بسم الله الرحمن الرحيم
Menjaga
Kehormatan Muslimin Dengan Menjauhi Ghibah
Oleh :
Ummu Ishaq Al Atsariyyah
[ MUSLIMAH
Edisi 39/ 1422 H/ 2001 M ]
|
Allah Ta’ala berfirman :
”Dan janganlah sebagian kalian mengghibah
sebagian yang lain. Sukakah salah seorang dari kalian memakan daging saudaranya
yang telah mati? Maka tentunya kalian tidak menyukainya (merasa jijik). Dan
bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Al Hujurat : 12)
Al Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah
berkata dalam tafsirnya : “Dalam ayat ini ada larangan berbuat ghibah. Dan
Penetap Syariat telah menafsirkan ghibah tersebut sebagaimana disebutkan dalam
hadits yang diriwayatkan Abu Daud[1]
nomor 4874.”
Lalu Ibnu Katsir membawakan sanadnya sampai
kepada Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, ia berkata : “Ditanyakan kepada
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wa
Sallam apa yang dimaksud dengan
ghibah. Beliau Shallallahu 'Alaihi
Wa
Sallam menjawab :
[
“Engkau menyebut tentang saudaramu dengan apa
yang ia tidak sukai.” Lalu ditanyakan lagi : “Apa pendapatmu, wahai Rasulullah,
jika memang perkara yang kukatakan itu ada pada saudaraku?” Beliau Shallallahu 'Alaihi
Wa
Sallam menjawab : “Jika memang perkara yang kau katakan itu ada padanya maka
sungguh engkau telah mengghibahnya dan jika perkara yang yang kau katakan itu
tidak ada padanya maka sungguh engkau telah berdusta.”
(Tafsir Ibnu Katsir. Jilid 4 halaman 272. Darul Faiha dan Darus Salam) ]
Ghibah atau yang diistilahkan ngerumpi
oleh kalangan awam merupakan santapan lezat bagi para wanita secara khusus,
walaupun pria juga ada yang melakukannya. Namun wanita yang mendominasi dalam
hal ini. Di mana ada wanita berkumpul maka jarang sekali majelis itu selamat
dari membicarakan aib orang lain, apakah itu tetangganya, temannya, iparnya,
atau bahkan suami dan orang tuanya sendiri tidak luput dari pembicaraan. Dan
setan datang menghiasi, sehingga mereka yang hadir merasa lezat dalam berghibah
dan lupa akan ancaman Allah dan Rasul-Nya terhadap perbuatan keji ini.
Yang menyedihkan, perbuatan ghibah ini tidak
hanya menimpa orang yang buta atau tidak peduli dengan agamanya, bahkan juga
menimpa Muslimah yang telah mengerti tentang hukum-hukum agama ini. Di tempat
pengajian mereka mendapat wejangan untuk berhati-hati dari membicarakan aib
saudaranya sesama Muslim, mereka diberi peringatan dan ancaman untuk menjaga
lisan. Namun ketika keluar dari tempat pengajian mereka tenggelam dalam
perbuatan ini dengan sadar ataupun tanpa sadar. Dan memang setan begitu
bersemangat untuk menyesatkan anak Adam, Wallahul Musta’an.
Ghibah ini haram hukumnya dan sangat dicerca.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata : [ Karena itulah Allah
Tabaraka Wa Ta’ala menyerupakan perbuatan ghibah ini dengan memakan daging
manusia yang telah mati, sebagaimana Dia berfirman :
((“Sukakah salah seorang dari kalian
memakan daging saudaranya yang telah mati? Maka tentunya kalian tidak
menyukainya (merasa jijik).”))
Yakni sebagaimana kalian tidak suka/jijik
untuk memakan bangkai manusia secara tabiat, maka hendaklah kalian juga tidak
suka untuk melakukan ghibah secara syariat, karena hukuman perbuatan ghibah ini
lebih berat. Allah menyebutkan permisalan seperti ini untuk menjauhkan manusia
dari berbuat ghibah dan tahzir (peringatan) terhadap perbuatan ini. ]
Demikian Ibnu Katsir menerangkan. (Tafsir
Ibnu Katsir 4/273)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wa
Sallam dalam khuthbah beliau di
Mina ketika haji Wada’ mengingatkan akan tingginya kehormatan kaum Muslimin
sehingga tidak layak untuk direndahkan dengan perbuatan ghibah. Beliau
Shallallahu 'Alaihi
Wa Sallam bersabda :
“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian,
dan kehormatan kalian haram atas kalian seperti keharaman/kehormatan hari kalian
ini (yakni hari Nahar tanggal 10 Dzulhijjah, -pent.), pada bulan kalian ini (yakni
bulan Dzulhijjah sebagai salah satu bulan haram, -pent.).”
(HR. Bukhari nomor 1739 dan Muslim nomor 1679 dari shahabat Abi Bakrah
radhiallahu 'anhu)
Beliau Shallallahu 'Alaihi
Wa
Sallam juga bersabda :
“Cukuplah kejelekan bagi seseorang bila ia
merendahkan saudaranya yang Muslim. Setiap Muslim terhadap Muslim yang lain
haram darahnya, kehormatannya, dan hartanya.”
(HR. Muslim dalam Shahih-nya nomor 2564 dari shahabat Abu Hurairah
radhiallahu 'anhu)
Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma
menceritakan bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wa
Sallam naik ke mimbar, lalu beliau
berseru dengan suara yang lantang :
“Wahai orang-orang yang mengaku beriman
dengan lisannya namun iman itu belum masuk (belum sampai) ke dalam hatinya,
janganlah kalian menyakiti kaum Muslimin, jangan kalian mengghibah mereka dan
mencari-cari aurat mereka (kejelekan mereka), karena sesungguhnya siapa yang
mencari-cari aurat saudaranya yang Muslim niscaya Allah akan mencari-cari
auratnya dan siapa yang dicari-cari auratnya oleh Allah maka Allah akan
membeberkan aurat tersebut walaupun di tengah rumahnya.”
(HR. Tirmidzi dan Abu Daud. Dishahihkan Asy Syaikh Muqbil Al Wadi’i dalam
kitabnya Ash Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain 1/493. Darul
Haramain)
Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma suatu
hari memandang ke Ka’bah lalu ia berkata : “Alangkah agungnya engkau dan
alangkah besarnya kehormatanmu, namun orang Mukmin memiliki kehormatan yang
lebih besar di sisi Allah dibanding dirimu.” (Tafsir Ibnu Katsir
4/274)
Ketika ‘Aisyah radhiallahu 'anha --istri
yang paling Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wa
Sallam cintai-- menjelekkan
madunya, maka beliau bersegera mengingkari perbuatan ‘Aisyah. Cinta beliau yang
besar kepada sang istri tidak menghalangi beliau untuk menasehati dan
menyalahkan perbuatannya yang menyimpang. Ketika itu ‘Aisyah berkata dengan rasa
cemburunya :
“Wahai Rasulullah cukup bagimu Shafiyah,
dia begini dan begitu.” Berkata
salah seorang perawi hadits ini : “Yang ‘Aisyah maksudkan adalah Shafiyah itu
pendek.” Maka mendengar hal itu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wa
Sallam bersabda :
“Sungguh engkau telah mengucapkan satu
kata yang seandainya kata tersebut dicampurkan dengan air laut niscaya dapat
mencemarinya.” (HR. Abu Daid
dan Tirmidzi. Dishahihkan Asy Syaikh Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud
nomor 4080. Shahih Sunan Tirmidzi nomor 2034. Al Misykat nomor
4853, 4857. Ghayatul Maram nomor 427)
Perkataan ghibah ini memang ringan diucapkan
lisan namun berat dalam timbangan kejelekan. Kenapa tidak? Sementara ada siksa
yang secara khusus diancamkan bagi pelaku ghibah, seperti yang diceritakan oleh
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wa
Sallam :
“Tatkala aku di-Mi’raj-kan (dibawa ke
langit oleh Malaikat Jibril dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, pent.), aku melewati
suatu kaum (di neraka, pent.) yang mereka memiliki kuku-kuku dari tembaga.
Dengan kuku-kuku tersebut mereka mencakari wajah dan dada mereka. Maka aku
bertanya kepada Jibril : “Siapa mereka itu, wahai Jibril?” Jibril menjawab :
“Mereka adalah orang-orang yang (ketika di dunia, pent.) memakan daging manusia
(berbuat ghibah, pent.) dan melanggar kehormatan manusia.”
(HR. Abu Daud. Dishahihkan Asy Syaikh Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud
nomor 4082. As Shahihah nomor 533)
Asy Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali dalam
kitabnya Bahjatun Nadhirin Syarah Riyadlush Shalihin berkata :
[ Dan di antara cabang ayat ini (surat Al Hujurat ayat 12) adalah :
1)
Ghibah adalah
penyebab aib seseorang ketika ia tidak hadir. Allah menyamakan orang yang tidak
hadir dengan mayat karena ia tidak mampu untuk membela dirinya dan menolak
pembicaraan tentang aibnya. Demikian pula mayat, dia tidak tahu bila dagingnya
dimakan sebagaimana orang hidup dia tidak tahu ketika dia sedang ghaib (tidak
berada di tempat) tentang orang yang mengghibahnya.
2)
Dalam ayat ini
ada dalil tentang hujjah qiyasul aula dan keterangannya adalah :
Firman Allah Ta’ala : ((Fa karihtumuuhu)),
di dalamnya ada dua sisi/makna :
Yang pertama :
Kalian tidak suka/jijik untuk memakan bangkai. Maka hendaklah kalian tidak suka
perbuatan ghibah.
Yang kedua :
Kalian tidak suka manusia mengghibah kalian. Maka hendaklah kalian tidak suka
untuk mengghibah manusia.
3)
Sebagaimana tidak
pantas bagi seorang hamba untuk menyebut seseorang yang telah meninggal kecuali
kebaikannya, maka demikian pula sepantasnya ia tidak menyebut saudaranya dari
kalangan Muslimin kecuali kebaikan ketika saudaranya itu tidak hadir di
hadapannya.
(Lihat Bahjatun Nadhirin Syarah
Riyadlush Shalihin halaman 6-7. Dar Ibnul Jauzi)
Al Imam An Nawawi rahimahullah berkata
dalam Al Adzkar : “Adapun ghibah adalah engkau menyebut seseorang
dengan apa yang ia tidak sukai, sama saja apakah (ghibah itu menyangkut)
tubuhnya, agamanya, dunianya, jiwanya, fisiknya, akhlaknya, hartanya, anaknya,
orang tuanya, istrinya, pembantunya, budaknya, sorbannya, pakaiannya, cara
jalannya, gerakannya, senyumnya, muka masamnya, atau yang selainnya dari perkara
yang menyangkut diri orang tersebut. Sama saja apakah engkau menyebut tentang
orang tersebut dengan lafadhmu (ucapan bibirmu) atau tulisanmu, atau melalui
tanda dan isyarat matamu, atau dengan tanganmu, atau kepalamu atau yang
semisalnya.
Adapun ghibah yang menyangkut badan seseorang
misalnya engkau mengatakan : Si Fulan buta, atau pincang, picak, gundul, pendek,
tinggi, hitam, kuning, dan lain-lain.
Ghibah yang berkaitan dengan agama, misalnya
engkau berkata : Si Fulan itu fasik, atau pencuri, pengkhianat, dhalim,
meremehkan shalat, bermudah-mudah dalam perkara najis, tidak berbuat baik pada
orang tuanya, tidak memberikan zakat pada tempatnya, tidak menjauhi ghibah, dan
lain-lain.
Ghibah yang menyangkut urusan dunia seseorang,
misalnya engkau berkata : Si Fulan kurang adabnya, meremehkan manusia, tidak
memandang ada orang yang punya hak terhadapnya, banyak bicara, banyak makan dan
tidur, tidur bukan pada waktunya, duduk tidak pada tempatnya, dan lain-lain.
Ghibah yang bersangkutan dengan orang tuanya,
misalnya engkau mengatakan : Si Fulan itu ayahnya fasik. Atau mengatakan dengan
nada merendahkan : Si Fulan anaknya tukang sepatu, anaknya penjual kain, anaknya
tukang kayu, anaknya pandai besi, anaknya orang sombong, dan lain-lain.
Ghibah yang menyangkut akhlak, misalnya
engkau berkata : Si Fulan jelek akhlaknya, sombong, ingin dilihat bila beramal (riya),
sifatnya tergesa-gesa, lemah hatinya, dan lain-lain.
Ghibah yang berkaitan dengan pakaian
seseorang, misalnya engkau berkata : Si Fulan lebar kerah bajunya, bajunya
kepanjangan, dan lain-lain.
Yang jelas, batasan ghibah adalah engkau
menyebut seseorang dengan apa yang ia tidak sukai, apakah dengan ucapan bibirmu
atau yang lainnya. Dan setiap perkara yang dapat dipahami oleh orang lain bahwa
itu menyangkut kekurangan seorang Muslim maka hal tersebut merupakan ghibah yang
diharamkan.
Dan termasuk ghibah adalah meniru-nirukan
tingkah laku seseorang untuk menunjukkan kekurangan yang ada padanya, misalnya
menirukan cara berjalannya dengan membungkuk dan sebagainya.
Termasuk pula dalam ghibah ini apabila
seorang penulis kitab menyebutkan tentang seseorang dalam kitabnya, dengan
mengatakan : “Telah berkata Fulan begini dan begitu … .” Yang ia inginkan dengan
tulisannya tersebut untuk menjatuhkan si Fulan dan menjelekkannya.
Namun apabila tujuan penulisan tersebut untuk
menjelaskan kesalahan si Fulan agar orang lain tidak mengikutinya, atau untuk
menjelaskan kelemahannya dalam bidang ilmu agar manusia tidak tertipu dengannya
dan tidak menerima pendapatnya, maka hal ini bukanlah termasuk ghibah. Bahkan
ini merupakan nasihat yang wajib dan diberi pahala bagi pelakunya.
Demikian pula bila seorang penulis atau yang
lainnya berkata : “Telah berkata satu kaum atau satu kelompok begini dan begitu,
dan perkataan ini salah dan menyimpang … .” Maka ini bukan termasuk ghibah
karena tidak langsung menyebut individu atau kelompok tertentu.
Termasuk ghibah bila dikatakan kepada
seseorang : “Bagaimana keadaannya si Fulan?” Lalu orang yang ditanya menjawab :
“Alhamdulillah, keadaan kita tidak seperti dia, semoga Allah menjauhkan
kita dari kejelekan dan kurangnya rasa malu … .” Atau ucapan-ucapan lain yang
dipahami maksud dibaliknya untuk menjelekkan orang lain, walaupun si pengucap
berlagak memanjatkan doa. ]
(Demikian kami ringkaskan dari nukilan Asy
Syaikh Salim Al Hilali dalam kitabnya Bahjatun Nadhirin 3/25-27)
Yang
Dikecualikan Dari Ghibah
Al Imam Nawawi rahimahullah dalam
kitabnya Riyadlus Shalihin menyebutkan beberapa perkara yang
dikecualikan dari ghibah :
Pertama :
Mengadukan kedhaliman seseorang kepada penguasa atau hakim atau orang yang
memiliki kemampuan untuk menyelesaikan kedhaliman tersebut.
Kedua :
Meminta tolong kepada orang yang memiliki kemampuan untuk merubah kemungkaran
dan mengembalikan pelaku maksiat kepada kebenaran.
Ketiga :
Mengadukan seseorang dalam rangka meminta
fatwa kepada mufti, seperti perbuatan Hindun ketika mengadukan suaminya Abu
Sufyan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wa
Sallam, ia berkata :
“Sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang
yang kikir, ia tidak memberi nafkah yang mencukupi aku dan anakku, kecuali bila
aku mengambilnya tanpa sepengetahuannya (apakah ini dibolehkan)?”
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wa
Sallam menjawab :
“Ambillah sekedar dapat mencukupi dirimu
dan anakmu dengan ma’ruf.” (HR.
Bukhari dan Muslim nomor 1714 dari ‘Aisyah radhiallahu 'anha)
Keempat :
Dalam rangka memperingatkan kaum Muslimin dari kejelekan dan menasehati mereka.
Hal ini dari beberapa sisi, di antaranya :
a)
Men-jarh (menyebutkan
kejelekan) para perawi hadits, misalnya dikatakan : Si Fulan rawi yang dusta,
dlaif.
b)
Ketika diminta
pendapat (diajak musyawarah) dalam memilih pasangan hidup, atau yang lainnya.
Maka wajib bagi yang diajak musyawarah untuk tidak menyembunyikan kejelekan yang
diketahuinya dengan meniatkan nasihat. Sebagaimana hal ini dicontohkan oleh
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ketika dimintai pendapat oleh
Fathimah bintu Qais radhiallahu 'anha dalam menentukan pilihan antara
menerima pinangan Muawiyyah atau Abu Jahm radhiallahu 'anhuma. Maka
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wa
Sallam menasehatkan :
“Adapun Muawiyyah, maka dia seorang yang
fakir, tidak memiliki harta. Sedangkan Abu Jahm dia tidak pernah meletakkan
tongkatnya dari pundaknya (yakni suka memukul wanita, pent.).”
(HR. Bukhari dan Muslim nomor 1480)
c)
Ketika melihat
ada seseorang yang sering bertamu ke rumah ahlul bid’ah atau orang fasik dan
dikhawatirkan orang itu akan terpengaruh/kena getahnya, maka wajib menasehatinya
dengan menjelaskan keadaan ahlul bid’ah atau orang fasik itu.
Kelima :
Menyebutkan kejelekan orang yang terang-terangan berbuat maksiat atau bid’ah
seperti minum khamar, merampas harta orang lain, dan lain-lain.
Keenam :
Menyebut seseorang dengan gelaran/perkara
yang dia terkenal/masyhur dengannya, misalnya : Si buta, si pendek, si hitam,
dan lain-lain.
(Dinukil dengan ringkas dari Riyadlus
Shalihin halaman 450-451. Cetakan Maktabatul Ma’arif)
Apakah
Ghibah Termasuk Dosa Besar?
Al Imam Ash Shan’ani rahimahullah
dalam kitabnya Subulus Salam berkata : “Ulama berselisih apakah
ghibah ini termasuk dosa kecil atau dosa besar. Al Imam Al Qurthubi menukil
adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa ghibah termasuk dosa besar.”[2]
(Lihat Subulus Salam 4/292. Cetakan Maktabah Al Irsyad. Shan’a).
Dan pendapat bahwasanya ghibah adalah dosa besar inilah yang didukung oleh dalil
sebagaimana diterangkan Al Imam Ash Shan’ani.
Termasuk dalil yang menunjukkan besarnya dosa
ghibah adalah hadits yang diriwayatkan Abu Daud dalam Sunan-nya
dari Said bin Zaid, ia berkata bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi
Wa
Sallam bersabda :
“Sesungguhnya termasuk perbuatan riba yang
paling puncak adalah melanggar kehormatan seorang Muslim tanpa haq.”
(Hadits ini dishahihkan oleh Asy Syaikh Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud
nomor 4081. Ash Shahihah 1433 dan 1871 dan dishahihkan pula oleh Asy
Syaikh Muqbil bin Hadi dalam kitabnya Ash Shahihul Musnad)
Haramnya Mendengarkan Ghibah
Al Imam An Nawawi dalam Al Adzkar
: “Ketahuilah sebagaimana ghibah itu diharamkan bagi pelakunya, diharamkan pula
bagi pendengar untuk mendengarkannya. Maka wajib bagi orang yang mendengar
seseorang ingin berbuat ghibah untuk melarangnya apabila ia tidak
mengkhawatirkan terjadinya mudlarat.
Apabila ia khawatir terjadi mudlarat maka
hendaknya ia mengingkarinya dengan hatinya dan meninggalkan majelis itu bila
memungkinkan.
Apabila ia mampu untuk mengingkari dengan
lisannya atau memotong pembicaraan ghibah dengan membelokkan pada pembicaraan
lain, maka wajib baginya untuk melakukannya. Bila tidak ia lakukan maka sungguh
ia telah bermaksiat.
Apabila ia berkata dengan lisannya : ‘Diam’ (berhentilah
dari ghibah) sementara hatinya menginginkan ghibah itu diteruskan, maka yang
demikian itu adalah nifak dan pelakunya berdosa. Seharusnya ketika lisan
melarang, hati pun turut mengingkari.
Dan kapan seseorang terpaksa berada di
majelis yang diucapkan ghibah padanya sementara ia tidak mampu untuk
mengingkarinya atau ia mengingkari namun ditolak dan ia tidak mendapatkan jalan
untuk meninggalkan majelis tersebut, maka haram baginya untuk bersengaja
mencurahkan pendengaran dan perhatian pada ghibah yang diucapkan. Namun
hendaknya ia berdzikir kepada Allah dengan lisan dan hatinya, atau dengan
hatinya saja, atau ia memikirkan perkara lain agar ia tersibukkan dari
mendengarkan ghibah tersebut. Setelah itu apabila ia menemukan jalan untuk
keluar dari majelis itu sementara mereka yang hadir terus tenggelam dalam ghibah,
maka wajib baginya untuk meninggalkan tempat itu.” (Dinukil dari Bahjatun
Nadhirin 3/29-30)
Allah Ta’ala berfirman :
“Dan apabila mereka (Mukminin) mendengar
ucapan laghwi, mereka berpaling darinya.
(Al Qashshash : 55)
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan,
dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.”
(Al Isra’ : 36)
Cara
Bertaubat Dari Ghibah
Ada dua pendapat ulama dalam masalah ini dan
keduanya merupakan riwayat dari Al Imam Ahmad, yaitu :
1)
Apakah cukup
bertaubat dari ghibah dengan memintakan ampun kepada Allah untuk orang yang
dighibah?
2)
Ataukah harus
memberitahukannya dan meminta kehalalannya?
Yang benar adalah tidak perlu memberitahukan
ghibah itu kepada yang dighibahi, tapi cukup memintakan ampun untuknya dan
menyebutkan kebaikan-kebaikannya di tempat dia mengghibah saudaranya tersebut.
Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah dan
selainnya. (Nashihati lin Nisa’ halaman 31. Cetakan Darul Haramain)
Demikian kami tutup pembahasan ghibah ini
dengan mengajak kepada diri kami dan pembaca untuk selalu bertakwa kepada Allah
dengan menjauhi perbuatan ghibah dan menyibukkan diri dengan aib/kekurangan yang
ada pada diri sendiri. Dan barangsiapa sibuk dengan aibnya sendiri dan tidak
mengorek aib orang lain bahkan ia menjunjung kehormatan orang lain, maka sungguh
ia telah mengenakan salah satu dari perhiasan akhlak yang mulia. Wallahu
A’lam Bis Shawwab.
Daftar
Pustaka
1.
Bahjatun Nadhirin. Asy
Syaikh Salim Al Hilali
2.
Fathul Bari. Al Hafidh
Ibnu Hajar
3.
Nashihati lin Nisa’.
Ummu Abdillah Al Wadi’iyyah bintu Asy Syaikh Muqbil Al Wadi’i
4.
Riyadlus Shalihin. Al
Imam An Nawawi
5.
Subulus Salam.
Al Imam Ash Shan’ani
[1]
Ta’rif tentang ghibah ini disebutkan oleh Imam Muslim dalam hadits yang ia
keluarkan pada kitab Shahih-nya (nomor 2589) dari shahabat Abu
Hurairah radhiallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wa
Sallam bersabda : “Tahukah
kalian apakah ghibah itu?” Para
shahabat menjawab : “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Lalu beliau
menyebutkan sebagaimana tertera dalam riwayat Abu Daud yang dibawakan oleh
Ibnu Katsir di atas.
[2]
Namun ijma’ yang disebutkan ini tidaklah benar karena Al Hafidh Ibnu Hajar
rahimahullah menyebutkan bahwa penulis kitab Ar Raudlah
dan Al Imam Ar Rafi’i berpendapat bahwa ghibah termasuk dosa kecil. (Fathul
Bari 10/480. Al Maktabah As Salafiyyah)
|
0 Comments:
Post a Comment
<< Home