Jumat, 10 Juni 2011 02:51
Al-Ustadz Abu Karimah Askari Hafizhahulloh
![](http://www.salafybpp.com/images/musik.jpg)
Musik
dan nyanyian, merupakan suatu media yang dijadikan sebagai alat
penghibur oleh hampir setiap kalangan di zaman kita sekarang ini. Hampir
tidak kita dapati satu ruang pun yang kosong dari musik dan nyanyian.
Baik di rumah, di kantor, di warung dan toko-toko, di bus, angkutan kota
ataupun mobil pribadi, di tempat-tempat umum, serta rumah sakit. Bahkan
di sebagian tempat yang dikenal sebagai sebaik-baik tempat di muka
bumi, yaitu masjid, juga tak luput dari pengaruh musik.
Merebaknya
musik dan lagu ini disebabkan banyak dari kaum muslimin tidak mengerti
dan tidak mengetahui hukumnya dalam pandangan Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang mubah, halal, bahkan menjadi
konsumsi setiap kali mereka membutuhkannya. Jika ada yang menasihati
mereka dan mengatakan bahwa musik itu hukumnya haram, serta merta diapun
dituduh dengan berbagai macam tuduhan: sesat, agama baru, ekstrem, dan
segudang tuduhan lainnya.
Namun
bukan berarti, tatkala seseorang mendapat kecaman dari berbagai pihak
karena menyuarakan kebenaran, lantas menjadikan dia bungkam. Kebenaran
harus disuarakan, kebatilan harus ditampakkan.
Rasulullah n bersabda:
لاَ يَمْنَعَنَّ أَحَدَكُمْ هَيْبَةُ النَّاسِ أَنْ يَقُولَ في حَقٍّ إِذَا رَآهُ أَوْ شَهِدَهُ أَوْ سَمِعَهُ
“Janganlah
rasa segan salah seorang kalian kepada manusia, menghalanginya untuk
mengucapkan kebenaran jika melihatnya, menyaksikannya, atau
mendengarnya.” (HR. Ahmad, 3/50, At-Tirmidzi, no. 2191, Ibnu Majah no. 4007. Dishahihkan oleh Al-Albani t dalam Silsilah Ash-Shahihah, 1/322)
Terlebih
lagi, jika permasalahan yang sebenarnya dalam timbangan Al-Qur`an dan
As-Sunnah adalah perkara yang telah jelas. Hanya saja semakin
terkaburkan karena ada orang yang dianggap sebagai tokoh Islam
berpendapat bahwa hal itu boleh-boleh saja, serta menganggapnya halal
untuk dikonsumsi kaum muslimin. Di antara mereka, adalah Yusuf
Al-Qaradhawi dalam kitabnya Al-Halal wal Haram, Muhammad Abu Zahrah,
Muhammad Al-Ghazali Al-Mishri, dan yang lainnya dari kalangan
rasionalis. Mereka menjadikan kesalahan Ibnu Hazm rahimahulloh sebagai
tameng untuk membenarkan penyimpangan tersebut.
Oleh
karenanya, berikut ini kami akan menjelaskan tentang hukum musik, lagu
dan nasyid, berdasarkan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah n, serta
perkataan para ulama salaf.
Definisi Musik
Musik
dalam bahasa Arab disebut ma’azif, yang berasal dari kata ‘azafa yang
berarti berpaling. Kalau dikatakan: Si fulan berazaf dari sesuatu,
maknanya adalah berpaling dari sesuatu. Jika dikatakan laki-laki yang
‘azuf dari yang melalaikan, artinya yang berpaling darinya. Bila
dikatakan laki-laki yang ‘azuf dari para wanita artinya adalah yang
tidak senang kepada mereka.
Ma’azif adalah jamak dari mi’zaf (مِعْزَفٌ ), dan disebut juga ‘azfun (عَزْفٌ ).
Mi’zaf adalah sejenis alat musik yang dipakai oleh penduduk Yaman dan
selainnya, terbuat dari kayu dan dijadikan sebagai alat musik.
Al-‘Azif adalah orang yang bermain dengannya.
Al-Laits radiallohu anhu, berkata: “Al-ma’azif
adalah alat-alat musik yang dipukul.” Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahulloh
berkata: “Al-ma’azif adalah alat-alat musik.” Al-Qurthubi rahimahulloh,
meriwayatkan dari Al-Jauhari bahwa al-ma’azif
adalah nyanyian. Yang terdapat dalam Shihah-nya bahwa yang dimaksud
adalah alat-alat musik. Ada pula yang mengatakan maknanya adalah
suara-suara yang melalaikan. Ad-Dimyathi berkata: “Al-ma’azif adalah
genderang dan yang lainnya berupa sesuatu yang dipukul.” (lihat Tahdzib Al-Lughah, 2/86, Mukhtarush Shihah, hal. 181, Fathul Bari, 10/57)
Al-Imam
Adz-Dzahabi rahimahulloh, berkata: “Al-ma’azif adalah nama bagi setiap
alat musik yang dimainkan, seperti seruling, gitar, dan klarinet
(sejenis seruling), serta simba.” (Siyar A’lam An-Nubala`, 21/158)
Ibnul
Qayyim rahimahulloh berkata bahwa al-ma’azif adalah seluruh jenis alat
musik, dan tidak ada perselisihan ahli bahasa dalam hal ini. (Ighatsatul
Lahafan, 1/260-261)
Mengenal Macam-Macam Alat Musik
Alat-alat musik banyak macamnya. Namun dapat kita klasifikasi alat-alat tersebut ke dalam empat kelompok:
Pertama: Alat-alat musik yang diketuk atau dipukul (perkusi).
Yaitu
jenis alat musik yang mengeluarkan suara saat digoncangkan, atau
dipukul dengan alat tabuh tertentu, (misal: semacam palu pada gamelan,
ed.), tongkat (stik), tangan kosong, atau dengan menggesekkan
sebagiannya kepada sebagian lainnya, serta yang lainnya. Alat musik
jenis ini memiliki beragam bentuk, di antaranya seperti: gendang, kubah
(gendang yang mirip seperti jam pasir), drum, mariba, dan yang lainnya.
Kedua: Alat musik yang ditiup.
Yaitu
alat yang dapat mengeluarkan suara dengan cara ditiup padanya atau pada
sebagiannya, baik peniupan tersebut pada lubang, selembar bulu, atau
yang lainnya. Termasuk jenis ini adalah alat yang mengeluarkan bunyi
yang berirama dengan memainkan jari-jemari pada bagian lubangnya. Jenis
ini juga beraneka ragam, di antaranya seperti qanun dan qitsar (sejenis
seruling).
Ketiga: Alat musik yang dipetik.
Yaitu
alat musik yang menimbulkan suara dengan adanya gerakan berulang atau
bergetar (resonansi), atau yang semisalnya. Lalu mengeluarkan bunyi saat
dawai/senar dipetik dengan kekuatan tertentu menggunakan jari-jemari.
Terjadi juga perbedaan irama yang muncul tergantung kerasnya petikan,
dan cepat atau lambatnya gerakan/getaran yang terjadi. Di antaranya
seperti gitar, kecapi, dan yang lainnya.
Keempat: Alat musik otomatis.
Yaitu
alat musik yang mengeluarkan bunyi musik dan irama dari jenis alat
elektronik tertentu, baik dengan cara langsung mengeluarkan irama, atau
dengan cara merekam dan menyimpannya dalam program yang telah tersedia,
dalam bentuk kaset, CD, atau yang semisalnya. (Lihat risalah Hukmu
‘Azfil Musiqa wa Sama’iha, oleh Dr. Sa’d bin Mathar Al-‘Utaibi)
Dalil-Dalil tentang Haramnya Musik dan Lagu
Dalil dari Al-Qur`an Al-Karim
1. Firman Allah Subhaanahu wata’aala, :
“Dan
di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak
berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan
dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh
adzab yang menghinakan.” (Luqman: 6)
Ayat
Allah Subhaanahu wata’aala, ini telah ditafsirkan oleh para ulama salaf
bahwa yang dimaksud adalah nyanyian dan yang semisalnya. Di antara yang
menafsirkan ayat dengan tafsir ini adalah:
Abdullah
bin ‘Abbas radiallohu anhu, beliau mengatakan tentang ayat ini: “Ayat
ini turun berkenaan tentang nyanyian dan yang semisalnya.” (Diriwayatkan
Al-Imam Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad (no. 1265), Ibnu Abi Syaibah
(6/310), Ibnu Jarir dalam tafsirnya (21/40), Ibnu Abid Dunya dalam
Dzammul Malahi, Al-Baihaqi (10/221, 223), dan dishahihkan Al-Albani
dalam kitabnya Tahrim Alat Ath-Tharb (hal. 142-143)).
Abdullah
bin Mas’ud radiallohu anhu, tatkala beliau ditanya tentang ayat ini,
beliau menjawab: “Itu adalah nyanyian, demi Allah yang tiada Ilah yang
haq disembah kecuali Dia.” Beliau mengulangi ucapannya tiga kali.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya, Ibnu Abi Syaibah,
Al-Hakim (2/411), dan yang lainnya. Al-Hakim mengatakan: “Sanadnya
shahih,” dan disetujui Adz-Dzahabi. Juga dishahihkan oleh Al-Albani,
lihat kitab Tahrim Alat Ath-Tharb hal. 143)
‘Ikrimah
radiallohu anhu,. Syu’aib bin Yasar berkata: “Aku bertanya kepada
‘Ikrimah tentang makna (lahwul hadits) dalam ayat tersebut. Maka beliau
menjawab: ‘Nyanyian’.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Tarikh-nya
(2/2/217), Ibnu Jarir dalam tafsirnya, dan yang lainnya. Dihasankan
Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 143).
Mujahid
bin Jabr radiallohu anhu,. Beliau mengucapkan seperti apa yang
dikatakan oleh ‘Ikrimah. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 1167,
1179, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abid Dunya dari beberapa jalan yang
sebagiannya shahih).
Dan
dalam riwayat Ibnu Jarir yang lain, dari jalan Ibnu Juraij, dari
Mujahid, tatkala beliau menjelaskan makna al-lahwu dalam ayat tersebut,
beliau berkata: “Genderang.” (Al-Albani berkata: Perawi-perawinya
tepercaya, maka riwayat ini shahih jika Ibnu Juraij mendengarnya dari
Mujahid. Lihat At-Tahrim hal. 144)
Al-Hasan Al-Bashri rahimahulloh, beliau mengatakan: “Ayat ini turun berkenaan tentang nyanyian dan seruling.”
As-Suyuthi
rahimahulloh menyebutkan atsar ini dalam Ad-Durrul Mantsur (5/159) dan
menyandarkannya kepada riwayat Ibnu Abi Hatim. Al-Albani berkata: “Aku
belum menemukan sanadnya sehingga aku bisa melihatnya.” (At-Tahrim hal.
144)
Oleh
karena itu, berkata Al-Wahidi dalam tafsirnya Al-Wasith (3/441):
“Kebanyakan ahli tafsir menyebutkan bahwa makna lahwul hadits adalah
nyanyian. Ahli ma’ani berkata: ‘Termasuk dalam hal ini adalah semua
orang yang memilih hal yang melalaikan, nyanyian, seruling, musik, dan
mendahulukannya daripada Al-Qur`an.”
2. Firman Allah Subhaanahu wata’aala,:
“Maka
apakah kalian merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kalian
menertawakan dan tidak menangis? Sedangkan kalian ber-sumud?” (An-Najm: 59-61)
Para ulama menafsirkan “kalian bersumud” maknanya adalah bernyanyi. Termasuk yang menyebutkan tafsir ini adalah:
Ibnu
Abbas radiallohu anhu,. Beliau berkata: “Maknanya adalah nyanyian.
Dahulu jika mereka mendengar Al-Qur`an, maka mereka bernyanyi dan
bermain-main. Dan ini adalah bahasa penduduk Yaman (dalam riwayat lain:
bahasa penduduk Himyar).” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam
tafsirnya (27/82), Al-Baihaqi (10/223). Al-Haitsami berkata:
“Diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan sanadnya shahih.” (Majma’ Az-Zawa`id,
7/116)
‘Ikrimah
radiallohu anhu. Beliau juga berkata: “Yang dimaksud adalah nyanyian,
menurut bahasa Himyar.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi
Syaibah, 6/121)
Ada
pula yang menafsirkan ayat ini dengan makna berpaling, lalai, dan yang
semisalnya. Ibnul Qayyim t berkata: “Ini tidaklah bertentangan dengan
makna ayat sebagaimana telah disebutkan, bahwa yang dimaksud sumud
adalah lalai dan lupa dari sesuatu. Al-Mubarrid mengatakan: ‘Yaitu
tersibukkan dari sesuatu bersama mereka.’ Ibnul ‘Anbar mengatakan:
‘As-Samid artinya orang yang lalai, orang yang lupa, orang yang sombong,
dan orang yang berdiri.’ Ibnu ‘Abbas radiallohu anhu, berkata tentang
ayat ini: ‘Yaitu kalian menyombongkan diri.’ Adh-Dhahhak berkata:
‘Sombong dan congkak.’ Mujahid berkata: ‘Marah dan berpaling.’ Yang
lainnya berkata: ‘Lalai, luput, dan berpaling.’ Maka, nyanyian telah
mengumpulkan semua itu dan mengantarkan kepadanya.” (Ighatsatul Lahafan,
1/258)
3. Firman Allah lkepada Iblis:
“Dan
hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu, dan
kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan
kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri
janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka
melainkan tipuan belaka.” (Al-Isra`: 64)
Telah
diriwayatkan dari sebagian ahli tafsir bahwa yang dimaksud “menghasung
siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu” adalah
melalaikan mereka dengan nyanyian. Di antara yang menyebutkan hal
tersebut adalah:
Mujahid rahimahulloh, Beliau berkata tentang makna “dengan suaramu”: “Yaitu melalaikannya dengan nyanyian.” (Tafsir Ath-Thabari)
Sebagian
ahli tafsir ada yang menafsirkannya dengan makna ajakan untuk
bermaksiat kepada Allah Subhaanahu wata’aala,. Ibnu Jarir berkata:
“Pendapat yang paling benar dalam hal ini adalah bahwa Allah Subhaanahu
wata’aala, telah mengatakan kepada Iblis: ‘Dan hasunglah dari keturunan
Adam siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu,’ dan Dia
tidak mengkhususkan dengan suara tertentu. Sehingga setiap suara yang
dapat menjadi pendorong kepadanya, kepada amalannya dan taat kepadanya,
serta menyelisihi ajakan kepada ketaatan kepada Allah Subhaanahu
wata’aala,, maka termasuk dalam makna suara yang Allah Subhaanahu
wata’aala, maksudkan dalam firman-Nya.” (Tafsir Ath-Thabari)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahulloh berkata tatkala menjelaskan ayat ini:
“Sekelompok ulama salaf telah menafsirkannya dengan makna ‘suara
nyanyian’. Hal itu mencakup suara nyanyian tersebut dan berbagai jenis
suara lainnya yang menghalangi pelakunya untuk menjauh dari jalan Allah
k.” (Majmu’ Fatawa, 11/641-642)
Ibnul
Qayyim rahimahulloh berkata: “Satu hal yang telah dimaklumi bahwa
nyanyian merupakan pendorong terbesar untuk melakukan kemaksiatan.”
(Ighatsatul Lahafan, 1/255)
Dalil-dalil dari As-Sunnah
1. Hadits Abu ‘Amir atau Abu Malik Al-Asy’ari z bahwa Rasulullah n bersabda:
لَيَكُونَنَّ
مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ
وَالْمَعَازِفَ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ
عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ يَأْتِيهِمْ يَعْنِي الْفَقِيرَ لِحَاجَةٍ
فَيَقُولُوا: ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا؛ فَيُبَيِّتُهُمْ اللهُ وَيَضَعُ
الْعَلَمَ وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ
الْقِيَامَةِ
“Akan
muncul di kalangan umatku, kaum-kaum yang menghalalkan zina, sutera,
khamr, dan alat-alat musik. Dan akan ada kaum yang menuju puncak gunung
kembali bersama ternak mereka, lalu ada orang miskin yang datang kepada
mereka meminta satu kebutuhan, lalu mereka mengatakan: ‘Kembalilah
kepada kami besok.’ Lalu Allah Subhaanahu wata’aala, membinasakan mereka
di malam hari dan menghancurkan bukit tersebut. Dan Allah mengubah yang
lainnya menjadi kera-kera dan babi-babi, hingga hari kiamat.” (HR.
Al-Bukhari, 10/5590)
Hadits
ini adalah hadits yang shahih. Apa yang Al-Bukhari sebutkan dalam sanad
hadits tersebut: “Hisyam bin Ammar berkata...”1 tidaklah memudaratkan
kesahihan hadits tersebut. Sebab Al-Imam Al-Bukhari rahimahulloh, tidak
dikenal sebagai seorang mudallis (yang menggelapkan hadits), sehingga
hadits ini dihukumi bersambung sanadnya.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahulloh berkata: “(Tentang) alat-alat (musik)
yang melalaikan, telah shahih apa yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari
rahimahulloh dalam Shahih-nya secara ta’liq dengan bentuk pasti (jazm),
yang masuk dalam syaratnya.” (Al-Istiqamah, 1/294, Tahrim Alat
Ath-Tharb, hal. 39. Lihat pula pembahasan lengkap tentang sanad hadits
ini dalam Silsilah Ash-Shahihah, Al-Albani, 1/91)
Asy-Syaikh
Al-Albani rahimahulloh berkata setelah menyebutkan panjang lebar
tentang keshahihan hadits ini dan membantah pendapat yang berusaha
melemahkannya: “Maka barangsiapa –setelah penjelasan ini– melemahkan
hadits ini, maka dia adalah orang yang sombong dan penentang. Dia
termasuk dalam sabda Nabi n:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak masuk ke dalam surga, orang yang dalam hatinya ada kesombongan walaupun seberat semut.” (HR. Muslim) [At-Tahrim, hal. 39]
Makna
hadits ini adalah akan muncul dari kalangan umat ini yang menganggap
halal hal-hal tersebut, padahal itu adalah perkara yang haram.
Al-‘Allamah ‘Ali Al-Qari berkata: “Maknanya adalah mereka menganggap
perkara-perkara ini sebagai sesuatu yang halal dengan mendatangkan
berbagai syubhat dan dalil-dalil yang lemah.” (Mirqatul Mafatih, 5/106)
2. Hadits Anas bin Malik radiallohu anhu, bahwa Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, bersabda:
صَوْتَانِ مَلْعُونَانِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ: مِزْمَارٌ عِنْدَ نِعْمَةٍ، وَرَنَّةٌ عِنْدَ مُصِيبَةٍ
“Dua
suara yang terlaknat di dunia dan akhirat: seruling ketika mendapat
nikmat, dan suara (jeritan) ketika musibah.” (HR. Al-Bazzar dalam
Musnad-nya, 1/377/755, Adh-Dhiya` Al-Maqdisi dalam Al-Mukhtarah,
6/188/2200, dan dishahihkan oleh Al-Albani berdasarkan penguat-penguat
yang ada. Lihat Tahrim Alat Ath-Tharb, hal. 52)
Juga
dikuatkan dengan riwayat Jabir bin Abdullah radiallohu anhu, dari
Abdurrahman bin ‘Auf radiallohu anhu, dia berkata: Rasulullah
Shallallohu ‘alahi wasallam bersabda:
إِنَّمَا
نُهِيْتُ عَنِ النَّوْحِ عَنْ صَوْتَيْنِ أَحْمَقَيْنِ فَاجِرَيْنِ:
صَوْتٍ عِنْدَ نَغْمَةِ لَهْوٍ وَلَعِبٍ وَمَزَامِيرِ شَيْطَانٍ، وَصَوْتٍ
عِنْدَ مُصِيبَةٍ خَمْشِ وُجُوهٍ وَشَقِّ جُيُوبٍ وَرَنَّةِ شَيْطَانٍ
“Aku
hanya dilarang dari meratap, dari dua suara yang bodoh dan fajir: Suara
ketika dendangan yang melalaikan dan permainan, seruling-seruling
setan, dan suara ketika musibah, mencakar wajah, merobek baju dan suara
setan.” (HR. Al-Hakim, 4/40, Al-Baihaqi, 4/69, dan yang lainnya. Juga diriwayatkan At-Tirmidzi secara ringkas, no. 1005)
An-Nawawi
rahimahulloh berkata tentang makna ‘suara setan’: “Yang dimaksud adalah
nyanyian dan seruling.” (Tuhfatul Ahwadzi, 4/75)
3. Hadits Abdullah bin ‘Abbas radiallohu anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, telah bersabda:
إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيَّ -أَوْ حُرِّمَ الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْكُوبَةُ. قَالَ: وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
“Sesungguhnya
Allah k telah mengharamkan atasku –atau– diharamkan khamr, judi, dan
al-kubah. Dan setiap yang memabukkan itu haram.” (HR. Abu Dawud
no. 3696, Ahmad, 1/274, Al-Baihaqi, 10/221, Abu Ya’la dalam Musnad-nya
no. 2729, dan yang lainnya. Dishahihkan oleh Ahmad Syakir dan Al-Albani,
lihat At-Tahrim hal. 56).
Kata
al-kubah telah ditafsirkan oleh perawi hadits ini yang bernama ‘Ali bin
Badzimah, bahwa yang dimaksud adalah gendang. (lihat riwayat
Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, no. 12598)
4. Hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radiallohu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, bersabda:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْكُوبَةَ وَالْغُبَيْرَاءَ، وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
“Sesungguhnya
Allah Subhaanahu wata’aala, mengharamkan khamr, judi, al-kubah
(gendang), dan al-ghubaira` (khamr yang terbuat dari bahan jagung), dan
setiap yang memabukkan itu haram.” (HR. Abu Dawud no. 3685, Ahmad,
2/158, Al-Baihaqi, 10/221-222, dan yang lainnya. Hadits ini dihasankan
Al-Albani dalam Tahrim Alat Ath-Tharb hal. 58)
Atsar dari Ulama Salaf
1. Abdullah bin Mas’ud radiallohu anhu berkata:
الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ
“Nyanyian
itu menimbulkan kemunafikan dalam hati.” (Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya
dalam Dzammul Malahi, 4/2, Al-Baihaqi dari jalannya, 10/223, dan
Syu’abul Iman, 4/5098-5099. Dishahihkan Al-Albani dalam At-Tahrim hal.
10. Diriwayatkan juga secara marfu’, namun sanadnya lemah)
2.
Ishaq bin Thabba` rahimahulloh berkata: Aku bertanya kepada Malik bin
Anas rahimahulloh tentang sebagian penduduk Madinah yang membolehkan
nyanyian. Maka beliau mejawab: “Sesungguhnya menurut kami, orang-orang
yang melakukannya adalah orang yang fasiq.” (Diriwayatkan Abu Bakr
Al-Khallal dalam Al-Amru bil Ma’ruf: 32, dan Ibnul Jauzi dalam Talbis
Iblis hal. 244, dengan sanad yang shahih)
Beliau
juga ditanya: “Orang yang memukul genderang dan berseruling, lalu dia
mendengarnya dan merasakan kenikmatan, baik di jalan atau di majelis?”
Beliau
menjawab: “Hendaklah dia berdiri (meninggalkan majelis) jika ia merasa
enak dengannya, kecuali jika ia duduk karena ada satu kebutuhan, atau
dia tidak bisa berdiri. Adapun kalau di jalan, maka hendaklah dia mundur
atau maju (hingga tidak mendengarnya).” (Al-Jami’, Al-Qairawani, 262)
3.
Al-Imam Al-Auza’i rahimahulloh berkata: ‘Umar bin Abdil ‘Aziz
rahimahulloh menulis sebuah surat kepada ‘Umar bin Walid yang isinya:
“... Dan engkau yang menyebarkan alat musik dan seruling, (itu) adalah
perbuatan bid’ah dalam Islam.” (Diriwayatkan An-Nasa`i, 2/178, Abu
Nu’aim dalam Al-Hilyah, 5/270. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam
At-Tahrim hal. 120)
4.
‘Amr bin Syarahil Asy-Sya’bi rahimahulloh berkata: “Sesungguhnya
nyanyian itu menimbulkan kemunafikan dalam hati, seperti air yang
menumbuhkan tanaman. Dan sesungguhnya berdzikir menumbuhkan iman seperti
air yang menumbuhkan tanaman.” (Diriwayatkan Ibnu Nashr dalam Ta’zhim
Qadr Ash-Shalah, 2/636. Dihasankan oleh Al-Albani dalam At-Tahrim, hal.
148)
Diriwayatkan
pula oleh Ibnu Abid Dunya (45), dari Al-Qasim bin Salman, dari
Asy-Sya’bi, dia berkata: “Semoga Allah k melaknat biduan dan biduanita.”
(Dishahihkan oleh Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 13)
5.
Ibrahim bin Al-Mundzir rahimahulloh –seorang tsiqah (tepercaya) yang
berasal dari Madinah, salah seorang guru Al-Imam Al-Bukhari rahimahulloh
– ditanya: “Apakah engkau membolehkan nyanyian?” Beliau menjawab: “Aku
berlindung kepada Allah Subhaanahu wata’aala, . Tidak ada yang
melakukannya menurut kami kecuali orang-orang fasiq.” (Diriwayatkan
Al-Khallal dengan sanad yang shahih, lihat At-Tahrim hal. 100)
6.
Ibnul Jauzi rahimahulloh berkata: “Para tokoh dari murid-murid Al-Imam
Asy-Syafi’i rahimahulloh mengingkari nyanyian. Para pendahulu mereka,
tidak diketahui ada perselisihan di antara mereka. Sementara para
pembesar orang-orang belakangan, juga mengingkari hal tersebut. Di
antara mereka adalah Abuth Thayyib Ath-Thabari, yang memiliki kitab yang
dikarang khusus tentang tercela dan terlarangnya nyanyian.
Lalu
beliau berkata: “Ini adalah ucapan para ulama Syafi’iyyah dan orang
yang taat di antara mereka. Sesungguhnya yang memberi keringanan dalam
hal tersebut dari mereka adalah orang-orang yang sedikit ilmunya serta
didominasi oleh hawa nafsunya. Para fuqaha dari sahabat kami (para
pengikut mazhab Hambali) menyatakan: ‘Tidak diterima persaksian seorang
biduan dan para penari.’ Wallahul muwaffiq.” (Talbis Iblis, hal.
283-284)
7.
Ibnu Abdil Barr rahimahulloh berkata: “Termasuk hasil usaha yang
disepakati keharamannya adalah riba, upah para pelacur, sogokan (suap),
mengambil upah atas meratapi (mayit), nyanyian, perdukunan, mengaku
mengetahui perkara gaib dan berita langit, hasil seruling dan segala
permainan batil.” (Al-Kafi hal. 191)
8.
Ath-Thabari rahimahulloh berkata: “Telah sepakat para ulama di berbagai
negeri tentang dibenci dan terlarangnya nyanyian.” (Tafsir Al-Qurthubi,
14/56)
9.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahulloh, berkata: “Mazhab empat imam
menyatakan bahwa alat-alat musik semuanya haram.” Lalu beliau
menyebutkan hadits riwayat Al-Bukhari rahimahulloh di atas. (Majmu’
Fatawa, 11/576)
Masih
banyak lagi pernyataan para ulama yang menjelaskan tentang haramnya
musik beserta nyanyian. Semoga apa yang kami sebutkan ini sudah cukup
menjelaskan perkara ini.
Wallahu a’lam.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home