Tafsir Ibnu Katsir Surah Al Mumtahanah
bismillaaHir rahmaanir rahiim
(“Dengan menyebut Nama Allah Yang Mahapemurah lagi Mahapenyayang.”)
“1. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; Padahal Sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. dan Barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, Maka Sesungguhnya Dia telah tersesat dari jalan yang lurus. 2. jika mereka menangkap kamu, niscaya mereka bertindak sebagai musuh bagimu dan melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu dengan menyakiti(mu); dan mereka ingin supaya kamu (kembali) kafir. 3. karib Kerabat dan anak-anakmu sekali-sekali tiada bermanfaat bagimu pada hari kiamat. Dia akan memisahkan antara kamu. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (al-Mumtahanah: 1-3)
Yang menjadi sebab turunnya awal surah ini adalah kisah Hathib bin Abi Balta’ah. Dikisahkan, Hathib adalah salah seorang di antara kaum Muhajirin yang juga orang yang termasuk mengikuti perang Badar. Di Makkah dia mempunyai beberapa orang anak, dan dia bukan orang Quraisy. Tetapi ia adalah seorang sekutu ‘Utsman. Ketika Rasulullah saw. bertekad untuk menaklukkan kota Makkah setelah penduduknya melanggar perjanjian, beliau memerintahkan kaum Muslimin untuk bersiap-siap berperang dengan mereka secara terang-terangan. Beliau bersabda: “Ya Allah rahasiakanlah kepada mereka berita kami ini.”
Kemudian Hathib muncul, lalu ia menulis surat dan mengirimkannya melalui seorang wanita dari suku Quraisy kepada penduduk Makkah untuk memberitahukan kepada mereka tentang tekad Rasulullah saw. untuk memerangi mereka, supaya mereka bersiap-siap. Kemudian Allah memperlihatkan hal tesebut kepada Rasul-Nya sebagai bentuk pengabulan-Nya terhadap doa beliau. Lalu Rasulullah saw. mengirimkan utusan untuk menyusul wanita tersebut. Utusan beliau pun mengambil surat dari wanita itu.
Hal teresebut telah dikemukakan dalam hadits yang sudah disepakati keshahihannya.
Imam Ahmad meriwayatkan, Sufyan memberitahu kami dari pamannya, dari Hasan bin Muhammad bin ‘Ali dari ‘Abdullah bin Abi Rafi’, Murrah berkatan: Sesungguhnya ‘Ubaidullah bin Abi Rafi’ memberitahunya, bahwa ia pernah mendengar ‘Ali bercerita: Rasulullah saw. pernah mengutusku, az-Zubair dan al-Miqdad. Lalu beliau bersabda: “Pergilah kalian hingga sampai ke kebun Khakh. Disana terdapat seorang wanita yang memegang surat, ambillah surat itu darinya.” Kamipun pergi melarikan kuda kami hingga sampai di kebun itu. Ketika kami bertemu wanita itu, kami berkata: “Keluarkanlah surat itu.” Ia mengatakan: “Aku tidak membawa surat.” Kami berkata: “Kamu keluarkan surat itu atau kamu tinggalkan pakaianmu.” Lalu ia mengeluarkan surat itu dari sanggulnya. Kami pun mengambil surat itu dan memberikannya kepada Rasulullah saw. Ternyata surat dari Hathib bin Abi Balta’ah yang dialamatkan kepada kaum musyrikin Makkah. Surat itu memberitahukan kepada mereka tentang sebagian perkara yang akan dilakukan oleh Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah saw. bertanya: “Hai Hathib, apa ini?” Hathib berkata: “Jangan engkau terburu-buru [berprasangka buruk] terhadapku. Dahulu aku adalah orang yang berada [hidup] di dekat orang-orang Quraisy, namun aku bukan dari kalangan mereka. Sedangkan kaum Muhajirin yang ada bersamamu selalu memberikan perlindungan kepada keluarga mereka yang berada di Makkah. Oleh karena itu aku sangat ingin membantu melindungi keluargaku, meskipun aku tidak mempunyai hubungan nasab dengan mereka. Aku tidak melakukan semua itu karena kufur, murtad dari agamaku dan rela terhadap kekafiran setelah aku masuk Islam.” Lalu ‘Umar pun berkata: “Biarkan aku penggal leher orang munafik ini.” Maka Rasulullah saw. pun bersabda: “Dia telah mengikuti perang Badar, dan engkau tidak tahu bahwa Allah telah mengetahui seluk beluk para prajurit perang Badar itu. Allah swt. berfirman: “Berbuatlah sekehendak kalian, karena Aku telah memberikan ampunan kepada kalian.”
Demikianlah hadits yang diriwayatkan oleh al-Jama’ah kecuali Ibnu Majah dari Sufyan bin ‘Uyainah. Dan Imam al-Bukhari menambahkan dalam kitab al-Maghaazi [peperangan] dalam shahihnya: “Lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat: yaa ayyuHalladziina aamanuu laa tattakhdzuu ‘aduwwii wa ‘aduwwakum auliyaa-a (“hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia.”)
Dengan demikian firman Allah: yaa ayyuHalladziina aamanuu laa tattakhdzuu ‘aduwwii wa ‘aduwwakum auliyaa-a tulquuna ilaiHim bil mawaddati wa qad kafaruu bimaa jaa-akum minal haqqi (“hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka [berita-berita Muhammad] karena rasa kasih sayang, padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu.”) yakni orang-orang musyrik dan kafir yang memerangi Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman yang Dia telah menetapkan permusuhan dan perlawanan terhadap mereka. Dan Dia melarang kaum muslimin menjadikan mereka itu sebagai teman setia atau sahabat. Sebagaimana difirmankan Allah yang artinya sebagai berikut ini:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (al-Maidah: 51)
Yang demikian itu merupakan kecaman keras sekaligus ancaman yang sangat tegas. Allah berfirman yang artinya:
“28. janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (Ali ‘Imraan: 28)
Oleh karena itu Rasulullah menerima alasan Hathib ketika ia menyebutkan bahwa apa yang ia lakukan itu hanya sebagai suatu siasat terhadap suku Quraisy untuk menjaga harta dan anak-anaknya di tengah-tengah mereka.
Dan firman Allah: yukhrijuunar rasuula wa iyyaakum (“Mereka mengusir Rasul dan [mengusir]mu.”) demikianlah kenyataannya, disyariatkan permusuhan terhadap mereka dan tidak menjadikan mereka sebagai teman setia, karena mereka telah mengusir Rasulullah saw. dan para shahabatnya dari tengah-tengah mereka sebagai bentuk kebencian terhadap apa yang ada pada Rasulullah saw. dan para shahabatnya berupa tauhid dan keikhlasan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Oleh karena itu Allah berfirman: an tu’minuuna billaaHi rabbakum (“Karena kamu beriman kepada Allah, Rabb-mu.”) maksudnya, kalian tidak mempunyai kesalahan terhadap mereka kecuali keimanan kalian kepada Allah, Rabb seru sekalian alam. Sebagaimana firman Allah Ta’ala berikut ini: wa maa naqamuu minHum illaa ay yu’minuu billaaHil ‘aziizil hamiid (“Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahaterpuji.”) (al-Buruuj: 8)
Firman Allah: in kuntum kharajtum jiHaadan fii sabiilii wabtighaa-a mardlaatii (“Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridlaan-Ku.”) maksudnya jika kalian seperti itu, maka janganlah kalian menjadikan mereka sebagai teman setia jika kalian benar-benar akan pergi berjihad di jalan-Ku (Allah) dengan tujuan mencari keridlaan-Ku. Oleh karena itu, janganlah kalian menjadikan musuh-musuh-Ku dan juga musuh-musuh kalian sebagai teman setia kalian. Karena mereka telah mengusir kalian dari negeri dan harta kalian serta murka terhadap agama kalian.
Firman Allah: tusirruuna ilaiHim bil mawaddati wa ana a’lamu bimaa akhfaitum wa maa a’lantum (“Kamu memberikan secara rahasia [berita-berita Muhammad] kepada mereka karena kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan.”) maksudnya kalian perbuat semua itu, sedang Aku Mahamengetahui semua rahasia, bisikan hati dan yang terang-terangan.
Wamay yaf’alHu minkum faqad dlalla sawaa-as sabiil. Iy yatsqafuukum yakuunuu lakum a’daa-aw wa yabsuthuu ilaikum aidiyaHum wa alsinataHum bis suu-i (“Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus. Jika mereka menangkapmu, niscaya mereka bertindak sebagai musuh bagimu dan melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu dengan menyakiti[mu].”) maksudnya jika mereka menguasaimu, mereka pasti tidak dapat menjaga lidah dan perbuatan mereka sebagai sarana untuk menyakiti kalian. Wawadduu lau takfuruun (“dan mereka ingin supaya kamu [kembali] kafir.”) mereka berkeinginan keras agar kalian tidak mendapatkan kebaikan apapun, permusuhan mereka terhadap kalian akan tetap ada dan tampak jelas, maka bagaimana mungkin kalian berteman setia dengan orang-orang seperti ini? Yang demikian itu merupakan pendorong untuk mengadakan permusuhan dengan mereka.
Firman Allah: lan tanfa’akum arhaamukum wa laa aulaadukum yaumal qiyaamati yafshilu bainakum wallaaHu bimaa ta’maluuna bashiir (“Karib kerabat dan anak-anakmu sekali-sekali tidak bermanfaat bagimu pada hari kiamat. Dia akan memisahkan antara kamu. Dan Allah Mahamelihat apa yang kamu kerjakan.”) yakni kaum kerabat kalian tidak akan mendatangkan manfaat apapun bagi kalian di sisi Allah jika Dia menghendaki keburukan menimpa diri kalian. Dan kemanfaatan mereka pun tidak akan sampai pada kalian jika kalian mencari kerelaan mereka dengan cara melakukan sesuatu yang dimurkai Allah. Barangsiapa yang menyutujui kekufuran keluarganya supaya mereka senang, maka sesungguhnya ia benar-benar merugi lagi sesat. Dan kaum kerabatnya sama sekali tidak membawa manfaat baginya di sisi Allah, meskipun ia merupakan kerabat dekat salah seorang Nabi.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Anas, bahwasannya ada seorang laki-laki berkata: “Ya Rasulallah, dimanakah ayahku?” Beliau menjawab: “Di neraka.” setelah itu ia pergi sambil menunduk, Rasulullah saw. memanggilnya dan bersabda: “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu ada di neraka.”
Demikian hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Dawud dari hadits Hammad bin Salamah.
“4. Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya Kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, Kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara Kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. kecuali Perkataan Ibrahim kepada bapaknya: “Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah”. (Ibrahim berkata): “Ya Tuhan Kami hanya kepada Engkaulah Kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah Kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah Kami kembali.” 5. “Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau jadikan Kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir. dan ampunilah Kami Ya Tuhan kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. 6. Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) hari kemudian. dan Barangsiapa yang berpaling, Maka Sesungguhnya Allah Dia-lah yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (al-Mumtahanah: 4-6)
Allah berfirman kepada hamba-hamba-Nya: qad kaanat lakum uswatun hasanatun fii ibraahiima wal ladziina ma’aHu (“Sesungguhnya sudah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya.”) yaitu para pengikut beliau yang beriman bersamanya.
Idz qaaluu liqaumiHim innaa bura-aa-u minkum (“Ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri darimu.’”) maksudnya kami melepaskan diri dari kalian. Wa mimmaa ta’buduuna min duunillaaHi kafarnaa bikum (“dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami mengingkari [kekafiran]mu.”) maksudnya kami mengingkari agama dan jalan kalian. Wa badaa bainanaa wa bainakumul ‘adaawatu wal baghdlaa-u abadan (“dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya.”) maksudnya permusuhan dan kebencian di antara kami dan kalian, sedang kami selama-lamanya melepaskan diri dari kalian dan membenci kalian. Hattaa tu’minuu billaaHi wahdaHu (“sampai kamu beriman kepada Allah saja”) maksudnya sampai kalian mentauhidkan Allah dengan cara beribadah hanya kepada-Nya saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, sampai kalian berlepas diri dari apa-apa yang disembah selain Allah berupa berhala dan tandingan.
menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. dan Allah adalah Maha Kuasa. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 8. Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil. 9. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.”
(al-Mumtahanah: 7-9)
Allah berfirman kepada hamba-hamba-Nya yang beriman: ‘asallaaHu ay yaj’al bainakum wa bainal ladziina ‘aadaitum minHum mawaddatan (“Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antara kamu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka.”) maksudnya adalah kasih sayang setelah kebencian, kasih sayang setelah permusuhan, dan kerukunan setelah pertikaian. wallaaHu qadiir (“Dan adalah Allah Mahakuasa.”) maksudnya atas segala sesuatu yang dikehendaki-Nya, diantaranya menyatukan hati-hati manusia setelah sebelumnya penuh dengan permusuhan dan kebencian, sehingga menjadi hati yang bersatu dan penuh kerukunan.
Seorang penyair mengungkapkan yang artinya: “Dan Allah pernah menyatukan dua orang yang sudah tercerai-berai, setelah sebelumnya keduanya mengira bahwa keduanya tidak akan pernah bersatu.”
Dan firman Allah: wallaaHu ghafuurur rahiim (“Dan Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”) maksudnya, Dia akan memberikan ampunan kepada orang-orang kafir akibat kekufuran yang telah mereka perbuat, jika memang mereka benar-benar bertaubat kepada Rabb-nya dan menyerahkan diri kepada-Nya, karena Dia Mahapengampun lagi Mahapenyayang bagi setiap orang yang bertaubat kepada-Nya dari segala macam dosa.
Firman-Nya: laa yanHaakumullaaHu ‘anil ladziina lam yuqaatiluukum fiddiini wa lam yukhrijuukum min diyaarikum (“Allah tidak melarangmu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak [pula] mengusirmu dari negerimu.”) maksudnya, mereka yang telah membantu mengusir kalian. Artinya, Allah tidak melarang kalian berbuat baik kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi kalian karena agama, seperti kaum wanita dan orang-orang lemah di antara mereka. An tabarruuHum (“Untuk berbuat baik kepada mereka.”) yakni berlaku baik kepada mereka. Wa tuqsithuu ilaiHim innallaaHa yuhibbul muqsithiin (“serta berbuat adil terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”)
Imam Ahmad meriwayatkan dari Asma’ binti Abi Bakar ra, ia bercerita: Ibuku pernah datang kepadaku sedang ia dalam keadaan musyrik pada waktu kaum Quraisy melakukan perdamaian [Hudaibiyyah]. Lalu kukatakan: “Ya Rasulallah, sesungguhnya ibuku datang kepadaku dan berharap [dia dapat bertemu denganku], apakah aku boleh menyambung hubungan dengannya?” Beliau menjawab: “Ya, sambunglah hubungan dengan ibumu.” (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Imam Ahmad juga meriwayatkan, ‘Arim memberitahu kami, ‘Abdullah bin al-Mubarak memberitahu kami, Mush’ab bin Tsabit memberitahu kami, ‘Amir bin ‘Abdullah bin az-Zubair memberitahu kami, dari ayahnya, ia bercerita: Qutailah pernah datang menemui putrinya –Asma’ binti Abu Bakar dengan membawa daging dhabb [biawak] dan minyak samin sebagai hadiah, sedang dia seorang wanita musyrik. Maka Asma’ pun menolak pemberiannya dan memasukkan ibunya ke rumahnya. Kemudian ‘Aisyah bertanya kepada Nabi saw. Lalu Allah menurunkan ayat: laa yanHaakumullaaHu ‘anil ladziina lam yuqaatiluukum fiddiini wa lam yukhrijuukum min diyaarikum (“Allah tidak melarangmu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak [pula] mengusirmu dari negerimu.”) kemudian beliau menyuruh Asma’ menerima pemberian ibunya itu dan mempersilakannya masuk [ke dalam rumah].”
Demikian hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim.
Dan firman Allah: innallaaHa yuhibbul muqsithiin (“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”) penafsiran ayat ini telah diuraikan dalam surah al-Hujuraat. Dan telah disebutkan dalam hadits shahih bahwa Rasulullah saw. bersabda yang artinya: “Orang-orang yang berbuat adil di sisi Allah pada hari kiamat kelak berada di atas mimbar-mimbar yang terbuat dari cahaya di sebelah kanan ‘Arsy, yaitu orang-orang yang berbuat adil dalam hukum, keluarga, dan semua yang berada di bawah kekuasaan mereka.”
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Muslim dan an-Nasa-i dari hadits Sufyan bin ‘Uyainah.
Firman Allah: innamaa yanHaakumullaaHu ‘anil ladziina qaataluukum fiddiini wa akhrajuukum min diyaarikum wa dhaaHaruu ‘alaa ikhraajikum an tawallauHum (“Sesungguhnya Allah hanya melarangmu menjadikan kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusirmu dari negerimu dan membantu [orang lain] untuk mengusirmu.”) maksudnya, Allah hanya melarang kalian berteman dengan orang-orang yang telah melancarkan permusuhan terhadap kalian, kemudian mereka memerangi dan mengusir kalian dan bantu membantu untuk mengusir kalian. Allah yang Mahaperkasa lagi Mahamulia melarang kalian menjadikan mereka sebagai teman, Dia berfirman: wa may yatawallaHum fa ulaa-ika Humudh dhaalimuun (“Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang dhalim”)
“10. Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. 11. dan jika seseorang dari isteri-isterimu lari kepada orang-orang kafir, lalu kamu mengalahkan mereka Maka bayarkanlah kepada orang-orang yang lari isterinya itu mahar sebanyak yang telah mereka bayar. dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamu beriman.” (al-Mumtahanah: 10-11)
Di dalam surah al-Fath, telah disampaikan kisah perdamaian Hudaibiyyah yang berlangsung antara Rasulullah saw. dengan orang-orang kafir Quraisy, di antara isi perjanjian itu berbunyi: “Tidak ada seorang pun dari kami yang mendatangimu meskipun ia memeluk agamamu melainkan engkau [Muhammad] harus mengembalikannya kepada kami.” Dan dalam riwayat lain disebutkan: “Tidak seorang pun dari kami yang datang kepadamu meski sebagai pemeluk agamamu melainkan engkau harus mengembalikannya kepada kami.” Demikian pendapat ‘Urwah, adh-Dhahhak, ‘Abdurrahman bin Zaid, az-Zuhri, Muqatil bin Hayyan, dan as-Suddi. Berdasarkan riwayat ini, maka ayat ini mentakhshih [mengkhususkan] sunnah. Ini merupakan contoh terbaik tentang masalah ini, dan sebagian ulama salaf memandangnya sebagai ayat nasikh [ayat yang menghapus]. Karena sesungguhnya Allah swt. telah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, jika wanita-wanita ikut berhijrah datang kepada mereka, hendaklah wanita-wanita itu diuji terlebih dahulu. Jika telah diketahui bahwa mereka itu adalah wanita-wanita yang beriman, maka mereka tidak boleh dikembalikan kepada orang-orang kafir. Karena wanita-wanita itu tidak halal bagi mereka dan juga sebaliknya.
Dan telah disebutkan dalam biografi ‘Abdullah bin Ahmad bin Jahsy dalam kitab al-Musnad al-Kabiir, melalui jalan Abu Bakar bin Abi ‘Ashim, dari ‘Abdullah bin Abi Ahmad, ia bercerita: Ummu Kultsum binti ‘Uqbah bin Abi Mu’ith berhijrah. Kemudian kedua orang saudaranya, ‘Amarah dan al-Walid menemui Rasulullah saw. Kedua orang tersebut berbincang dengan Rasulullah saw. agar beliau berkenan mengembalikan saudara perempuannya itu kepada mereka. Maka Allah swt. mengecualikan para wanita, khususnya dari perjanjian yang telah dibuat antara Rasulullah saw. dan orang-orang musyrik itu sehingga Allah melarang orang-orang yang beriman mengembalikan para wanita yang berhijrah kepada orang-orang musyrik, dan Allah pun menurunkan ayat tentang pengujian mereka.”
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abu Nashr al-Asadi, ia berkata bahwa Ibnu ‘Abbas ra. pernah ditanya: “Bagaimana pengujian yang dilakukan oleh Rasulullah saw. terhadap para wanita tersebut?” Maka Ibnu ‘Abbas menjawab: “Beliau menguji mereka dengan meminta mereka mengatakan: ‘Demi Allah, aku tidak pergi karena benci kepada suami. Demi Allah, aku tidak keluar karena membenci negeri ini dan pindah ke negeri lain. Demi Allah, aku tidak pergi untuk mencari kesenangan dunia. Demi Allah, aku tidak pergi melainkan karena kecintaanku kepada Allah dan Rasul-Nya.’”
Kemudian riwayat tersebut disampaikan dari sisi lain, dari al-Agharr bin ash-Shabah dengan lafadznya. Demikian juga diriwayatkan oleh al-Bazzar yang juga melalui jalannya.
Mengenai firman Allah: yaa ayyuHalladziina aamanuu idzaa jaa-akumul mu’minaatu muHaajiraatin famtahinuuHunna (“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu menguji [keimanan] mereka.”) al-‘Aufi menceritahakn dari Ibnu ‘Abbas, ia mengatkan: “Bentuk pengujian beliau terhadap wanita-wanita itu adalah dengan meminta mereka mengucapkan syahadat: asyHadul allaa ilaaHa illallaaH wa anna Muhammadan ‘abdullaaHi wa rasuuluHu (“Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.”) jika mereka bersedia mengucapkan hal tersebut, maka hal itu akan diterima dari mereka.”
Dan firman Allah: fa in ‘alimtumuuHunna mu’minaatin falaa tarji’uuHunna ilal kuffaar (“Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka [benar-benar] beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada [suami-suami mereka] orang-orang kafir.”) di dalamnya terdapat dalil yang menunjukkan bahwa keimanan itu dapat dilihat secara pasti.
Firman-Nya lebih lanjut: laa Hunna hillul laHunna wa laa Hum yahilluuna laHunna (“Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka.”) ayat ini mengharamkan wanita-wanita muslimah menikah dengan laki-laki musyrik. Padahal pada permulaan Islam, laki-laki musyrik diperbolehkan menikah dengan wanita muslimah. Berdasarkan hal tersebut, terlaksanalah pernikahan Abul ‘Ash bin ar-Rabi’ dengan putri Rasulullah saw. Zainab ra. dimana pada saat itu Zainab sebagai seorang muslimah, sedang Abul ‘Ash masih memeluk agama kaumnya. Dan ketika ia masuk dalam tawanan perang Badar, Zainab mengutus seseorang untuk menebusnya dengan kalung yang dahulu milik Ibunya, Khadijah binti Khuwailid ra. Ketika melihatnya, Rasulullah saw. merasa sangat pilu sekali dan berkata kepada kaum muslimin: “Jika kalian memutuskan untuk membebaskan tawanannya, lakukanlah.”
Maka mereka pun melakukannya. Dan Rasulullah saw. membebaskannya dengan syarat kaum kafir Quraisy harus mengirimkan Zainab kepada beliau. Dia pun memenuhi permintaan Rasulullah saw. tersebut dan memenuhi janjinya terhadap beliau dengan mengirimkan Zainab kepada beliau bersama Zaid bin Haritsah ra. maka Zainab pun bermukimm di Madinah setelah perang Badar. Hal ini terjadi pada tahun ke 2 Hijrah sehingga suaminya memeluk Islam pada tahun ke 8 Hijrah, lalu Rasulullah saw. mengembalikan Zainab kepada suaminya dengan pernikahan yang pertama dan tidak meminta mahar yang baru. Hal ini sebagaimana telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibnu ‘Abbas ra. bahwa Rasulullah saw. mengembalikan puterinya, Zainab kepada Abul ‘Ash. Hijrahnya dari suaminya sebelum suaminya memeluk Islam itu berlangsung selama 6 tahun, dengan tetap memberlakukan pernikahan yang pertama dan tidak melakukan persaksian dan mahar kembali.”
Demikian juga yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Di antara mereka ada juga yang berpendapat bahwa hal itu terjadi setelah 2 tahun dan itulah yang benar, karena masuk Islamnya Abul ‘Ash itu terjadi 2 tahun setelah diharamkannya wanita muslimah dinikahi oleh laki-laki musyrik. Imam at-Tirmidzi mengatakan: “Laa ba’sa biHi [tidak ada masalah dengan sanadnya].” Dan kami tidak mengetahui sisi hadits ini. Mungkin hadits ini bersumber dari hafalan Dawud bin al-Hushain. Dan aku pernah mendengar ‘Abd bin Humaid berceritah: “Aku pernah mendengar Yazid bin Harun menyebutkan hadits ini dari Ibnu Ishaq, juga hadits Ibnu Hajjaj, yakni Ibnu Artha-ah dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa Rasulullah saw. pernah mengembalikan putrinya kepada Abul ‘Ash binn ar-Rabi’ dengan mahar baru dan nikah baru.”
Dari Yazid berkata: “Hadits Ibnu ‘Abbas ra. lebih baik sanadnya, dan yang lebih tepat diamalkan adalah hadits ‘Amr bin Syu’aib.”
Ibnu Katsir mengatakan: “Dan hadits al-Hajjaj bin Artha-ah dari ‘Amr bin Syu’aib ini telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Imam Ahmad dan juga perawi lainnya mendlaifkan hadits ini, wallaaHu a’lam.”
Kemudian jumhur ulama memberikan jawaban tentang hadits Ibnu ‘Abbas bahwa hal itu merupakan satu perkara khusus, mungkin saja Zainab belum sempat menyelesaikan ‘iddah dari suaminya itu. Sebab menurut kebanyakan ulama, jika seorang wanita telah selesai ‘iddahnya lalu tidak ada rujuk dari suaminya, maka nikahnya itu batal. Dan menurut ulama lainnya, jika seorang wanita telah menyelesaikan ‘iddahnya, maka ia mempunyai pilihan; jika mau ia tetap berpegang pada tali pernikahan dan meneruskannya, dan jika mau ia juga boleh membatalkannya, pergi dan menikah lagi. Dalam hal ini mereka mengemukakan hadits Ibnu ‘Abbas ra. WallaaHu a’lam.
Dan firman Allah: wa aatuuHum maa anfaquu (“Dan berikanlah kepada [suami-suami] mereka mahar yang telah mereka bayar.”) maksudnya yaitu suami-suami para wanita yang berhijrah dari kalangan kaum musyrikin. Serahkanlah kepada mereka mahar-mahar yang telah mereka bayarkan kepada istri-istri mereka itu. Demikian yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Qatadah, az-Zuhri dan lain-lain.
Firman-Nya lebih lanjut: walaa junaaha ‘alaikum an tankihuuHunna idzaa aataitumuuHunna ujuuraHunna (“Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya.”) yakni jika kalian telah memberikan mahar kepada mereka, maka nikahilah mereka dengan tetap berpegang pada persyaratan, seperti telah selesainya masa ‘iddah, adanya wali dan lain-lain.
Firman Allah: wa laa tumsikuu bi’ishamil kawaafiri (“Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali [perkawinan] dengan perempuan-perempuan kafir.”) yang demikian itu merupakan pengharaman dari Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Yakni mereka diharamkan menikahi wanita-wanita musyrik dan tetap bertahan hidup berumah tangga dengan mereka.
Dan dalam hadits shahih dari az-Zuhri, dari ‘Urwah, dari al-Miswar dan Marwan bin al-Hakam, bahwa ketika Rasulullah saw. mengadakan perjanjian dengan orang-orang kafir Quraisy pada peristiwa Hudaibiyyah, beliau didatangi wanita-wanita mukminah. Lalu Allah menurunkan ayat yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, -sampai kepada firman-Nya- Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali [perkawinan] dengan perempuan-perempuan kafir.”
Pada saat itu juga ‘Umar bin al-Khaththab menceraikan dua orang istrinya. Salah seorang di antaranya kemudian dinikahi oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan seorang lagi dinikahi oleh Shafwan bin Umayyah. (HR al-Bukhari dan Ahmad).
Ibnu Tsaur menceritakan dari Ma’mar, dari az-Zuhri, ia berkata: “Ayat ini diturunkan kepada Rasulullah saw. yang ketika itu beliau berada di tempat paling bawah dari Hudaibiyyah pada saat beliau mengadakan perjanjian dengan kaum kafir Quraisy dengan kesepakatan bahwa siapapun dari golongan mereka yang datang kepada beliau, maka beliau harus mengembalikannya kepada mereka. Dan setelah ada beberapa orang wanita yang datang kepada beliau, maka turunlah ayat tersebut dan beliau memerintahkan agar para wanita itu mengembalikan mahar kepada suami mereka. Hal yang sama juga diberlakukan terhadap orang-orang musyrik, dimana jika ada wanita muslimah yang datang kepada mereka, maka mereka harus mengembalikan mahar kepada suami mereka. Dan Allah Ta’ala berfirman: wa laa tumsikuu bi’ishamil kawaafiri (“Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali [perkawinan] dengan perempuan-perempuan kafir.”)” demikian pendapat ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam. Dan Dia mengatakan: “Sesungguhnya Allah Ta’ala memberlakukan hal tersebut kepada mereka karena di antara kaum muslimin dan kaum musyrikin terdapat perjanjian.”
Muhammad bin Ishaq menceritakan dari az-Zuhri: “Pada hari itu, ‘Umar bin al-Khaththab menceraikan Qaribah [demikian yang tertulis pada keterangan aslinya. Sedangkan dalam tafsir al-Baghawi tertulis: Fathimah] binti Abi Umayyah bin al-Mughirah. Lalu Qaribah dinikahi kembali oleh Mu’awiyah. Juga menceraikan Ummu Kultsum binti ‘Amr bin Jarwal al-Khuza’iyyah, yaitu ummu ‘Abdillah. Lalu ia dinikahi oleh Abu Jahm bin Hudzaifah bin Ghanim, seorang dari kaumnya sendiri dan keduanya masih dalam kesyirikan. Sedangkan Thalhah bin ‘Ubaidillah menceraikan Arwa binti Rubai’ah bin al-Harits bin ‘Abdil Muthalib, kemudian dia dinikahi oleh Khalid bin Sa’id bin al-‘Ash.
Dan firman Allah: was aluu maa anfaqtum wal yas-aluu maa anfaquu (“Dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar. Dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar.”) maksudnya hendaklah kalian meminta kembali mahar dari istri-istri kalian yang pergi kepada orang-orang kafir jika mereka pergi, dan hendaklah orang-orang kafir itu meminta kembali mahar dari istri-istri mereka yang berhijrah kepada kaum muslimin.
Firman Allah: dzaalikum hukmullaaHi yahkumu bainakum (“Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu”) yakni yang terdapat dalam perjanjian dan pengecualiannya untuk kaum wanita. Semua perkara ini adalah keputusan yang telah ditetapkan oleh Allah bagi semua hamba-Nya.
wallaaHu ‘aliimun hakiim (“Dan Allah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana”) yakni Yang Mahamengetahui apa yang terbaik bagi kemaslahatan hamba-hamba-Nya dan Mahabijaksana dalam semua itu.
Firman Allah: wa in faatakum syai-um min azwaajikum ilal kuffaari fa-‘aaqabtum fa aatulladziina dzaHaba azwaajuHum mitsla maa an faquu (“Dan jika seseorang dari istri-istrimu lari kepada orang-orang kafir lalu kamu mengalahkan mereka, maka bayarlah kepada orang-orang yang [kepadanya] lari istrinya itu mahar sebanyak yang telah mereka bayar.”) Mujahid dan Qatadah berkata: “Yang demikian itu berkenaan dengan orang-orang kafir yang tidak mempunyai ikatan perjanjian, dimana jika ada seorang wanita yang melarikan diri kepada mereka, mereka tidak berbuat apapun terhadap suaminya. Dan jika ada seorang wanita dari mereka yang datang, maka mereka tidak akan membayar sesuatupun kepada suaminya itu sehingga dia membayar [mahar] kepada suami wanita yang pergi kepada mereka itu sebanyak mahar yang telah dibayarkan kepadanya.”
Ibnu Jarir menceritakan dari az-Zuhri, ia bercerita: “Orang-orang mukmin mengakui hukum Allah, sehingga mereka mau melaksanakan apa yang diperintahkan kepada mereka, yakni membayarkan mahar kepada kaum musyrikin yang telah diberikan kepada kaum wanita mereka [kaum mukminin]. Sedangkan kaum musyrikin tidak mau mengakui hukum tersebut sehingga mereka enggan menjalankan apa yang diperintahkan kepada mereka berupa pembayaran mahar kepada kaum muslimin.”
Oleh karena itu Allah berfirman kepada orang-orang yang beriman: wa in faatakum syai-um min azwaajikum ilal kuffaari fa-‘aaqabtum fa aatulladziina dzaHaba azwaajuHum mitsla maa an faquu. wattaqullaaHal ladzii antum biHii mu’minuun (“Dan jika seseorang dari istri-istrimu lari kepada orang-orang kafir lalu kamu mengalahkan mereka, maka bayarlah kepada orang-orang yang [kepadanya] lari istrinya itu mahar sebanyak yang telah mereka bayar. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamu beriman.”)
Jika setelah ayat ini turun masih ada istri dari kaum muslimin yang pergi kepada kaum musyrikin, maka orang-orang muslimin harus mengembalikannya kepada suaminya mahar yang telah dibayarkan kepadanya, yaitu berupa sisa mahar yang ada di tangan mereka yang mereka bayarkan kepada istri-istri mereka yang telah melarikan diri tersebut. Kemudian mereka mengembalikan sisanya kepada kaum musyrikin.
Al-‘Aufi menceritakan dari Ibnu ‘Abbas mengenai ayat ini: “Artinya, jika istri seorang Muhajirin bergabung dengan orang-orang kafir, Rasulullah saw. memerintahkan untuk memberikan sebagian harta rampasan perang kepada orang tersebut sejumlah mahar yang telah ia berikan.”
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Mujahid mengenai firman-Nya: fa’aaqabtum (“Lalu kamu mengalahkan mereka.”) ia mengatakan: “Artinya, jika kalian mendapatkan ghanimah dari kaum Quraisy atau selain mereka.”
Fa aatulladziina dzaHaba azwaajuHum mitsla maa anfaquu (“Maka bayarlah kepada mereka orang-orang yang [kepadanya] lari istrinya itu mahar sebanyak yang telah mereka bayar.”) yakni mahar yang semisal.
Demikian pula yang diungkapkan oleh Masruq, Ibrahim, Qatadah, Muqatil bin Hayyan, adh-Dhahhak, Sufyan bin Husain dan juga az-Zuhri. Dan itu jelas tidak bertentangan dengan yang pertama. sebab jika memungkinkan yang pertama itulah yang terbaik, dan jika tidak maka diambilkan dari ghanimah yang diambil dari tangan kaum kafir. [Pendapat] inilah yang lebih luas dan menjadi pilihan Ibnu Jarir. alhamdulillaaH.
“Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk Mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat Dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka[1472] dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, Maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Mumtahanah: 12)
Imam Al-Bukhari meriwayatkan, Ya’qub bin Ibrahim memberitahu kami, putera saudaraku, Ibnu Syihab memberitahu kami, dari pamannya, ia bercerita, ‘Urwah memberitahuku bahwa ‘Aisyah ra, istri Nabi saw. pernah memberitahukan kepadanya bahwa Rasulullah saw. telah menguji kaum wanita mukminah yang berhijrah dengan ayat ini: yaa ayyuHan nabiyyu idzaa jaa-akal mu’minaatu yubaayi’naka…..innallaaHa ghafuurur rahiim (“Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan perjanjian setia… sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”) ‘Urwah bercerita bahwa ‘Aisyah berkata: “Wanita mukminah yang mau menerima persyaratan ini, Rasulullah saw. akan berkata kepadanya: ‘Sesungguhnya aku telah membaiatmu.’ Beliau hanya mengucapkan kata-kata itu dan demi Allah, tangan beliau sama sekali tidak bersentuhan dengan seorang wanita pun dalam baiat tersebut. Rasulullah saw. tidak membaiat mereka melainkan hanya dengan mengatakan: ‘Sungguh aku telah membaiatmu atas hal itu.’” Demikianlah menurut lafadz al-Bukhari.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Umaimah binti Ruqaiqah, ia bercerita: Aku pernah mendatangi Rasulullah saw. bersama beberapa wanita untuk berbaiat kepada beliau. Maka beliau membaiat kami dengan apa yang terdapat di dalam al-Qur’an, yaitu kami tidak boleh menyekutukan Allah dengan sesuatupun. Lalu beliau bersabda: “Yakni berkenaan dengan yang kalian mampu dan sanggupi.” Maka kamipun berkata: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih menyayangi kami dari diri kami sendiri.” Lebih lanjut, kami mengatakan: “Ya Rasulallah, tidakkah kita perlu bersalaman?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya aku tidak menyalami wanita. Ucapanku kepada satu orang wanita sama dengan untuk seratus orang wanita.”
Sanad riwayat ini shahih, juga diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, an-Nasa-i dan Ibnu Majah dari hadits Sufyan bin ‘Uyainah. Dan diriwayatkan oleh an-Nasa-i dari hadits ats-Tsauri dan Malik bin Anas. Semuanya bersumber dari Muhammad bin al-Munkadir. Imam at-Tirmidzi mengungkapkan: “Hadits ini hasan shahih, kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Muhammad bin al-Munkadir.”
Imam Ahmad meriwayatkan, Ya’qub memberitahu kami, ayahku memberitahuku dari Ibnu Ishaq, Salith bin Ayyub bin al-Ahkam bin Salim telah memberitahuku dari ibunya, Salma binti Qais, ia termasuk salah seorang bibi Rasulullah saw. Ia sempat mengerjakan shalat bersama beliau dengan dua kiblat. Dan dia adalah salah seorang wanita Bani ‘Adi bin an-Najjar. Ia bercerita: Aku pernah mendatangi Rasulullah saw. untuk berbaiat kepada beliau bersama wanita kaum Anshar. Setelah memberikan persyaratan kepada kami bahwa kami tidak boleh menyekutukan Allah dengan suatu apapun, tidak boleh mencuri, berzina, dan membunuh anak-anak kami, serta tidak boleh mengerjakan dosa besar antara kedua tangan dan kaki kami, dan tidak mendurhakai beliau dalam suatu kebaikan, beliau bersabda: “Janganlah berbuat curang terhadap suami-suami kalian.” Kemudian Binti Qais berkata: Lalu kami berbaiat kepada beliau. Setelah itu kami kembali pulang, tetapi sempat kukatakan kepada salah seorang wanita dari mereka: “Kembalilah kepada Rasulullah saw. dan tanyakan kepada beliau, apa yang dimaksud berbuat curang kepada suami kami?” Maka wanita itu pergi dan menanyakanya, dan beliau pun menjawab: “Engkau mengambil hartanya tetapi engkau mencintai laki-laki lain.” Ma’mar memberitahu kami dari Ummu ‘Athiyyah, ia bercerita: Kami pernah berbaiat kepada Rasulullah saw. lalu beliau membacakan kepada kami ayat: laa yusyrikna billaaHi syai-an (“Dan janganlah kamu menyekutukan Allah dengan suatu apapun.”) dan beliaupun melarang kami meratapi mayat. Kemudian ada seorang wanita yang menggenggam tangannya dan berkata: “Fulanah telah membuatku bahagia dan aku ingin membalasnya.” Rasulullah saw. tidak memberikan jawaban sedikitpun. Lalu wanita itu pun pergi, kemudian kembali lagi dan berbaiat kepada beliau.” Diriwayatkan oleh Muslim.
Sedangkan menurut riwayat al-Bukhari dari Ummu ‘Athiyyah, ia bercerita: Rasulullah saw. pernah mengambil janji setia kepada kami ketika membaiat yang isinya: “Kami tidak boleh meratapi mayat.” Dan ternyata tidak ada yang sanggup melaksanakannya kecuali lima orang saja.”
Rasulullah saw. juga pernah mengambil janji setia dari kaum wanita dengan baiat tersebut pada hari raya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibnu ‘Abbas ra. ia bercerita: aku pernah mengerjakan shalat hari raya ‘Idul fitri bersama Rasulullah saw., Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Utsman. Mereka semua mengerjakan shalat sebelum berkhutbah. Kemudian Nabi saw. berkhutbah, setelah itu beliau turun dari mimbar, seolah-olah aku melihat beliau menyuruh orang-orang duduk dengan mengisyaratkan tangan beliau. Kemudian menghadap mereka dan membelah barisan kaum laki-laki, dan itu berlangsung setelah beliau berada di belakang kaum laki-laki dengan disertai Bilal. Setibanya di tempat kaum wanita itu, beliau membacakan ayat [yang artinya]: “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk Mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat Dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik,”) sampai akhir ayat tersebut. Setelah membacanya beliau bersabda: “Kalian telah mengadakan baiat tersebut.” Kemudian salah seorang dari mereka menjawab seruan tersebut. Kemudian Rasulullah saw. bersabda lagi: “Maka bersedekahlah kalian.” Selanjutnya Bilal menggelar kainnya, lalu kaum wanita itu melemparkan cincin-cincin ukuran besar dan ukuran kecil ke kain yang digelar Bilal tersebut.
Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Ubaidah bin ash-Shamit, ia bercerita: Kami pernah bersama Rasulullah saw. dalam suatu majelis, lalu beliau bersabda: “Kalian telah berbaiat kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan suatu apa pun, tidak mencuri, tidak berzina, dan tidak membunuh anak-anak kalian.” Kemudian beliau membacakan ayat yang ditujukan kepada kaum wanita ini, yaitu: idzaa jaa-akal mu’minaatu (“Apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman.”) barangsiapa yang memenuhi baiat tersebut, maka pahalanya diserahkan kepada Allah. Dan siapa yang melakukan salah satunya saja lalu ditegakkan hukuman kepadanya, maka hukuman itu menjadi kaffarat baginya. Tetapi barangsiapa yang melakukan salah satunya kemudian perkaranya ditutupi oleh Allah, maka hal itu terserah Allah. Jika berkehendak, Dia akan memberikan ampunan, dan jika berkehendak Dia akan mengadzabnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih keduanya).
Firman Allah: yaa ayyuHan nabiyyu idzaa jaa-akal mu’minaatu yubaayi’naka (“Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia.”) maksudnya, siapa saja di antara mereka yang datang kepadamu untuk berbaiat untuk memenuhi persyaratan ini, maka baiatlah dia untuk tidak menyekutukan Allah dan tidak mencuri harta orang lain yang tidak mempunyai hubungan apa-apa. Adapun jika suami terlalu sedikit memberikan nafkah kepadanya, maka dia berhak memanfaatkan hartanya dengan cara yang baik, sesuai dengan nafkah yang biasa diterima oleh kaum wanita yang sesuai dengan keadaannya meskipun tanpa sepengetahuan suaminya. Hal itu sekaligus dalam rangka mengamalkan hadits Hindun binti ‘Utbah, dimana dia berkata: “Ya Rasulallah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang sangat kikir, tidak memberikan nafkah yang mencukupi diri dan anak-anakku. Maka berdosakah jika aku mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya?” Beliau menjawab: “Ambillah sebagian hartanya dengan cara yang baik sesuai dengan kebutuhanmu dan juga anak-anakmu.” (HR al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih keduanya).
Firman Allah: wa laa yazniina (“tidak berzina”) penggalan ayat ini sama seperti firman-Nya yang lain: walaa taqrabuz zinaa innaHuu kaana faahisyataw wa saa-a sabiilan (“Dan janganlah kamu mendekati perbuatan zina, karena ia adalah perbuatan yang keji dan jalan yang buruk.”)(al-Israa’: 32)
Firman-Nya lebih lanjut: wa laa yaqtulna aulaadaHunna (“Tidak akan membunuh anak-anaknya”) penggalan ayat ini mencakup pembunuhan anak setelah lahir, sebagaimana yang pernah dilakukan orang-orang zaman jahiliyyah, dimana mereka membunuh anak-anak mereka karena takut miskin. Atau pembuhuhan ketika anak masih dalam wujud janin di dalam rahim ibunya. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh wanita-wanita dungu, dimana mereka melakukan suatu hal agar mereka tidak jadi hamil, baik karena tujuan yang tidak benar maupun tujuan-tujuan lain yang serupa.
Firman Allah: wa laa ya’tiina bibuHtaaniy yaftariinaHu baina aidiiHinna wa arjuliHinna (“Tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka.”) Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Artinya, tidak menasabkan anak orang lain kepada suami mereka.” Demikian pula yang dikatakan oleh Muqatil bin Hayyan. Hal ini diperkuat dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah ra. dimana dia pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda ketika turun ayat li’an: “Wanita mana saja yang menasabkan seseorang kepada suatu kaum yang bukan dari keturunan mereka, maka lepaslah dia dari pertolongan Allah dan Dia tidak akan memasukkannya ke dalam surga. Dan laki-laki mana saja yang tidak mengakui anaknya padahal dia melihatnya sendiri, maka Allah akan menutup diri darinya dan akan mempermalukannya di hadapan orang-orang generasi pertama sampai terakhir.”
Firman Allah: wa laa ya’shiinaka fii ma’ruuf (“Dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik.”) maksudnya dalam berbagai hal yang telah kalian perintahkan atau kalian larang kepada mereka.
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas mengenai firman-Nya: wa laa ya’shiinaka fii ma’ruuf (“Dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik.”) ia mengatakan: “Hal itu merupakan syarat yang diberikan Allah Ta’ala kepada kaum wanita.”
Sedangkan Maimun bin Mihram mengatakan: “Allah tidak menjadikan [mewajibkan] suatu ketaatan pada Nabi-Nya kecuali dalam hal kebaikan, dan kebaikan itu sendiri sebelumnya adalah ketaatan.”
Ibnu Zaid mengatkan: “Allah Ta’ala memerintahkan agar umat manusia mentaati Rasul-Nya, dan beliau adalah manusia pilihan dalam hal kebaikan di antara makhluk-Nya yang ada.”
Dan ulama lainnya juga menceritakan dari Ibnu ‘Abbas, Anas bin Malik, Salim bin Abil Ja’d, Abu Shalih dan beberapa ulama lainnya: “Pada hari itu mereka dilarang meratapi mayat.”
Sedangkan Ibnu Jarir menceritakan dari Qatadah mengenai ayat ini: Diceritakan kepada kami bahwa Nabi saw. pernah mengambil janji setia kepada kaum wanita, yakni agar mereka tidak meratapi mayat dan tidak berbicara dengan laki-laki kecuali mahramnya.”
‘Abdurrahman bin ‘Auf berkata: “Ya Rasulallah, sesungguhnya kami kedatangan beberapa orang tamu, dan kami sedang tidak bersama istri kami.” Maka Rasulullah saw. bersabda: “Bukan mereka yang aku maksud, bukan mereka yang aku maksud.”
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari al-Hasan, ia mengatakan bahwa di antara janji setia yang diambil oleh Nabi saw. dari kaum wanita adalah: “Mereka tidak boleh berbicara dengan laki-laki kecuali dengan mahramnya. Karena sesungguhnya seorang laki-laki itu akan terus mengajak bicara wanita itu sehingga di antara kedua paha [kemaluan]nya mengeluarkan madzi.”
Sedangkan dalam kitab ash-Shahihain disebutkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia bercerita bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Bukan dari golongan kami orang yang memukul-mukul pipi, merobek-robek saku baju dan berseru dengan seruah jahiliyah.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Al-Hafidz Abu Ya’la menceritakan, Hadbah bin Khalid memberitahu kami, Aban bin Yazid memberitahu kami, dari Yahya bin Abi Katsir, bahwa Zaid pernah memberitahunya dari Abu Salam, Abu Malik al-Asy’ari telah memberitahunya, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Empat hal pada umatku yang tergolong kebiasaan jahiliyyah, mereka tidak akan meninggalkannya, yaitu berbangga-bangga dengan kedudukan, mencela keturunan, meminta hujan kepada bintang dan meratapi mayat. –Dan beliau bersabda: -Dan wanita yang meratap. Jika ia tidak bertaubat sebelum meninggal dunia, maka dia akan dibangkitkan pada hari kiamat kelak sedang pada tubuhnya terdapat pakaian yang terbuat dari aspal panas , dan daster dari kudis.”
Diriwayatkan oleh Muslim sendirian dalam Shahihnya, dari hadits Abban bin Yazid al-‘Athar.
Dan dari Abu Sa’id, bahwa Rasulullah saw. melaknat wanita yang meratap dan wanita yang ikut mendengar ratapan. (HR Abu Dawud).
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ummu Salamah, dari Rasulullah saw. mengenai firman Allah: wa laa ya’shiinaka fii ma’ruuf (“Dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik.”) beliau mengatakan: “Yakni ratapan.” Demikian yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam kitab at-Tafsiir, dari ‘Abd bin Hamid, dari Abu Na’im. Dan Ibnu Majah dari Abu Bakar bin Abi Syaibah, dari Waki’, keduanya dari Yazid bin ‘Abdullah asy-Syaibani maula ash-Shahba’. Imam at-Tirmidzi mengatakan: “Hadits tersebut hasan gharib.”
“13. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan penolongmu kaum yang dimurkai Allah. Sesungguhnya mereka telah putus asa terhadap negeri akhirat sebagaimana orang-orang kafir yang telah berada dalam kubur berputus asa.” (al-Mumtahanah: 13)
Di akhir surah ini Allah Ta’ala melarang [dari] menjadikan orang-orang kafir sebagai penolong, sebagaimana Dia juga telah melarang darinya pada permulaan surah, dimana Dia berfirman: yaa ayyuHalladziina aamanuu laa tatawallau qauman ghadliballaaHu ‘alaiHim (“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan penolongmu kaum yang dimurkai Allah.”) yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani serta seluruh orang kafir yang dimurkai dan dilaknat oleh Allah Ta’ala serta berhak mendapatkan pengusiran dari-Nya. Lalu bagaimana mungkin kalian –wahai orang-orang beriman- akan menjadikan mereka sebagai penolong dan teman sedang mereka telah berputus asa dari kehidupan akhirat, yaitu berputus asa dari pahala dan kenikmatan yang ada di dalamnya.
Firman-Nya: kamaa ya-isal kuffaaru min ash-haabil qubuur (“Sebagaimana orang-orang kafir yang telah berada di dalam kubur berputus asa.”) dalam masalah ini terdapat dua pendapat:
1. Pertama, sebagaimana orang-orang kafir yang masih hidup berputus asa terhadap kaum kerabat mereka yang telah berada di dalam kubur, karena setelah itu mereka tidak akan berkumpul lagi dengan mereka, sebab mereka berkeyakinan bahwa hari kebangkitan dan pengumpulan manusia itu tidak pernah ada, maka harapan mereka pun telah putus dari kerabat-kerabat mereka sesuai dengan keyakinan mereka.
2. Kedua, sebagaimana orang-orang kafir yang sudah berada di dalam kubur berputus asa dari segala bentuk kebaikan.
Al-A’masy menceritakan dari Abudh Dhuha, dari Masruq, dari Ibnu Mas’ud mengenai firman-Nya: kamaa ya-isal kuffaaru min ash-haabil qubuur (“Sebagaimana orang-orang kafir yang telah berada di dalam kubur berputus asa.”) ia mengatakan: “Sebagaimana orang kafir ini berputus asa jika sudah meninggal dan melihat serta mengetahui balasan yang akan dia diterima .” ini adalah pendapat Mujahid, ‘Ikrimah, Muqatil, Ibnu Zaid, al-Kilabi, Manshur, dan menjadi pilihan Ibnu Jarir. Segala puji dan sanjungan hanya milik Allah.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home