Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 058
(ditulis oleh: Al-Ustadz Ayip Syafrudin)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdullah Al-Imam hafizhahullah dalam kitabnya Tahdziru Al-Basyar min Ushuli Asy-Syarr menyatakan bahwa manusia dan jin merupakan sumber kejelekan kecuali yang bertakwa kepada Allah l. Sungguh Rasulullah n telah menyatakan dalam banyak khutbahnya, sebagaimana pada hadits Jabir z yang dikeluarkan Al-Imam Muslim t:
نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا
“Kami memuji-Nya, memohon pertolongan-Nya, memohon ampunan-Nya, serta berlindung kepada Allah dari kejelekan-kejelekan diri-diri kami dan segenap amal kami.”
Kejelekan adalah apa yang telah dihasilkan seorang hamba berupa dosa-dosa yang diperbuatnya lantaran menyelisihi syariat Allah l. Kejelekan bersumber dari pilihan seorang hamba dan keinginannya untuk menyelisihi syariat Allah l saat dirinya menyimpang. Apabila seorang hamba tetap berada di atas fitrahnya dan menumbuhkan fitrah tersebut di atas agama Allah l, tentu tak akan tersisa pada dirinya pilihan untuk melakukan kejelekan dan berbuat menyelisihi agama Allah l.
“(Tetaplah di atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.” (Ar-Rum: 30)
Satu dari beragam bentuk kejelekan yang diperbuat manusia, yaitu menyebarkan pemahaman zuhud yang keliru. Pemahaman yang telah teracuni pemikiran-pemikiran orang-orang sufi. Kalangan sufi memahami bahwa zuhud adalah meninggalkan hasil usaha yang halal, amal yang bermanfaat, berdiam diri menanti uluran tangan para dermawan, dan mengenakan pakaian koyak bertambal. Begitulah tampilan zuhud ala sufi, sarat dengan sikap takalluf (memaksakan diri). Tak jauh berbeda, dalam hal makan pun, mereka amat sangat membatasi diri. Bahkan, terkadang berhari-hari tak makan. Kalau pun makan, sekadar roti tawar dengan garam. Padahal dirinya mampu untuk makan secara layak dan baik. Gambaran gaya hidup ala sufi semacam itu tentu saja menyelisihi As-Sunnah. Nabi n bersabda:
فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka dia bukan golonganku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Nabi n pernah pula makan daging. Beliau n menyukai paha kambing. Sebagian sufi enggan minum dari air bersih dan dingin, serta sengaja meminum air yang kotor (tidak higienis). Alasannya, dirinya tidak mampu menunaikan syukur kepada Allah l. Tentu saja ini merupakan alasan (hujjah) yang lemah. Apakah dengan meninggalkan air dingin menjadikan dirinya mampu menunaikan rasa syukur kepada Allah l atas segala nikmat, seperti nikmat penglihatan, pendengaran, kesehatan, dan selainnya? Justru, barangsiapa yang melakukan seperti itu maka dia telah melakukan perbuatan dosa. Sebab, dirinya telah melakukan perbuatan yang membahayakan kondisi tubuhnya. Dia telah terjatuh pada perbuatan membinasakan diri. Allah l berfirman:
“Janganlah kalian membunuh diri kalian. Sesungguhnya Allah adalah Maha penyayang kepadamu.” (An-Nisa’: 29)
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Al-Baqarah: 185)
Sesungguhnya Islam adalah agama yang adil dan bersikap pertengahan. Tidak bersikap ekstrem, berlebih-lebihan dan juga tidak bersikap meremehkan terhadap sesuatu menyangkut urusan zuhud dalam masalah dunia. Sikap Islam sangat jelas, transparan, yaitu bersikap pertengahan antara sikap tamak kaum Yahudi dalam mencintai dunia dan sikap para rahib kaum Nasrani yang meremehkan upaya-upaya amal dan bekerja. Maka, zuhud jika dalam batas-batasittiba’ (meneladani) Rasulullah n, adalah hal yang terpuji di dalam Islam. Nabi n adalah orang pertama dari kalangan orang-orang yang zuhud dalam masalah dunia. Demikian pula Abu Bakr dan Umar serta banyak dari kalangan sahabat g. (Lihat Haqiqatu Ash-Shufiyyah fi Dhau’i Al-Kitab wa As-Sunnah, Bab Al-Farqu baina Az-Zuhdi wa At-Tashawwuf, Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali)
Hendaklah bagi seorang muslim berbuat zuhud. Yaitu mencintai apa yang ada pada sisi Allah l. Baik dia seorang yang fakir atau seorang yang kaya secara materi. Jika dia seorang yang fakir hendaklah dia melapangkan hatinya dan mencurahkan semangatnya bagi kehidupan akhiratnya. Jika dia seorang yang kaya raya, hendaklah mencurahkan segenap kemampuan dengan harta yang ada guna membantu Islam dan kaum muslimin. Harta yang semacam itu akan membawa kebaikan baginya dan tidak akan membinasakannya. (Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam, Tahdziru Al-Basyar, hal. 95)
Banyak manusia yang bersemangat dalam mengamalkan agama. Namun tidak sedikit pula yang lantas terjatuh pada pengamalan yang salah. Ini disebabkan kekeliruan dalam cara memahami agama. Beragama Islam bagi sebagian orang lantaran mengikuti kebanyakan manusia atau cuma mengikuti figur tertentu tanpa melihat apakah figur tersebut berada di atas al-haq atau tidak. Ada pula sebagian orang yang beragama lantaran dipompa semangat beramal namun tanpa disertai ilmu yang mendasari amal tersebut. Maka, terjadilah apa yang terjadi, yaitu berbagai penyimpangan tumbuh subur di tengah umat. Kondisi umat pun menjadi rentan dengan berbagai isu. Mudah diombang-ambing dengan berbagai berita yang beredar. Isu keumatan pun bertebaran; terorisme, nabi palsu, hingga ramalan bakal terjadi kiamat pada tahun 2012.
Terkait masalah kiamat, Islam telah menuntunkan kepada pemeluknya bahwa peristiwa kiamat niscaya pasti terjadi namun kapan terjadinya hanya Allah l Yang Mahatahu. Kekhawatiran bahwa kiamat dalam waktu dekat segera terjadi pernah pula dialami pada masa Nabi n. Saat terjadi gerhana matahari, Nabi n keluar menuju masjid. Beliau n dalam keadaan takut. Menurut yang meriwayatkan hadits tersebut, “Takut kalau pada waktu itu terjadi kiamat.” (HR. Al-Bukhari no. 1059)
Sebagaimana maklum, sesungguhnya Rasul n mengetahui bahwa kiamat tidaklah terjadi sekarang (saat itu) berdasar tanda-tanda yang ada. Kehidupan pada zaman itu tidaklah lantas berakhir. Namun, lantaran dahsyatnya rasa takut terhadap kiamat, manusia biasa kadang lupa terhadap hakikat yang ada saat terjadi peristiwa yang menakutkan. (Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, At-Ta’liq ‘ala Shahih Muslim, 1/481)
Penamaan kiamat itu sendiri berselisih pendapat. Ada yang berpendapat bahwa disebut kiamat lantaran pada hari itu manusia berdiri (bangkit) dari kuburnya. Allah l berdirman:
“(Yaitu) pada hari mereka keluar dari kubur dengan cepat seakan-akan mereka pergi dengan segera kepada berhala-berhala (sewaktu di dunia).”(Al-Ma’arij: 43)
Ada pula yang berpendapat disebabkan adanya perkara-perkara di padang mahsyar, mereka berdiri dan selainnya pada saat itu di tempat tersebut. Pendapat lain, karena pada saat itu manusia berdiri menghadap Rabbul ‘Alamin. Ini sebagaimana diriwayatkan Al-Imam Muslim t dalam kitab Shahih-nya, hadits dari Ibnu Umar c secara marfu’:
“(Yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam.” (Al-Muthaffifin: 6)
Dia berkata:
يَقُومُ أَحَدُهُمْ فِي رَشْحِهِ إِلَى أَنْصَافِ أُذُنَيْهِ
“Salah satu dari mereka berdiri hingga keringatnya mencapai kedua telinganya.” (HR. Muslim no. 2862)
Disebutkan yang lain bahwa dinamakan kiamat lantaran pada hari itu para malaikat dan ruh berdiri dalam shaf (barisan). Allah l berfirman:
“Pada hari, ketika ruh dan para malaikat berdiri bershaf-shaf.” (An-Naba’: 38) [Al-Isryadu ila Shahihi Al-I’tiqad, Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan, hal. 302-303]
Terlepas dari perbedaan tersebut, Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah menyebutkan dalam Al-Minhatu Ar-Rabbaniyah fi Syarhi Al-Arba’in An-Nawawiyyah), saat memberi penjelasan hadits Umar bin Al-Khaththab z (hadits Jibril q), mengungkapkan bahwa hari kiamat adalah berakhirnya (kehidupan) dunia dan memulai (kehidupan) akhirat. Yaitu, batas waktu yang telah Allah l tentukan bagi kehidupan ini. Berakhirnya kehidupan, kemudian terjadilah kiamat. Mengimani terjadinya hari kiamat merupakan satu dari rukun-rukun keimanan. Barangsiapa yang meragukan terjadinya hari kiamat, atau menolak (mendustakan)nya, sungguh dia telah kafir. Allah l berfirman:
“Orang-orang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah, ‘Tidak demikian, demi Rabbku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.’ Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”(At-Taghabun: 7)
Tidaklah cukup seseorang hanya menyatakan beriman terhadap hari akhir (kiamat, sementara dia tidak melakukan amal bagi hari akhir tersebut). Justru, seseorang yang telah menyatakan beriman kepada hari kiamat, dia harus beramal guna mempersiapkan diri menghadapi hari akhir. Dia harus beramal shalih, melakukan perbuatan-perbuatan kebajikan, bertaubat dari segala bentuk kemaksiatan atau kejelekan. Dia benar-benar bersiap diri menghadapi hari itu. Inilah yang dimaksud beriman kepada hari akhir. Adapun seseorang yang sekadar mengucapkan beriman pada hari akhir tanpa menyiapkan diri menghadapinya, tanpa beramal baginya, maka tiadalah berfaedah keimanan yang ada pada dirinya.
Terjadinya hari kiamat tidak ada seorang manusia pun yang mengetahuinya. Hanya Allah l saja yang Mahatahu waktu terjadinya hari kiamat. Allah l yang memonopoli ketentuan waktu hari kiamat dengan ilmu-Nya. Allah l tak mengabarkan perihal ketentuan waktu hari kiamat ini kepada para malaikat dan para rasul. Bahkan Allah Jalla wa ‘Ala menyembunyikan hal itu dari makhluk-Nya. Karena sesungguhnya tiada ada maslahat bagi manusia bila dirinya mengetahui ketentuan waktu hari kiamat. Sesungguhnya maslahat dalam hal mengimani hari kiamat yaitu mempersiapkan (diri dengan beramal kebajikan) bagi tibanya hari yang dijanjikan. Adapun kapan kepastian hari kiamat, Al-Qur’an banyak menjelaskan melalui ayat-ayatnya, bahwa tak ada yang mengetahuinya kecuali Allah l. Sebagaimana firman-Nya:
“Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: ‘Kapankah terjadinya?’ Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Rabbku; tidak seorang pun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia (Allah)’.” (Al-A’raf: 187)
Firman-Nya l:
“(Orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari berbangkit, kapankah terjadinya? Siapakah kamu (sehingga) dapat menyebutkan (waktunya)? Kepada Rabbmulah dikembalikan kesudahannya (ketentuan waktunya). Kamu hanyalah pemberi peringatan bagi siapa yang takut kepadanya (hari berbangkit). Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari.” (An-Nazi’at: 42-46)
Firman-Nya:
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat. Dan Dialah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada di dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui apa yang ada di dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengenal.” (Luqman: 34)
Maka, pengetahuan tentang hari kiamat hanya ada di sisi Allah Jalla wa ‘Ala. Tidak boleh bagi seseorang menyatakan bahwa hari kiamat akan terjadi pada waktu tertentu, bersandar pada perhitungan (hisab), atau atas dasar khurafat atau waham. Hal ini sebagaimana terjadi atau dilakukan oleh sebagian para pendusta dan komentator (pengamat) yang fasih berbicara. Ini merupakan bentuk sikap memaksakan diri yang tiadalah Allah l menurunkan kekuasaan atau ketidakmampuan atas mereka. Barangsiapa melakukan hal itu (memberi pernyataan tentang kepastian hari kiamat), maka dia adalah pendusta. Sebab, tidaklah mungkin Allah l menutup pengetahuan tentang hari kiamat (kapan terjadinya), lantas seseorang datang dan (mengaku) mengetahui kepastian kiamat tiba.
Sebagaimana diungkap di atas, kedatangan hari kiamat tiada seorang pun tahu. Hal ini termasuk urusan gaib, hanya Allah l yang mengetahui. Karenanya, terlarang bagi seseorang untuk membuat dugaan, mereka-reka, atau memperkirakan bakal terjadinya hari kiamat. Dalam terminologi Islam, seseorang yang mengabarkan perkara-perkara yang bersifat gaib melalui cara menduga, memperkirakan, atau menerka dikategorikan al-‘arraf. Disebut pula kahin (dukun). Sebagaimana diungkap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t bahwa al-‘arraf adalah nama umum yang termasuk di dalamnya semua kategori orang yang mengabarkan urusan-urusan gaib. Baik melalui cara-cara setan, perkiraan atau dugaan atau menerka-nerka. Atau, bisa juga melalui garis-garis yang dibuat di pasir atau tanah, melalui sistem membaca (guratan) telapak tangan atau cangkir, dan selainnya. Rasulullah n bersabda:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ يَوْمًا
“Barangsiapa mendatangi ‘arraf, lantas dia bertanya tentang sesuatu, kemudian membenarkan apa yang dia katakan, maka tidak akan diterima shalatnya selama 40 hari.” (HR. Muslim. Lafadz فَصَدَّقَهُ bukan terdapat pada Shahih Muslim, tetapi ada pada riwayat Al-Imam Ahmad dalam Musnad-Nya)
Karenanya, mendatangi dan pergi ke ‘arraf merupakan perbuatan dosa dan diharamkan, walau (kedatangannya) tidak dalam rangka membenarkan apa yang diutarakan oleh sang ‘arraf. Mu’awiyah bin Al-Hakam z pernah bertanya kepada Rasulullah n perihal al-‘arrafin. Jawab Rasulullah n:
لَا تَأْتِهِمْ
“Jangan engkau mendatangi mereka.”
Nabi n melarang Mu’awiyah bin Al-Hakam mendatangi mereka walau sekadar datang saja. Berdasar hadits ini, maka mendatangi ‘arraf hukumnya haram walau tanpa maksud membenarkan ucapannya[1]. Wallahu a’lam.
[1] Rincian tentang hukum mendatangi arraf bisa dilihat kembali pada Rubrik Manhaji edisi 52, dengan judul Dukun Sahabat Setan.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home