Our Life

Saturday, June 29, 2013

Hutang saya pada Inong Fri, 01/09/2006 - 18:23 — rani Saya gak tau gimana menggambarkan emosi saya. Kesedihan di hati karena kepergian Inong rasanya menusuk sekali, tetapi saya tidak menangis. Memang saya tidak bisa menangis kalo sedih (Karena hanya bisa menangis di saat marah saja), tapi kali ini kepala rasanya sakit, tenggorokan tercekat, dan rasanya ingin murung terus. Masih antara percaya dan gak percaya, bisa-bisanya seseorang yang begitu ceria dan energik, masih muda, bisa pergi begitu saja. Selain sedih, ada juga rasa kecewa yang dalam kepada diri saya sendiri, karena saya masih berhutang dengan Inong. Ia minta dibawakan oleh-oleh dari perjalanan saya bulan lalu, dan saya sudah siapkan beberapa batang coklat buatan tangan. Tetapi saya selalu menunda-nunda untuk bertemu dia dan menyampaikan buah tangan itu. Saya selalu berpikir nanti saja, karena sepulang perjalanan itu memang saya langsung ditimpa kesibukan kampus. Lagipula Inong mengajak Noe datang ke pesta ulang tahun Syifa tanggal 2 September, jadi saya pikir di sana sajalah saya sampaikan oleh-oleh tersebut. Tidak disangka pesta itu tidak pernah terjadi, dan coklat masih tersimpan di dalam lemari. Tanggal 30 Agustus, setelah berminggu-minggu panas kering, Singapura diterpa hujan besar. Cuaca yang murung itu ditambah lagi berita buruk dari Hany bahwa Inong pingsan dan dibawa ke RS NUH. Tetapi tulisan di blog Hany sangat mengkhawatirkan, seakan-akan Inong sudah diujung maut. Maka saya segera menelpon Hany dan diceritakanlah detail kejadian menjelang maghrib itu. Betapa gemas dan geramnya saya diceritakan oleh Hany bahwa ambulans terlambat datang, dua puluh menit lebih setelah ditelepon untuk datang. Singapura, yang katanya negara maju, tidak bisa mendatangkan ambulans dengan cepat. Sebal sekali, dan sedih karena keterlambatan itu mengakibatkan kondisi Inong yang sangat parah. Tetapi untunglah Hany berkata bahwa saat ini kondisinya sudah stabil meskipun masih kritis. Karena keadaan sudah cukup tenang saya menunda kedatangan ke rumah sakit hingga esok harinya. Sejak pingsannya Inong, Singapura terus hujan tidak berhenti selama dua hari setelah itu. Kadang deras dan kadang rintik rintik. Besoknya, tanggal 31 Agustus, adalah hari ulang taun Syifa. Kondisi Inong tidak membaik, tetapi jantungnya tetap berdetak dengan stabil. Saya dan ibu-ibu menunggu di ruang tunggu ICU NUH sejak tengah hari bersama anak-anak. Praktis ruang tunggu itu sudah jadi taman bermain! Ibu-ibu mengadakan acara tiup lilin untuk Syifa dan makan-makan di ruang tunggu ICU. Tadinya, acara ini mau diadakan di ruang rawat ICU sebagai upaya untuk menstimulasi Inong, tetapi dilarang oleh dokter, dengan berbagai alasan teknis. Selain itu, Syifa juga agak gelisah mencari Bundanya terus. Zidan dan Syifa baru berkesempatan menengok ibunya pada hari itu, dan mereka hebat sekali menghadapi situasi ini, mereka tabah sekali. Zidan berkata pada Umminya, "Bunda udah dikembaliin nyawanya ya Ummi". Lantas, Zidan juga mencoba membangunkan Bundanya. Kemudian sore harinya, datang juga berita buruk bahwa dokter sudah angkat tangan. Suasana menjadi sangat curam dan hujan tidak berhenti. Tetapi berpuluh-puluh ibu dan bapak membanjiri ICU untuk memberi doa dan dukungan. Pagi 1 September saya bangun disambut cuaca cerah. Ternyata berhentinya hujan adalah pertanda perginya Inong. Banyak sekali yang mengantar dari rumah sakit, ke persemayaman, hingga ke airport. Zidan sangat tegar, ia tabah. Saya dengar dari Teh Ami, Zidan berkata, “Zidan suruh Bunda pergi, karena Zidan kasian sama Bunda. Sekarang Ummi Zidan yang jaga”. Dewasa sekali Zidan, berkat didikan Bunda-nya. Secara teknis, seharusnya kondisi Inong bisa menyebabkan dirinya langsung meninggal tanggal 30 Agustus itu. Bayangkan, 30 menit tanpa oksigen. Tetapi tim medis berhasil menghidupkan kembali detak jantungnya, dan Inong bertahan hingga 1 September, persis enam jam setelah hari ulang tahun Syifa anaknya tanggal 31 Agustus. Selain itu, Inong wafat beberapa menit setelah suaminya tiba di rumah sakit, sepertinya ia menunggu untuk berpamitan dengan suaminya secara langsung. Ia sungguh seorang ibu dan istri yang sangat berdedikasi hingga akhir hayatnya. Ummi bercerita, saat Inong terserang asma, Inong berkata bahwa ia belum mau pergi, sebab masih ingin merawat anak-anak dan suaminya. Kemudian Inong berpesan menitipkan anak-anak pada Ummi, sebelum kehilangan kesadaran. Barangkali, di alam sana, Inong bernegosiasi dengan Tuhan untuk mem-postpone sebentar kepergiannya, sehingga ia sempat “dikembalikan” untuk “menghadiri” ulang tahun Syifa. Saya belum sempat untuk bersahabat jauh lebih dekat dengannya, tetapi sekarang sudah terlambat, dan saya sangat menyesali menunda bertemu dengannya untuk menyampaikan oleh-oleh. Maafkan saya, Inong, karena “procrastination” saya. Hutang saya pada Inong sangat mengganjal hati saya dan ada sedikit ketidakrelaan untuk melepaskan dia. Inong adalah salah satu figur yang saya kagumi, seorang ibu rumah tangga yang pintar, berbakat, super aktif dan kreatif. Zidan, Syifa, ketahuilah bahwa Inong adalah ibu yang sangat mencintai keluarganya, tetapi juga tidak kekurangan waktu untuk selalu memberi perhatian pada orang-orang di sekitarnya baik secara virtual maupun di dunia nyata. Saat ipar saya, Anggi dan Siska, menikah, Inong menyumbangkan puisi bersama rekan-rekan Cybersastra. Ia tulus, tidak pelit ilmu, dan juga tidak pilih-pilih teman. Entah dari mana energi yang dia miliki untuk berkegiatan dan menumpahkan cinta kepada sekitar. Saking energiknya, saya tidak tahu kalau dia memiliki sakit asma yang cukup parah. Rupaya Tuhan sangat mencintai dia sehingga memanggilnya lebih dulu dari kita semua. Hanya seminggu menjelang ulangtahunnya yang ke-33. Bumi tampak ikut bersedih dengan turunnya hujan saat Inong jatuh sakit hingga kepergiannya. Kenapa Orang baik selalu mati muda? Selamat jalan, bahagialah di sana, semoga kita bisa berjumpa lagi nanti, agar aku bisa membayar hutangku padamu. encounters 2006-09 (Sep) rani's blog 13866 reads Comments

0 Comments:

Post a Comment

<< Home