18
Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Mumtahanah (6)
Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Mumtahanah (Perempuan Yang Diuji)
Surah Madaniyyah; surah ke 60: 13 ayat
Demikian juga yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Di antara mereka ada juga yang berpendapat bahwa hal itu terjadi setelah 2 tahun dan itulah yang benar, karena masuk Islamnya Abul ‘Ash itu terjadi 2 tahun setelah diharamkannya wanita muslimah dinikahi oleh laki-laki musyrik. Imam at-Tirmidzi mengatakan: “Laa ba’sa biHi [tidak ada masalah dengan sanadnya].” Dan kami tidak mengetahui sisi hadits ini. Mungkin hadits ini bersumber dari hafalan Dawud bin al-Hushain. Dan aku pernah mendengar ‘Abd bin Humaid berceritah: “Aku pernah mendengar Yazid bin Harun menyebutkan hadits ini dari Ibnu Ishaq, juga hadits Ibnu Hajjaj, yakni Ibnu Artha-ah dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa Rasulullah saw. pernah mengembalikan putrinya kepada Abul ‘Ash binn ar-Rabi’ dengan mahar baru dan nikah baru.”
Dari Yazid berkata: “Hadits Ibnu ‘Abbas ra. lebih baik sanadnya, dan yang lebih tepat diamalkan adalah hadits ‘Amr bin Syu’aib.”
Ibnu Katsir mengatakan: “Dan hadits al-Hajjaj bin Artha-ah dari ‘Amr bin Syu’aib ini telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Imam Ahmad dan juga perawi lainnya mendlaifkan hadits ini, wallaaHu a’lam.”
Kemudian jumhur ulama memberikan jawaban tentang hadits Ibnu ‘Abbas bahwa hal itu merupakan satu perkara khusus, mungkin saja Zainab belum sempat menyelesaikan ‘iddah dari suaminya itu. Sebab menurut kebanyakan ulama, jika seorang wanita telah selesai ‘iddahnya lalu tidak ada rujuk dari suaminya, maka nikahnya itu batal. Dan menurut ulama lainnya, jika seorang wanita telah menyelesaikan ‘iddahnya, maka ia mempunyai pilihan; jika mau ia tetap berpegang pada tali pernikahan dan meneruskannya, dan jika mau ia juga boleh membatalkannya, pergi dan menikah lagi. Dalam hal ini mereka mengemukakan hadits Ibnu ‘Abbas ra. WallaaHu a’lam.
Dan firman Allah: wa aatuuHum maa anfaquu (“Dan berikanlah kepada [suami-suami] mereka mahar yang telah mereka bayar.”) maksudnya yaitu suami-suami para wanita yang berhijrah dari kalangan kaum musyrikin. Serahkanlah kepada mereka mahar-mahar yang telah mereka bayarkan kepada istri-istri mereka itu. Demikian yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Qatadah, az-Zuhri dan lain-lain.
Firman-Nya lebih lanjut: walaa junaaha ‘alaikum an tankihuuHunna idzaa aataitumuuHunna ujuuraHunna (“Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya.”) yakni jika kalian telah memberikan mahar kepada mereka, maka nikahilah mereka dengan tetap berpegang pada persyaratan, seperti telah selesainya masa ‘iddah, adanya wali dan lain-lain.
Firman Allah: wa laa tumsikuu bi’ishamil kawaafiri (“Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali [perkawinan] dengan perempuan-perempuan kafir.”) yang demikian itu merupakan pengharaman dari Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Yakni mereka diharamkan menikahi wanita-wanita musyrik dan tetap bertahan hidup berumah tangga dengan mereka.
Dan dalam hadits shahih dari az-Zuhri, dari ‘Urwah, dari al-Miswar dan Marwan bin al-Hakam, bahwa ketika Rasulullah saw. mengadakan perjanjian dengan orang-orang kafir Quraisy pada peristiwa Hudaibiyyah, beliau didatangi wanita-wanita mukminah. Lalu Allah menurunkan ayat yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, -sampai kepada firman-Nya- Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali [perkawinan] dengan perempuan-perempuan kafir.”
Pada saat itu juga ‘Umar bin al-Khaththab menceraikan dua orang istrinya. Salah seorang di antaranya kemudian dinikahi oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan seorang lagi dinikahi oleh Shafwan bin Umayyah. (HR al-Bukhari dan Ahmad).
Ibnu Tsaur menceritakan dari Ma’mar, dari az-Zuhri, ia berkata: “Ayat ini diturunkan kepada Rasulullah saw. yang ketika itu beliau berada di tempat paling bawah dari Hudaibiyyah pada saat beliau mengadakan perjanjian dengan kaum kafir Quraisy dengan kesepakatan bahwa siapapun dari golongan mereka yang datang kepada beliau, maka beliau harus mengembalikannya kepada mereka. Dan setelah ada beberapa orang wanita yang datang kepada beliau, maka turunlah ayat tersebut dan beliau memerintahkan agar para wanita itu mengembalikan mahar kepada suami mereka. Hal yang sama juga diberlakukan terhadap orang-orang musyrik, dimana jika ada wanita muslimah yang datang kepada mereka, maka mereka harus mengembalikan mahar kepada suami mereka. Dan Allah Ta’ala berfirman: wa laa tumsikuu bi’ishamil kawaafiri (“Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali [perkawinan] dengan perempuan-perempuan kafir.”)” demikian pendapat ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam. Dan Dia mengatakan: “Sesungguhnya Allah Ta’ala memberlakukan hal tersebut kepada mereka karena di antara kaum muslimin dan kaum musyrikin terdapat perjanjian.”
Muhammad bin Ishaq menceritakan dari az-Zuhri: “Pada hari itu, ‘Umar bin al-Khaththab menceraikan Qaribah [demikian yang tertulis pada keterangan aslinya. Sedangkan dalam tafsir al-Baghawi tertulis: Fathimah] binti Abi Umayyah bin al-Mughirah. Lalu Qaribah dinikahi kembali oleh Mu’awiyah. Juga menceraikan Ummu Kultsum binti ‘Amr bin Jarwal al-Khuza’iyyah, yaitu ummu ‘Abdillah. Lalu ia dinikahi oleh Abu Jahm bin Hudzaifah bin Ghanim, seorang dari kaumnya sendiri dan keduanya masih dalam kesyirikan. Sedangkan Thalhah bin ‘Ubaidillah menceraikan Arwa binti Rubai’ah bin al-Harits bin ‘Abdil Muthalib, kemudian dia dinikahi oleh Khalid bin Sa’id bin al-‘Ash.
Dan firman Allah: was aluu maa anfaqtum wal yas-aluu maa anfaquu (“Dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar. Dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar.”) maksudnya hendaklah kalian meminta kembali mahar dari istri-istri kalian yang pergi kepada orang-orang kafir jika mereka pergi, dan hendaklah orang-orang kafir itu meminta kembali mahar dari istri-istri mereka yang berhijrah kepada kaum muslimin.
Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Mumtahanah (5)
17OKTTafsir Al-Qur’an Surah Al-Mumtahanah (Perempuan Yang Diuji)
Surah Madaniyyah; surah ke 60: 13 ayat
“10. Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. 11. dan jika seseorang dari isteri-isterimu lari kepada orang-orang kafir, lalu kamu mengalahkan mereka Maka bayarkanlah kepada orang-orang yang lari isterinya itu mahar sebanyak yang telah mereka bayar. dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamu beriman.” (al-Mumtahanah: 10-11)
Di dalam surah al-Fath, telah disampaikan kisah perdamaian Hudaibiyyah yang berlangsung antara Rasulullah saw. dengan orang-orang kafir Quraisy, di antara isi perjanjian itu berbunyi: “Tidak ada seorang pun dari kami yang mendatangimu meskipun ia memeluk agamamu melainkan engkau [Muhammad] harus mengembalikannya kepada kami.” Dan dalam riwayat lain disebutkan: “Tidak seorang pun dari kami yang datang kepadamu meski sebagai pemeluk agamamu melainkan engkau harus mengembalikannya kepada kami.” Demikian pendapat ‘Urwah, adh-Dhahhak, ‘Abdurrahman bin Zaid, az-Zuhri, Muqatil bin Hayyan, dan as-Suddi. Berdasarkan riwayat ini, maka ayat ini mentakhshih [mengkhususkan] sunnah. Ini merupakan contoh terbaik tentang masalah ini, dan sebagian ulama salaf memandangnya sebagai ayat nasikh [ayat yang menghapus]. Karena sesungguhnya Allah swt. telah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, jika wanita-wanita ikut berhijrah datang kepada mereka, hendaklah wanita-wanita itu diuji terlebih dahulu. Jika telah diketahui bahwa mereka itu adalah wanita-wanita yang beriman, maka mereka tidak boleh dikembalikan kepada orang-orang kafir. Karena wanita-wanita itu tidak halal bagi mereka dan juga sebaliknya.
Dan telah disebutkan dalam biografi ‘Abdullah bin Ahmad bin Jahsy dalam kitab al-Musnad al-Kabiir, melalui jalan Abu Bakar bin Abi ‘Ashim, dari ‘Abdullah bin Abi Ahmad, ia bercerita: Ummu Kultsum binti ‘Uqbah bin Abi Mu’ith berhijrah. Kemudian kedua orang saudaranya, ‘Amarah dan al-Walid menemui Rasulullah saw. Kedua orang tersebut berbincang dengan Rasulullah saw. agar beliau berkenan mengembalikan saudara perempuannya itu kepada mereka. Maka Allah swt. mengecualikan para wanita, khususnya dari perjanjian yang telah dibuat antara Rasulullah saw. dan orang-orang musyrik itu sehingga Allah melarang orang-orang yang beriman mengembalikan para wanita yang berhijrah kepada orang-orang musyrik, dan Allah pun menurunkan ayat tentang pengujian mereka.”
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abu Nashr al-Asadi, ia berkata bahwa Ibnu ‘Abbas ra. pernah ditanya: “Bagaimana pengujian yang dilakukan oleh Rasulullah saw. terhadap para wanita tersebut?” Maka Ibnu ‘Abbas menjawab: “Beliau menguji mereka dengan meminta mereka mengatakan: ‘Demi Allah, aku tidak pergi karena benci kepada suami. Demi Allah, aku tidak keluar karena membenci negeri ini dan pindah ke negeri lain. Demi Allah, aku tidak pergi untuk mencari kesenangan dunia. Demi Allah, aku tidak pergi melainkan karena kecintaanku kepada Allah dan Rasul-Nya.’”
Kemudian riwayat tersebut disampaikan dari sisi lain, dari al-Agharr bin ash-Shabah dengan lafadznya. Demikian juga diriwayatkan oleh al-Bazzar yang juga melalui jalannya.
Mengenai firman Allah: yaa ayyuHalladziina aamanuu idzaa jaa-akumul mu’minaatu muHaajiraatin famtahinuuHunna (“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu menguji [keimanan] mereka.”) al-‘Aufi menceritahakn dari Ibnu ‘Abbas, ia mengatkan: “Bentuk pengujian beliau terhadap wanita-wanita itu adalah dengan meminta mereka mengucapkan syahadat: asyHadul allaa ilaaHa illallaaH wa anna Muhammadan ‘abdullaaHi wa rasuuluHu (“Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.”) jika mereka bersedia mengucapkan hal tersebut, maka hal itu akan diterima dari mereka.”
Dan firman Allah: fa in ‘alimtumuuHunna mu’minaatin falaa tarji’uuHunna ilal kuffaar (“Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka [benar-benar] beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada [suami-suami mereka] orang-orang kafir.”) di dalamnya terdapat dalil yang menunjukkan bahwa keimanan itu dapat dilihat secara pasti.
Firman-Nya lebih lanjut: laa Hunna hillul laHunna wa laa Hum yahilluuna laHunna (“Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka.”) ayat ini mengharamkan wanita-wanita muslimah menikah dengan laki-laki musyrik. Padahal pada permulaan Islam, laki-laki musyrik diperbolehkan menikah dengan wanita muslimah. Berdasarkan hal tersebut, terlaksanalah pernikahan Abul ‘Ash bin ar-Rabi’ dengan putri Rasulullah saw. Zainab ra. dimana pada saat itu Zainab sebagai seorang muslimah, sedang Abul ‘Ash masih memeluk agama kaumnya. Dan ketika ia masuk dalam tawanan perang Badar, Zainab mengutus seseorang untuk menebusnya dengan kalung yang dahulu milik Ibunya, Khadijah binti Khuwailid ra. Ketika melihatnya, Rasulullah saw. merasa sangat pilu sekali dan berkata kepada kaum muslimin: “Jika kalian memutuskan untuk membebaskan tawanannya, lakukanlah.”
Maka mereka pun melakukannya. Dan Rasulullah saw. membebaskannya dengan syarat kaum kafir Quraisy harus mengirimkan Zainab kepada beliau. Dia pun memenuhi permintaan Rasulullah saw. tersebut dan memenuhi janjinya terhadap beliau dengan mengirimkan Zainab kepada beliau bersama Zaid bin Haritsah ra. maka Zainab pun bermukimm di Madinah setelah perang Badar. Hal ini terjadi pada tahun ke 2 Hijrah sehingga suaminya memeluk Islam pada tahun ke 8 Hijrah, lalu Rasulullah saw. mengembalikan Zainab kepada suaminya dengan pernikahan yang pertama dan tidak meminta mahar yang baru. Hal ini sebagaimana telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibnu ‘Abbas ra. bahwa Rasulullah saw. mengembalikan puterinya, Zainab kepada Abul ‘Ash. Hijrahnya dari suaminya sebelum suaminya memeluk Islam itu berlangsung selama 6 tahun, dengan tetap memberlakukan pernikahan yang pertama dan tidak melakukan persaksian dan mahar kembali.”
Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Mumtahanah (5)
17OKTTafsir Al-Qur’an Surah Al-Mumtahanah (Perempuan Yang Diuji)
Surah Madaniyyah; surah ke 60: 13 ayat
“10. Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. 11. dan jika seseorang dari isteri-isterimu lari kepada orang-orang kafir, lalu kamu mengalahkan mereka Maka bayarkanlah kepada orang-orang yang lari isterinya itu mahar sebanyak yang telah mereka bayar. dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamu beriman.” (al-Mumtahanah: 10-11)
Di dalam surah al-Fath, telah disampaikan kisah perdamaian Hudaibiyyah yang berlangsung antara Rasulullah saw. dengan orang-orang kafir Quraisy, di antara isi perjanjian itu berbunyi: “Tidak ada seorang pun dari kami yang mendatangimu meskipun ia memeluk agamamu melainkan engkau [Muhammad] harus mengembalikannya kepada kami.” Dan dalam riwayat lain disebutkan: “Tidak seorang pun dari kami yang datang kepadamu meski sebagai pemeluk agamamu melainkan engkau harus mengembalikannya kepada kami.” Demikian pendapat ‘Urwah, adh-Dhahhak, ‘Abdurrahman bin Zaid, az-Zuhri, Muqatil bin Hayyan, dan as-Suddi. Berdasarkan riwayat ini, maka ayat ini mentakhshih [mengkhususkan] sunnah. Ini merupakan contoh terbaik tentang masalah ini, dan sebagian ulama salaf memandangnya sebagai ayat nasikh [ayat yang menghapus]. Karena sesungguhnya Allah swt. telah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, jika wanita-wanita ikut berhijrah datang kepada mereka, hendaklah wanita-wanita itu diuji terlebih dahulu. Jika telah diketahui bahwa mereka itu adalah wanita-wanita yang beriman, maka mereka tidak boleh dikembalikan kepada orang-orang kafir. Karena wanita-wanita itu tidak halal bagi mereka dan juga sebaliknya.
Dan telah disebutkan dalam biografi ‘Abdullah bin Ahmad bin Jahsy dalam kitab al-Musnad al-Kabiir, melalui jalan Abu Bakar bin Abi ‘Ashim, dari ‘Abdullah bin Abi Ahmad, ia bercerita: Ummu Kultsum binti ‘Uqbah bin Abi Mu’ith berhijrah. Kemudian kedua orang saudaranya, ‘Amarah dan al-Walid menemui Rasulullah saw. Kedua orang tersebut berbincang dengan Rasulullah saw. agar beliau berkenan mengembalikan saudara perempuannya itu kepada mereka. Maka Allah swt. mengecualikan para wanita, khususnya dari perjanjian yang telah dibuat antara Rasulullah saw. dan orang-orang musyrik itu sehingga Allah melarang orang-orang yang beriman mengembalikan para wanita yang berhijrah kepada orang-orang musyrik, dan Allah pun menurunkan ayat tentang pengujian mereka.”
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abu Nashr al-Asadi, ia berkata bahwa Ibnu ‘Abbas ra. pernah ditanya: “Bagaimana pengujian yang dilakukan oleh Rasulullah saw. terhadap para wanita tersebut?” Maka Ibnu ‘Abbas menjawab: “Beliau menguji mereka dengan meminta mereka mengatakan: ‘Demi Allah, aku tidak pergi karena benci kepada suami. Demi Allah, aku tidak keluar karena membenci negeri ini dan pindah ke negeri lain. Demi Allah, aku tidak pergi untuk mencari kesenangan dunia. Demi Allah, aku tidak pergi melainkan karena kecintaanku kepada Allah dan Rasul-Nya.’”
Kemudian riwayat tersebut disampaikan dari sisi lain, dari al-Agharr bin ash-Shabah dengan lafadznya. Demikian juga diriwayatkan oleh al-Bazzar yang juga melalui jalannya.
Mengenai firman Allah: yaa ayyuHalladziina aamanuu idzaa jaa-akumul mu’minaatu muHaajiraatin famtahinuuHunna (“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu menguji [keimanan] mereka.”) al-‘Aufi menceritahakn dari Ibnu ‘Abbas, ia mengatkan: “Bentuk pengujian beliau terhadap wanita-wanita itu adalah dengan meminta mereka mengucapkan syahadat: asyHadul allaa ilaaHa illallaaH wa anna Muhammadan ‘abdullaaHi wa rasuuluHu (“Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.”) jika mereka bersedia mengucapkan hal tersebut, maka hal itu akan diterima dari mereka.”
Dan firman Allah: fa in ‘alimtumuuHunna mu’minaatin falaa tarji’uuHunna ilal kuffaar (“Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka [benar-benar] beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada [suami-suami mereka] orang-orang kafir.”) di dalamnya terdapat dalil yang menunjukkan bahwa keimanan itu dapat dilihat secara pasti.
Firman-Nya lebih lanjut: laa Hunna hillul laHunna wa laa Hum yahilluuna laHunna (“Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka.”) ayat ini mengharamkan wanita-wanita muslimah menikah dengan laki-laki musyrik. Padahal pada permulaan Islam, laki-laki musyrik diperbolehkan menikah dengan wanita muslimah. Berdasarkan hal tersebut, terlaksanalah pernikahan Abul ‘Ash bin ar-Rabi’ dengan putri Rasulullah saw. Zainab ra. dimana pada saat itu Zainab sebagai seorang muslimah, sedang Abul ‘Ash masih memeluk agama kaumnya. Dan ketika ia masuk dalam tawanan perang Badar, Zainab mengutus seseorang untuk menebusnya dengan kalung yang dahulu milik Ibunya, Khadijah binti Khuwailid ra. Ketika melihatnya, Rasulullah saw. merasa sangat pilu sekali dan berkata kepada kaum muslimin: “Jika kalian memutuskan untuk membebaskan tawanannya, lakukanlah.”
Maka mereka pun melakukannya. Dan Rasulullah saw. membebaskannya dengan syarat kaum kafir Quraisy harus mengirimkan Zainab kepada beliau. Dia pun memenuhi permintaan Rasulullah saw. tersebut dan memenuhi janjinya terhadap beliau dengan mengirimkan Zainab kepada beliau bersama Zaid bin Haritsah ra. maka Zainab pun bermukimm di Madinah setelah perang Badar. Hal ini terjadi pada tahun ke 2 Hijrah sehingga suaminya memeluk Islam pada tahun ke 8 Hijrah, lalu Rasulullah saw. mengembalikan Zainab kepada suaminya dengan pernikahan yang pertama dan tidak meminta mahar yang baru. Hal ini sebagaimana telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibnu ‘Abbas ra. bahwa Rasulullah saw. mengembalikan puterinya, Zainab kepada Abul ‘Ash. Hijrahnya dari suaminya sebelum suaminya memeluk Islam itu berlangsung selama 6 tahun, dengan tetap memberlakukan pernikahan yang pertama dan tidak melakukan persaksian dan mahar kembali.”
posted by A slave of Allah @ 12:25 AM
0 Comments:
Post a Comment
<< Home