau mengatakan begini dan begitu.” Maka ‘Abdullah berkata: “Bagaimana aku tidak melaknat orang yang dilaknat oleh Rasulullah saw. dan diperintahkan di dalam Kitabullah.” Ummu Ya’qub berkata: “Sesungguhnya aku telah membaca isi al-Qur’an, namun aku tidak mendapati apa yang engkau maksudkan.” ‘Abdullah berkata: “Bukankah engkau telah membaca firman Allah: wa maa aataakumur rasuulu fakhudzuuHu wa maa naHaakum ‘anHu fantaHuu (“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah ia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.”)?” Jawab Ummu Ya’qub: “Memang.” ‘Abdullah bin Mas’ud berkata: “Rasulullah saw. telah melarang hal itu.” Ummu Ya’qub berkata: “Sesungguhnya aku kira keluargamu pun mengerjakannya.” Lebih lanjut Ibnu Mas’ud berkata: “Pergilah kamu dan lihatlah.” Maka Ummu Ya’qub pun pergi, tetapi ia tidak medapati sesuatu pun dari apa yang diperlukannya. Lalu ia berkata: “Aku sama sekali tidak mendapatkan sesuatu pun.” Ibnu Mas’ud berkata: “Jika demikian, berarti engkau tidak pernah bergaul dengan kami.”
Demikian hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam kitab ash-Shahihain, dari hadits Sufyan ats-Tsauri.Dalam kitab ash-Shahihain juga telah ditegaskan hadits dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Jika aku perintahkan kepada kalian, maka kerjakanlah semampu kalian. Dan apa yang aku larang maka jauhilah.”
Imam an-Nasa-i meriwayatkan dari ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas bahwa keduanya telah menyaksikan Rasulullah saw. melarang penggunaan dubba’ [sejenis labu], hantam [guci hijau], naqir [batang kurma yang dilubangi], dan muzaffat [tempurung yang dilumuri tir]. –dilarang penggunaan tempat-tempat itu untuk menyimpan minuman dari kurma maupun anggur, karena mempercepat proses fermentasi sehingga menjadi minuman keras. Ed—setelah itu Rasulullah membaca ayat: wa maa aataakumur rasuulu fakhudzuuHu wa maa naHaakum ‘anHu fantaHuu (“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah ia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.”) dan firman-Nya lebih lanjut: wattaqullaaHa innallaaHa syadiidul ‘iqaab (“dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.”) maksudnya bertakwalah kepada-Nya dalam menjalankan seluruh perintah-Nya dan meninggalkan seluruh larangan-Nya, karena sesungguhnya Dia mempunyai siksaan yang sangat pedih bagi orang yang menentang-Nya, melanggar perintahnya, serta mengerjakan larangan-Nya.
“8. (juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. mereka Itulah orang-orang yang benar. 9. dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung 10. dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb Kami, beri ampunlah Kami dan saudara-saudara Kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati Kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb Kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (al-Hasyr: 8-10)
Allah menjelaskan tentang keadaan orang-orang fakir yang berhak mendapatkan harta fa’i bahwa mereka adalah: alladziina ukhrijuu min diyaariHim wa amwaaliHim yabtaghuuna fadl-lam minallaaHi wa ridl-waanan (“Yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka [karena] mencari karunia dari Allah dan keridlaan-Nya.”) maksudnya mereka meninggalkan kampung halaman mereka dan menyelisihi kaum mereka karena mencari keridlaan Allah Ta’ala.
Wa yanshurullaaHa wa rasuulaHu ulaa-ika Humush shaadiquun (“Dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.”) maksudnya mereka itulah orang-orang yang ucapan mereka dibenarkan oleh amal perbuatan mereka, dan mereka adalah para pemuka Muhajirin.
Setelah itu Allah memuji kaum Anshar serta menjelaskan keunggulan, kemuliaan, keagungan, dan kesucian diri mereka dari rasa iri, serta tindakan mereka mendahulukan orang lain atas diri mereka sendiri, padahal mereka lebih membutuhkannya, Allah berfirman: walladziina tabawwa-ud daara wal iimaana ming qabliHim (“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman [Anshar] sebelum [kedatangan] mereka [Muhajirin].”) yaitu, mereka telah mendiami negeri Madinah sebelum kaum Muhajirin itu datang dan mereka telah beriman sebelum kebanyakan dari mereka beriman.
‘Umar berkata: “Aku wasiatkan kepada khalifah setelahku agar memperhatikan kaum Muhajirin generai pertama, hendaknya dia mengetahui hak mereka dan memelihara kehormatan mereka. Dan aku wasiatkan kepadanya agar memperlakukan orang-orang Anshar dengan baik, agar menerima siapa yang berbuat kebaikan dari mereka dan memaafkan siapa yang berbuat kesalahan dari mereka.” Demikian yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari.
Firman Allah: yuhibbuuna man Haajara ilaiHim (“Mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka.”) maksudnya, karena kemuliaan dan keagungan jiwa mereka, mereka mencintai kaum Muhajirin dan memberikan bantuan dengan harta benda mereka.
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Yahya bin Sa’id, ia mendengar Anas bin Malik berkata ketika keluar bersamanya untuk menemui al-Walid bahwa Nabi saw. pernah mengundang para shahabat Anshar agar beliau dapat memberikan hasil negeri Bahrain kepada mereka. Mereka berkata: “Tidak, kecuali jika engkau memberikan hasil yang sama dengannya kepada saudara-saudara kami dari kaum Muhajirin.” Beliau bersabda: “Apabila tidak [kalian terima], maka bersabarlah sehingga kalian menjumpaiku. Sesungguhnya pengutamaan atas kalian akan terjadi setelahku.” (HR al-Bukhari)
Imam Al-Bukhari juga meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. ia bercerita, kaum Anshar berkata: “Bagilah kebun kurma antara kami dan mereka [kaum Muhajirin].” Beliau bersabda: “Tidak.” Maka mereka berkata: “Apakah kalian dapat memenuhi bahan makanan kami dan kami akan bersekutu dengan kalian dalam memetik buahnya.” Kemudian mereka berkata: “Kami mendengar dan kami taat.” (HR al-Bukhari).
Firman-Nya: wa laa yajiduuna fii shuduuriHim haajatam mimmaa uutuu (“Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka.”) maksudnya mereka sama sekali tidak menaruh rasa dengki terhadap kaum Muhajirin atas keutamaan yang dikaruniakan Allah kepada mereka berupa kedudukan, kemuliaan dan penyebutan lebih awal, serta urutan.
Mengenai firman-Nya: wa laa yajiduuna fii shuduuriHim haajatam (“Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka.”) al-Hasan al-Bashri mengatakan: “Yakni kedengkian.” Mimmaa uutuu (“terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka.”) Qatadah mengatakan: “Yakni atas apa yang telah diberikan kepada saudara-saudara mereka.” Demikian pula dikemukakan oleh Ibnu Zaid. Dan di antara hadits yang dijadikan dasar pengertian tersebut adalah apa yang diriwayatkan oleh imam Ahmad, dari Anas, ia berkata: “Kami pernah duduk-duduk bersama Rasulullah saw., lalu beliau bersabda: ‘Akan muncul kepada kalian sekarang ini seorang dari penghuni surga.’ Kemudian muncullah seorang dari kaum Anshar, sedang jenggotnya masih basah dari bekas wudlunya seraya menjinjing sedalnya dengan tangan kirinya. Dan pada keesokan harinya Rasulullah saw. mengucapkan hal yang sama, lalu orang tersebut muncul kembali seperti pada kali yang pertama. dan pada hari ketiga Rasulullah saw. mengucapkan hal yang sama juga, lalu orang itupun muncul dalam keadaan seperti penampilannya yang pertama. setelah Rasulullah saw. berdiri, ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash mengikuti orang itu. ‘Abdullah bin ‘Amr berkata: ‘Sesungguhnya aku marah kepada ayahku dan aku bersumpah untuk tidak menemuinya selama tiga hari. Kalau saja engkau berkenan memberikan tempat tinggal kepadaku sampai berlalu tiga hari itu.’ Orang itu menjawab: ‘Baiklah.’”
Anas mengatakan: Abdullah bin ‘Amr memberitahukan bahwa ia menginap bersama orang itu selama tiga malam. Selama itu ia tidak pernah melihat orang itu bangun malam sedikitpun, namun jika terbangun pada malam hari dan tidak bisa tidur ia senantiasa berdzikir kepada Allah dan bertakbir sehingga ia bangun untuk shalat shubuh. ‘Abdullah bin ‘Amr berkata: “Hanya saja aku tidak pernah mendengarnya berkata kecuali kebaikan. Setelah tiga malam itu berlalu dan hampir saja aku menganggap remeh perbuatannya, kukatakan: ‘Wahai hamba Allah, sesungguhnya antara diriku dan ayahku tidak ada rasa marah ataupun putus hubungan, tetapi aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda untukmu tiga kali: Akan muncul kepada kalian sekarang ini seorang penghuni surga. Akan tetapi yang muncul adalah engkau selama tiga kali itu. Dan aku ingin tinggal di tempatmu agar aku dapat melihat amal perbuatanmu sehingga aku dapat menirunya. Tetapi aku tidak melihatmu melakukan amal perbuatan yang besar. Lalu apa yang mengantarkanmu sampai pada apa yang dikatakan oleh Rasulullah saw.?’ Ia menjawab: ‘Tidak ada, selain apa yang telah engkau saksikan.’ Ketika aku pergi, ia pun memanggilku dan berkata: ‘Tidak ada kecuali apa yang telah engkau saksikan, hanya saja aku tidak pernah mendapatkan di dalam diriku rasa ingin menipu terhadap kaum muslimin, dan aku tidak merasa dengki kepada seorangpun atas kebaikan yang telah diberikan Allah kepadanya.’ ‘Abdullah bin ‘Amr berkata: ‘Inilah yang telah mengantarkan dirimu pada tingkat puncak, dan itulah yang sulit dicapai.’”
Demikian hadits yang diriwayatkan oleh an-Nasa-i dalam kitab al-Yaum wal Lailah, dari Suwaid bin Nashr, dari Ibnul Mubarak, dari Ma’mar. Dan sanad hadits tersebut shahih menurut persyaratan ash-Shahihain.
Dan firman Allah: wa yu’tsiruuna ‘alaa anfusiHim walau kaana biHim khashaashatun (“Dan mereka mengutamakan [orang-orang Muhajirin] atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan.”) maksudnya, mereka lebih mendahulukan orang-orang yang membutuhkan daripada kebutuhan diri mereka sendiri. Dan mereka memulia dengan orang lain sebelum diri mereka, meskipun mereka sendiri membutuhkannya. Di dalam kitab ash-Shahihain telah ditegaskan dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda: “Sebaik-baik shadaqah adalah usaha [jerih payah] orang yang miskin.”
Maqam [kedudukan] ini lebih tinggi daripada keadaan orang-orang yang disifati Allah Ta’ala melalui firman-Nya: wa yuth’imuunath tha’aama ‘alaa hubbiHi (“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.” (al-Insaan: 8)
Dan firman-Nya: wa aatal maala ‘alaa hubbiHii (“Dan memberikan harta yang dicintainya.”)(al-Baqarah: 177).
Karena itu mereka telah menginfakkan dari harta mereka apa yang mereka sukai dan mungkin mereka tidak memerlukan atau sangat membutuhkannya. Adapun orang-orang tadi, mereka lebih mengutamakan orang lain daripada diri mereka sendiri sekalipun mereka sangat memerlukannya. Pada maqam inilah, Abu Bakar ash-Shiddiq ra. menyedekahkan seluruh hartanya sehingga Rasulullah saw. bersabda: “Apakah engkau tidak sisakan untuk keluargamu?” Abu Bakar menjawab: “Aku sisakan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya.” (HR Tirmidzi).
Demikian pula air yang disuguhkan kepada ‘Ikrimah dan para shahabatnya pada peristiwa Yarmurk. Dimana masing-masing dari mereka menyuruh untuk menyerahkan kepada shahabatnya, sedang dia sendiri dalam keadaan luka berat dan sangat membutuhkan air tersebut. Kemudian air itu diserahkan kepada orang ketiga. Hingga belum sampai pada orang ketiga itu, mereka [orang-orang sebelumnya] telah meninggal dunia sehingga tidak ada seorang pun dari mereka yang meminumnya. Semoga Allah meridlai mereka dan menjadikan mereka ridla.
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa seseorang mendatangi Rasulullah saw. dan berkata: “Ya Rasulallah, aku sedang dalam kesulitan.” Lalu Rasulullah saw. mengutus kepada istri-istri beliau, namun mereka tidak mempunyai apa-apa. Rasulullah saw. bersabda: “Tidakkah ada seseorang yang dapat menjamu orang ini pada malam ini? Semoga Allah merahmatinya.” Kemudian salah seorang dari kaum Anshar berdiri dan berkata: “Aku ya Rasulallah.” Diapun pergi kepada keluarganya lalu berkata kepada istrinya: “Ini adalah tamu Rasulullah saw. Jangan engkau sembunyikan makanan apapun untuknya.” Istrinya menjawab: “Demi Allah, aku tidak mempunyai apa-apa kecuali makanan untuk anak-anak.” Selanjutnya ia berkata: “Kemarilah, matikan lampu, tidak mengapa kita tidak makan pada malam ini.” Istrinya pun mematuhi. Pada pagi hari laki-laki itu datang menghadap Rasulullah saw., beliau bersabda: “Allah kagum –tertawa- atas perbuatan si fulan dan fulanah.” Maka Allah menurunkan ayat: wa yu’tsiruuna ‘alaa anfusiHim walau kaana biHim khashaashatun (“Dan mereka mengutamakan [orang-orang Muhajirin] atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan [apa yang mereka berikan itu].”
Hadits ini diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari dalam bab yang lain, juga Muslim, at-Tirmidzi, dan an-Nasa-i. Dan meurut riwayat Muslim, nama orang Anshar itu adalah Abu Thalhah ra.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home